Tangis Penyesalan Sang Pengantin

Bismillaah

Tangis Penyesalan Sang Pengantin

A story by Sakura Sizuoka

Sastri tersenyum simpul. Kebahagiaan bertahta anggun pada wajah ayunya. Akhirnya, hari yang selama ini dinanti-nantinya datang juga. Hari ini, akan menjadi hari yang sakral dalam sejarah kehidupannya. Hari yang menyiramkan haru, bahagia, sekaligus rasa syukur yang tak terkira. Beberapa menit lagi, dirinya akan menjadi pasangan jiwa yang halal bagi Mas Jati. Ya, Mas Jati. Ikhwan shalih yang telah mengkhitbahnya dua pekan yang lalu. Mengkhitbahnya dengan sepenuh hati, sekuat jiwa dan raga. Mengkhitbahnya dengan keimanan dan ketaqwaan yang melekat di dadanya. Sepenuh kasih, seutuh cinta. Cinta karena Allaah Ta'ala.

Maka, apalah lagi yang bisa Sastri lakukan, kecuali menerima semua itu dengan setulus hati. Sepenuh kasih. Seutuh cinta. Cinta karena Allaah Ta'ala.

"Siap, Ndhuk? Sebentar lagi, ijab qabul, lho." Bisik Ummi lembut. Itu, membuat dada Sastri nyaris terbelah. Desiran hebat menguasai seisi batinnya. Mas Jati. Nama itu seolah mendesirkan sesuatu di dadanya. Ah, pergiii, kau belum halal bagiku. Masih belum. Masih beberapa menit lagi, usirnya.

"I, iya, Ummi." Gugup Sastri menjawab. Pandangannya menunduk syahdu.

"Lho, kenapa?" Tanya Ummi resah. Kekhawatiran menyelimuti hatinya.

"Nggak, Ummi. Nggak apa-apa." Bisik Sastri lirih. Nyaris tak terdengar. "Jam berapa, Ummi?" Tanya Sastri kemudian, ingin memastikan masih berapa lama kah peristiwa ijab qabul itu? Ah, mengapa rasanya waktu berjalan lambat sekali? Seperti slow motion dalam film-film.

"Sembilan kurang lima menit," jawab Ibu sambil mentoel pipi Sastri. Senyumnya melengkung bahagia.

"Oh," Sastri menunduk lagi. Lima menit? Itu, lama sekali. Yaa Allaah, apa yang terjadi padaku? Kenapa justru di ujung waktu-Mu ini, rasanya kesabaran itu benar-benar luruh. Lima menit. Apalah artinya lima menit, jika dibandingkan dengan penantianku selama ini? Yaa Rabb, ampunilah hamba-Mu yang dhaif ini. Bisik hatinya.

Waktu terus saja melaju. Mengantarkan detik demi detik menuju waktu sakral bagi Sastri dan Jati. Akhirnya, sampai jualah pada pukul sembilan pagi. Tepat. MC mengumumkan kepada semua yang hadir, bahwa ijab qabul akan segera dimuali. Ia, meminta kepada Jati, wali nikah dan para saksi untuk menghadap penghulu. Duduk di kursi yang telah di sediakan.

Jati melangkah pasti. Dengan digamit langkahnya oleh Bapak tercinta, memantapkan diri. Bismillaahirrahmaanirraahiim.

Ruangan menjadi hening. Senyap. Semua yang hadir menundukkan kepala. Dalam hati mereka, terlantun doa untuk lancarnya acara ijab qabul ini. Terlantun doa, semoga kedua mempelai dijadikan Allaah, keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Semua terhanyut dalam pusaran sakral nan mengharukan. Syahdu.

"Saudara Jati," Bapak Penghulu memanggilnya dengan suara tegas sembari menjabat tangannya.

"Saya, Pak." Jati menjawab dengan mantap. Meskipun sejujurnya, jantungnya berdegup sangat kencang. Kecepatannya berpuluh-puluh kali lipat dari degup normalnya. Itu, membuatnya berjuang keras, agar suaranya tidak gemetar. Tidak bergetar. Ini, adalah waktu, yang akan menentukan hidupnya di masa mendatang. Waktu yang akan mengantarkannya menjadi seorang imam. Imam bagi Sastri dan keturunan mereka kelak. Bismillaah.

"Saya nikahkan engkau dengan anak kandung saya Sastri Wiratmaja binti Karta Wiratmaja dengan mas kawin tersebut di atas tunai," Bapak Penghulu membacakan ijab dengan khusyuk. Sementara itu, Jati berjuang sekuat jiwa dan raga untuk menjaga ketenangan hatinya. Entahlah, tiba-tiba bayangan Shizuka berkelebatan di benaknya. Shizuka, gadis indolan yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Azzam-nya pernah teguh untuk mengkhitbah dan menikahinya. Namun, karena sesuatu hal, maka diurungkannya. Padahal, seharusnya, aku tidak perlu mengurungkannya. Bukan kah Shizuka itu ...? As, astahgfirullaahaladhiim. Yaa Allaah, ampunilah dosa hamba-Mu ini. Mengapa Shizuka justru hadir di saat yang sangat penting dan sakral seperti ini? Mengapa bayangannya manis sekali di sini? Di lembah hatiku.

