Sebait Puisi Sinar

Bismillaah

Sebait Puisi Sinar

A story by Sakura Sizuoka

Malam yang romantis. Jarum jam dinding berbentuk Hello Kitty yang tergantung di atas meja belajar tengah berhimpitan di angka sebelas. Artinya, lima menit lagi, jam dinding itu akan mendentangkan dooong, dooong, dooong sebanyak sebelas kali dan pasti dentangannya itu akan menggema hingga ke seluruh penjuru rumah. Itu, jam dinding peninggalan Papa. Papa membelikannya untuk Sinar, sewaktu bertugas di New York.

Waktu itu, Sinar masih berusia lima tahun. Dan, Papa membelikan jam dinding itu sebagai hadiah karena Sinar bisa diterima di Leiden Kinderen Schoel tanpa test. Semacam apresiasi begitu. Selain itu, Sinar memang sudah lama minta dipasang jam dinding di kamarnya. Tadinya, hanya ada jam weker kecil yang juga berbentuk Hello Kitty di atas meja belajarnya. Ia, bertugas membangunkan Sinar setiap shubuh. Entah jam wekernya yang keren atau memang Sinar yang memiliki kedisiplinan keren, hingga setiap jam weker itu membangunkannya, Sinar tidak pernah membantahnya. Segera bangun dan bersemangat menjalani hari. Itulah mengapa, sewaktu mencarikan oleh-oleh untuk Mama dan Sinar, Papa membelikannya. Mumpung ada yang berbentuk Hello Kitty, tokoh karakter idola Sinar.

Terlebih, jam dinding yang menjadi simbol waktu, merupakan hal penting bagi Papa dan Mama. Waktu, sesuatu yang benar-benar berharga bagi mereka. Dimana, waktu bukanlah hal yang kasat mata, namun nyata adanya. Mengantarkan mereka menuju musim-musim yang indah, peristiwa-peristiwa yang membahagiakan bersama keluarga. Terkadang, waktu jualah yang melukiskan kisah. Bahagia, duka. Tertawa, menangis. Bersorak riang, menelungkup kecewa. Semua. Ya, semuanya! Begitu berharganya waktu, hingga mereka tidak mau menyia-nyiakan begitu saja. Tidak mau menghabiskannya dengan hal-hal yang tidak berguna.

Siiing, siiing, siiing ... Angin musim gugur bertiup sangat kencang di luar sana. Sinar bergidik kedinginan. Dirapatkannya sweater merah tulip yang dikenakannya sejak selesai mandi tadi. Diedarkannya pandangan ke seluruh kamar. Ah, benar-benar penuh dengan kenangan. Kenangan yang mengukirkan jejak cinta bersama Papa dan Mama. Di sepanjang usianya, Papa dan Mama selalu mencintainya dengan sepenuh hati. Sekuat jiwa dan raga. Yaa Rabb, jaga Papa di sisi-Mu. Jaga Mama, Rabb. Ketika aku tiada nanti ... Jaga Dedek. Jadikan mereka hamba-Mu yang shalih. Aamiin. Bisik hatinya syahdu. Tiada terasa buliran bening mengaliri wajah ayu pucatnya.

Aliran air bening itu menetesi kertas pink polos yang dijepit di atas papan kayu, membuatnya tersadar. