Saat Kau Pergi

Bismillaah

Saat Kau Pergi

A story by Sakura Sizuoka

Malam-malamku kelabu. Tak lagi bertabur bintang. Rembulan malam tak lagi bertahta di angkasa. Kelam. Mendung menyelimuti wajahnya. Hujan lebat nyaris tercurah. Aku bergeming, menahan segala perih. Sakit yang menghunjam, luka yang kini semakin menganga. Berdarah-darah tanpa bisa disurutkan. Ah! Kalau sudah begini, obat apa yang harus kubalurkan? Antiseptik seperti apa yang bisa kutenggak agar luka ini tidak semakin parah? Ah! Rasanya, perban pun takkan mampu menyumbat aliran darahnya. Lihatlah, ia terus saja mengalir. Membanjir dan aku kian tak berdaya!

"Sudahlah, Ndhuk. Tak perlu terus-terusan bersedih! Ambil hikmah dari semua yang terjadi," yang sedari tadi berdiri di sampingku membuka suara. Kami memandangi langit malam dari balkon ruang kerja Papa. Malam ketiga musim gugur. Langit cerah, bintang-bintang mulai bermunculan. Desing angin menyeruakkan dingin. Dingin yang berbeda. Suara Mama serak, iya sepertinya Mama menahan tangis? Ah, semua ini salahku! "Biarkan saja dia pergi. Nggak apa-apa. Setidaknya, Gendhuk jadi tahu kan, gimana dia yang sebenarnya? Yang penting, bukan Gendhuk yang dusta dan ingkar." Imbuh Mama sembari menepuk-nepuk pundakku.

"Iya, Mama. Kenanga mengerti. Kenanga hanya tidak menyangka, Mas yang shalih, bisa mendustai kita. Mendustai Kenanga," ucapku tergetar dan sekian detik setelah itu, tumpahlah air mataku. Sebenarnya, aku sudah menahannya sekuat mungkin untuk tidak tumpah seperti ini. Di malam yang indah. Di saat Mama baru saja usai menggelar acara tasyakuran atas didirikannya cabang kantor konsultannya di Den Haag. Seharusnya air mataku, berjatuhan karena kebahagiaan Mama dan bukan karena sakit di hati ini.

"Gendhuk, sssttt. Cep, cep, cep!" Mama memelukku. Erat. Hangat. Menepuk-nepuk punggungku seolah ingin memberikan irama pada air mataku dan mengatakan, "Itu artinya, dia bukan orang yang shalih. Karena orang yang shalih itu nggak akan bebrohong. Orang yang shalih itu nggak akan ingkar janji. Bukan hanya Gendhuk yang sakit. Justru Mama lebih sakit lagi. Dia sudah berjanji sama Mama," suara Mama tersendat. Mama terdiam. Mengeratkan pelukannya dan kini kurasakan getar di dadanya semakin kuat. Mama menangis dan itu menghunjamkan sakit yang berlipat-lipat ke dalam dadaku.

"Mama, Kenanga minta maaf, Ma. Ini kesalahan Kenanga. Harusnya, harusnya, emmm, enggg, harusnya Kenanga, harusnya ...," aku tak sanggup melanjutkannya. Harusnya apa? Harusnya aku tidak jatuh cinta? Harusnya aku tidak menjatuhkan hatiku padanya? Harusnya, aku mengabaikan semua perasaanku tentangnya? Harusnya aku tidak memasukkannya ke dalam jiwaku. Harusnya, aku? Aaah, aku tidak tahu!

"Sssttt, Gendhuk. Nggak perlu minta maaf. Mama tahu persis apa yang terjadi. Memang dia saja yang khianat! Lihat saja, Mama akan urus semua ini," Mama terdengar marah. Kelepaskan pelukannya dan benar, saat kami bertabrak pandang, Mama terlihat sangat marah. Wajahnya merah sementara air matanya semakin menyusut. Aku takut ... Mama yang kukenal, kalau sudah marah, artinya Mama tidak sedih lagi. Tapi, kemarahannya itu bisa berbahaya. Dan, aku tidak mau Mama sampai berbuat yang membahayakan Mas. Bagaimanapun, aku tidak mau terjadi apa-apa sama Mas. Jujur, meski dikhianati seperti ini, tapi aku tetap mencintainya. Ah, apakah benar yang dikatakan Mama, cinta itu terkadang mampu membuat kita menjadi orang yang paling lemah di dunia. "Ndhuk, Mama akan hajar dia! Biar dia tahu, kita ini bukan wanita yang bisa dipermainkan seenak hatinya. Terutama kamu, Ndhuk! Dia anggap kamu ini apa, Ndhuk? Kamu ini Mutiara Hati Mama. Kamu cantik, nggak jelek. Cerdas. Berprestasi ...," Mama meledak-ledak. Aku tahu itu. Kugenggam tangan Mama untuk membantunya menjadi tenang dan kuat. Kulantunkan Al-Mulk dan Ar-Rahman.

