Kau Dan Semangkuk Kecil Es Krim

Bismillaah

Malam pertama musim panas. Senja baru saja menyusupi cakrawala, melukiskan jingga yang begitu indah. Keindahan yang tentu saja mendekapkanku pada sebuah kenangan. Kenangan, yang selalu kusimpan rapi di sini. Ceruk Suci. Kau mengerti, kenangan itu begitu berharga. Melebihi apa pun di dunia ini. Merajai kenangan-kenangan indah kita lainnya. Ah, tentu kau mengingatnya, bukan? Atau kalau pun tidak, bukan saatmu untuk mengenangya kembali. Cukup kau tenang dan damai di sisi Rabb dan itu cukup. Usai.

Sejujurnya, aku tidak begitu menyukai senja, jika dibandingkan dengan fajar. Atau di saat matahari sudah benar-benar terang benderang menyinari dunia. Namun, kau dan senja yang bersahabat dekat, mengajarkanku pada sebuah hubungan erat. Dimana, matahari dan aku, di saat apa pun dan di mana pun akhirnya menjadi sahabat yang saling merangkul. Saling? Apakah aku benar-benar merangkulnya? Tentu tidak! Aku melukiskan wajahnya. Sinar lembutnya. Menuliskan hangat kasihnya dalam puisi-puisiku dan terutama aku menempatkannya menjadi sesuatu yang begitu berharga di hatiku. Dan aku, menamainya, Sun. Ummm, ya, dan itu natural. Bukan karena aku meniru kedekatan kalian. Sungguh! I love Sun. So much. And much, much, much!

Sejak pemahaman tentang kedekatan itu lahir dalam hatiku, aku semakin mencintai Sun. Sun, Sun, Sun. Kau pasti pernah melihat lukisan-lukisanku tentangnya di buku sketsaku. Ada Sun saat terbit, Sun saat Dhuha, Dhuhur dan setelah 'Ashar. Ada beberapa juga Sun di saat senja. Sunset. Aku mengambil setting pantai dan alam terbuka. Ah. Ma syaa Allaah, indah sekali!

Lukisanku sangat sederhana. Pun tulisan-tulisanku. Sangat sederhana. Puisi dan sajakku pun, tak ada yang istimewa. Namun, kau pasti tahu, aku melakukan semua itu dengan penuh cinta. Bersama Rabb Yang Maha Cinta.

Ummm, any way. Senja sudah berlalu. Gelap mulai merambahi Sleedorntuin dan aku masih ingin di sini. Balkon depan kamarku. Kulihat Mama menyalakan lampu dari dalam kamar. Tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku tertawa lebar, ingin memberitahu Mama, aku baik-baik saja. Mama biasa mencemaskanku. Khawatir, aku akan menangis histeris memanggili namamu, seperti waktu-waktu lalu. Ya, itu wajar. Karena Mama, ibuku. Di rahimnya, jiwa dan ragaku terbentuk. Dari ASI-nya aku tumbuh dan dengan belaian kasih sayangnya, aku menjai seperti sekarang ini.

Gadis manis patah hati.

Itu, karena kau! Aaah, kau nakal! Pergi tepat di saat kau berulang tahun. Eeeh, sssttt, maaf ... Itu ungkapan bodoh! Jangan dengaarkan. Aku ikhlas. Pergilah dengan tenang, Fatin. Aaku ikhlas. Doaku selalu menyertaimu. Sampai bertemu di Surga, Fatin!

Aaah, aku kacau! Sebenarnya, aku ingin menuliskan tentang kau dan semangkuk kecil es krim. Itu, saat kita makan malam di Anne's Cafe bersama Zain, Mama dan Papa. Itu, saat yang sangat membahagiakan. Kau pasti mengerti.

Namun, apalah daya? Jemariku limbung, dan aku hanya bisa menangis mengenangmu. Aaah!

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Kau Dan Semangkuk Kecil Es Krim"

Posting Komentar