Menadahi Butiran Salju

heart-on-snow.jpg

Bismillaah

Dearest My Fatin,

In Heaven

Fatin ... Apakah kau pun dapat merasakan, semilir angin pagi yang membelai-belai wajahku dengan dinginnya yang khas. Meniupkan desingan lembut yang membisikkan sebuah kerinduan. Kerinduan yang begitu dalam. Terkandung di dalam cangkang serupa cangkang mutiara. Begitu kokoh melindunginya. Benih kerinduan yang indah.

Aku terkesiap, Fatin. Tadi itu, aku masih bergelung dalam selimut. Kau tahu, aku demam lagi. Sebenarnya, sudah sembuh kemarin. Tapi, entahlah! Tadi pagi, suhu tubuhku kembali meningkat dan menghadiahiku sensasi dingin yang luar biasa. Aku mengigigil, Fatin.

It's O.K. I'm better, now. Rasanya, ingin sekali mengitari blok tujuh ini, Fatin. Menghirup udara segar di luar sana. Bermesraan dengan sinar mentari. Bernyanyi bersama angin musim semi yang hampir meninggalkan Sleedorntuin. Ah, banyak sekali pasti yang bisa kukerjakan di luar sana.

Tapi, mungkin kah? Mama pasti akan sangat keberatan kalau aku melakukannya. Mama selalu mengkhawatirkanku,Fatin. Sama seperti dulu. Persis. Yaaa, yaaa. Aku bisa mengerti. Dan kau ingat? Hari ini, 26 September 2015. Mari Fatin, kita mengenang Musim Semi kita. Dulu, dulu sekali ....

26 September 2008

Sleedorntuin di pagi buta. Kita ke luar dari rumah masing-masing dengan menyelinap. Kuambil sepeda di garasi dengan sangat hati-hati. Berjalan mengendap dan berjingkat sejak dari kamar. Mengambil mantel di gang dan menalikan boot di anak tangga paling bawah. Kita harus pergi ke ZAINOFA.

belum usai

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Menadahi Butiran Salju"

  1. Fajar Mohammad Pratama26 September 2015 pukul 02.22

    Good artikelnya sob,!

    BalasHapus
  2. @Fajar Mohammad Pratama,
    Hihi, thaaanks.

    Actually, ini bukan artikel. Tapi narasi, :)

    BalasHapus