"Saudara Jati?" Bapak Penghulu mengulangi panggilannya lagi. Jati gugup. Suaranya gagap. Itu, menorehkan keraguan pada diri Bapak Penghulu, Wali Nikah dan juga para saksi. Ada apa ini?

"Apakah ada sesuatu yang Anda rasakan? Apakah Anda merasa pernikahan ini karena adanya paksaan? Tolong Anda jujur, Saudara Jati." Pinta Bapak Penghulu tegas dan bijak.

"Saya, saya, saya ...," Jati tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bayangan Shizuka memeluknya. Shizuka tengah menyenandungkan Surah Al-Kahfi dengan suara merdunya. Ia, mengenakan setelan gamis putih polos. Menghadap kiblat dengan wajah tertunduk khusyu'.

"Jati? Apa-apaan kamu ini? Jangan bikin malu Bapak. Kamu harus melanjutkan pernikahan ini! Atau, Bapak akan marah seumur hidup!" Bapak berbisik mengancam. Nada suaranya diliputi kemurkaan. Jati terkesiap. Kesadarannya pulih dengan sempurna. Astaghfirullaahaladhiim.

"Saya, maaf ...," ucapnya lagi, dengan gugup. Wajahnya pucat pasi. Lidahnya kelu. Dan, akhirnya, Jati bangkit dari tempat duduknya. Berdiri dan hampir saja ia meninggalkan tempat duduknya.

"Jati?!" Bapak benar-benar marah. "Apa yang kamu lakukan ini? Jangan bikin Bapak malu! Jangan bikin Bapak marah!"

Jati lemas. Wajahnya menunduk pilu. Dik, maafkan Mas, Dik. Maafkan Mas, sudah menyakitimu. Tapi, kamu perlu tahu, Dik. Mas terpaksa melakukan ini. Ini, demi Bapak. Ucap hatinya. Air matanya berjatuhan.

"Saya, ambil air wudhu sebentar," ucap Jati kemudian. Itu, membuat semua yang hadir menjadi lega.

"Maafkan sikap anak saya, Pak, Bu." Ucap Bapak dengan sangat malu.

***

Malam semakin larut. Jati masih mengenakan baju pengantinnya, sementara Sastri sudah mengenakan gaun tidur yang cantik. Gaun tidur merah delima yang memesona. Menebarkan gairah untuk segera mereguk manisnya cinta.

Perlahan, Sastri mendekati Jati.

"Mas? Mau mandi sekarang?" Suaranya lembut, tepat di samping telinga kiri Jati. "Mas?" Ulangnya dengan suara lebih keras namun tetap merdu. Merayu, mendayu.

"Eh, oh, enggg, nanti ...," Jati berujar, gugup.

"Nanti keburu dingin, Mas. Sastri sudah siapakan loh, air hangatnya." Ucap Sastri sembari melepas pakaian jati satu per satu. Jati bergeming. Darah dalam jantungnya berdesir-desir. Bukan karena gairahnya mulai tersentuh cinta, tetapi, karena wajah Shizuka lengkap dengan sorot mata teduh dan senyum manisnya hadir dalam benaknya. Ah, Dik. Kamu sedang apa? Sehat kan, Dik? Sehatlah selalu. Jangan sakit. Mas akan tepati janji Mas. Nanti. Suatu hari. "Mandi ya, Mas? Perlu Sastri temani?" Sastri sudah selesai melepaskan semua pakaian Jati. Jati terkesiap. Ha? Aku, bajuku?

"Dik? Bajuku?" Sentaknya kaget.

"Loooh, Mas? Kan mau mandi? Sastri yang buka." Katanya tak kalah kaget. "Mas kenapa sih? Dari tadi aneh! Melamun terus?" Sastri sedikit marah. Kecewa.

"Oh, maaf, Dik. Aku mandi dulu." Ucapnya datar dan segera melangkah menuju kamar mandi. "Lain kali, biar aku buka baju sendiri, Dik." Ucapnya sebelum masuk kamar mandi.

Sastri diam. Air matanya merembes dari pelupuknya. Mas kenapa? Kenapa menjadi aneh begini? Apa yang salah? Yaa Allaah, damaikan hati Mas. Aamiin.

Malam itu berlalu dalam pelukan dingin. Sastri tidur sendirian di atas ranjang pengantin yang begitu megah dan indah. Rangkaian bunga berwarna-warni, menebarkan harum memesona. Bergelora. Namun, apalah arti semua itu, jika Jati memilih tidur di sofa? Katanya, "Maaf, Dik. Mas capek,"

***

Pagi harinya, Sastri terbangun dengan sangat kaget. Jati tidak ada di kamar. Di sekitar rumah juga tidak ada. Tidak ada bekas mandi atau makan pagi. Jadi? Mas Jati pergi? Meninggalkannya? Yaa Allaah. Bisik hatinya sembari menekan nomer HP Ummi. Ia harus segera memberitahukan hal ini.

"Sayang? Bagaimana malam pertama kalian? Semoga bahagia selalu," ucap Ummi setelah menjawab salam Sastri.

"Ummi, Maaas, Mas Jati nggak ada. Emmm, Mas Jati nggak ada," gugup Sastri menjelaskan.

"Nggak ada? Nggak ada gimana? Yang tenang to, Ndhuk. Ngomong yang jelas." Ummi ikut gugup. "Ya udah, Ummi sama Abi segera ke situ. Kamu yang tenang ya?" Sambung Ummi lagi. "Ada-ada aja Si Jati. Makanya Ummi bilang juga apa, dia tuh lelaki nggah nggenah!"

Sastri menghela napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Relaksasi, akan sangat membantunya.

Nomer yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan.

Nomer yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.

The number you are calling is switch off, please try again later.

"Nomernya nggak aktif!" Sergah Sastri dengan sangat jengkel. Lebih jengkel lagi, saat diketahuinya, HP Jati tergeletak di meja. Ah!

Dengan marah, dinyalakannya HP itu dan betapa jantungnya mau melompat keluar saat membaca semua pesan masuk dan keluar yang ada di sana. Ada satu nama yang membuat darahnya mendidih. Shizuka!

MAS, ASSALAMU'ALAYKUM, MAS.

CONGRATULATION, MAS. BAARAKALLAAHU LAKUMA WALAHA, MAS. SEMOGA MENJADI KELUARGA SAKINAH MAWADDAH WARRAHMAH.

SALAM,

SHIZUKA

Ini pesan terbaru, Jati membalasnya dengan:

WA'ALAIKUMUSSALAM, DIK

:'(

MAAFKAN MAS, DIK

MAS AKAN TEPATI JANJI MAS

TUNGGU MAS DIK

Oh, jadi, Mas jati ke rumah Shizuka? Astaghfirullaahaladhiim. Bagaimana bisa? Menepati janji? Maksudnya? Ada apa ini? Yaa Allaah.

Sastri lemas, pandangannya gelap. Gelap dan akhirnya jatuh tak sadarkan diri. Ummi dan Abi yang baru saja tiba, segera menolongnya. Ummi menjerit-jerit histeris. Hatinya porak poranda demi mendapati Sastri seperti ini. Dalam hatinya, memaki-maki Jati yang sudah berbuat kurang ajar terhadapnya. Awas, kalau nanti pulang! Ancamnya.

Tiba-tiba, nasyid Cinta-nya The Fikr mendayu merdu dari HP Jati. Dengan sigap dan marah, Ummi mengangkatnya.

"Halo." Suaranya tegas dan marah.

"Assalamu'alaykum, Bu. Ini saya Mamanya Shizuka."

"Ya, saya Ibu Mertuanya Jati. Ada yang bisa saya bantu?"

"Oh, syukurlah Nak Jati sudah menikah. Kami turut berbahagia, Bu."

"Terima kasih. Langsung saja, ada apa ya?" Tanya Ummi masih marah. Mengingat nama yang tertera di layar HP Jati ini tadi, Bidadari Surgaku. Enak aja, bukannya Bidadari Surganya itu anak saya, Sastri? Dasar ikhwan kucing garong! Rutuk Ummi dalam hati.

"Saya hanya ingin memberikan kabar kepada Nak Jati, Gendhuk emmm Shizuka sudah menghadap Rabb, tiga hari yang lalu. Mohon doanya ...," suara di seberang sana tiba-tiba serak, dan tut, tut, tut, sambungan terputus.

"Innalillaahi wainna ilaihi raji'uun," ucap Ummi bergetar. Bertepatan dengan itu, Sastri yang sudah siuman menjadi terhenyak.

"Ada apa, Ummi? Gimana Mas Jati?"

"Jati, belum tahu. Sastri, kamu kenal Shizuka?"

"Iya, Ummi tahu. Kenapa, Ummi? Ada apa?" Sastri gugup. Dadanya berdebar-debar. Sekilas, pesan masuk Shizuka di HP Jati terbayang kembali.

"Ia ... Meninggal," ucap Ummi parau. Itu, membuat Sastri limbung dan nyaris tak sadarkan diri lagi. Shizuka? Meninggal? Yaa Allaah. Innalillaahi wainna ilaihi raji'uun. Mas Jati pasti sangat terpukul. Dan aku? Betapa aku jahat! Betapa aku egois! Sudah merebut Mas Jati darinya ....

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Tangis Penyesalan Sang Pengantin"

Posting Komentar