Pipi Tulip & Samurai (Cinta Dalam Keniscayaan)

duo-tulip.jpg

Bismillaah

Jantungku berbunyi DEG! Mama memergokiku sedang menuliskan JINYIWEI di halaman pertama diary baruku. Dadaku berdesir-desir hebat. Mirip KIPAS ANGIN dengan kecepatan di angka 1. Aku gemetar. Otakku rasanya MACET. Dan nadiku, enggan BERDENYUT. Aku sudah mati?

"Kinasih? Siapa itu Jinyiwei? Teman kamu? Kok Mama belum pernah tahu nama itu? Anak mana? Sejak kapan berteman?" Mama membuka-buka semua halaman diary-ku, mencari tahu, apakah aku menuliskan sesuatu di sana selain Jinyiwei. Itu, membuatku KAKU. Seperti kincir angin yang hanya mampu berdiri tegak dan tertancap di bumi.

Aku tahu, Mama akan marah. Dan benar saja, dilemparkannya diary-ku ke meja. Aduuuh, tidak rela. Bukan karena diary itu baru saja kubeli dengan membongkar celengan, tetapi karena ada nama Jinyiwei di sana. Oooh, J, maafkan aku. Maaf. Hikaaa.

"Kinasih, Mama sedang berbicara dan kau diam saa? Mengapa tidak dijawab? Mengapa tidak jujur? Siapa itu Jinyiwei?" Mama duduk di sebelahku. Kali ini, nada bicaranya jauh lebih rendah. Sepertinya, Mama menyadari nada tinggi dalam berbicara justru membuatku shock dan hanya bisa diam. Bungkam. Semoga saja begitu.

"Oh, eh, emmmm, eng anu, Mama. Eeeh, Jinyiwei itu," aku gugup setengah mati. Siapa? Apa yang harus kukatakan pada Mama tentang J? Apakah aku harus mengakui dengan jujur kalau J itu, Mpu yang selama ini mencariku. Eh, maksudku, pernah bersamaku. Eh, bagaimana sih? Apa yang harus kukatakan? Apakah Mama bisa memepercayaiku? Hikaaa.

"Ya? Jinyiwei itu?" Mama mendesakku. Mata kami sempat beradu. Aku kalah dan memilih menunduk. Jelas, aku tidak berani menatap sorot mata Mama yang sudah menjelma bekel ketegasan itu.

"Tokoh cerpen Kinasih, Mama. Jinyiwei," ucapku sebisa mungkin. Bisa berdusta! BOHONG! BOWHONG!

Mama terlihat lega. Mengecup keningku dan mengatakan, "Oke, selamat menulis, Sayang,"

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pipi Tulip & Samurai (Cinta Dalam Keniscayaan)"

Posting Komentar