Mama menatapku dalam diam dan kusadari sesuatu. Tubuh Mama terhuyung dan nyaris ambruk! Ya, hampir saja, jika tidak segera kutopang. Dengan segenap kekuatan cinta, kuseret kursi yang terletak agak jauh dibelakang Mama dengan tangan kiriku. Pikirku, Mama harus duduk di kursi itu dan aku akan mengambilkannya minum. Tapi, terlambat! Mama jatuh tak sadarkan diri dan aku nyaris terhuyung ....

***

"Mas?" Tanyaku setelah menjawab salam. Nomer yang muncul di ponselku, nomer asing. Biasanya, aku tidak mengangkat nomer asing. Selain tidak diperbolehkan sama Mama, aku menyadari itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Tapi, setelah Mama sakit, aku jadi operator telepon di rumah. Tugasku, mengangkat semua telepon masuk. Baik di telepon rumah, ponselku dan ponsel Mama.

"Iya, Dik. Ini Mas. Apa kabar?" Suaranya sedikit berbeda. Serak dan terdengar sakit. Mas sakit? Sakit apa? Sudah berapa lama? Ah, kenapa aku mengkhawatirkannya? Bukankah Mas ...?

"Oh," hanya itu yang mampu terucap dari bibirku. Rasanya, lidahku kelu. Aku berjalan menjauh, agar Mama tidak mendengar percakapan kami.

"Mas minta maaf, Dik. Mas salah dan Mas meneleponmu ini karena Mas ingin memperbaiki kesalahan Mas. Mas ingin ...," siiing kresek, kresek, kreseeeek! Sambungan telepon terputus. Aku terkesiap nyeri. Apa? Tadi Mas mengatakan apa? Memperbaiki kesalahan? Maksudnya?

Sejujurnya, aku berharap menelpon lagi. Kupandangi layar ponselku sekian menit lamanya dan sepertinya, harapanku harus sirna. Aku menghela napas panjang sekali, menghembuskannya perlahan dan berjalan setenang mungkin ke kamar Mama. Sudah jam dua belas, saatnya Mama minum obat. Sedih sekali rasanya, melihat Mama sakit seperti ini. Terlebih, itu karena aku. Aaah!

"Ndhuk," suara Mama dari dalam kamar membuatku bergegas mendekatinya.

"Ya, Ma?" Aku duduk di samping tempat tidurnya. Mama masih pucat, bibirnya biru. Namun badannya sudah tidak panas lagi. Alhamdulillaah. "Syafakillaah, Mama."

"Aamiin. Terima kasih, Ndhuk." Ucap Mama lirih. Jujur, hatiku perih! "Mama minta tolong dibuatkan cokelat hangat ya, Ndhuk? Mama kangen cokelat hangat buatanmu," pinta Mama lebih bersemangat. Aku senang. Alahmdulillaah.

"Oke, Mamanya Kenanga sayang. Sebentar ya? Kenanga buatkan dulu," kataku riang. Seriang mungkin. Kuletakkan ponsel di meja dan segera beranjak menuju dapur di lantai bawah. Aku akan membuatkan cokelat hangat spesial untuk Mama tersayang. Semoga dengan itu, Allaah memberikan kesembuhan aamiin.

***

Kudengar samar-samar dari ujung tangga di depan kamar Mama, Mama berbicara dengan seseorang. Oh, mungkin teman Mama menelepon. Seingatku, selama membuat cokelat hangat di dapur tadi, tidak ada tamu. Oke, semoga dengan begitu, Mama lebih bersemangat lagi dan lebih cepat diberikan kesembuhan dan kesehatan. Aamiin.

"Jangan pernah kamu hubungi Gendhuk lagi! Dasar pengkhianat! Mulai detik ini! Banyak kok yang mau menikahi Gendhuk, bukan hanya kamu! Jangan ge-er kamu!" Suara Mama terdengar sangat marah. Sementara, aku hanya berdiri kaku di depan pintu. Nampan yang kubawa nyaris terjatuh. Jadi Mama berbicara sama Mas? Oh, iyaaa. Ponselku ... Maaas! Aku runtuh. Luruh. Rasanya, detak jantungku terhenti. Oooh, Maaas! Andai Mas tahu, bahkan Kenanga hanya ingin menikah sama Mas. Bukan yang lain. Yaa Rabb, kalau sudah begini, apa lagi yang bisa kulakukan? Aku pasrah. Bisikku lirih. Lirih sekali.

The End

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Saat Kau Pergi"

Posting Komentar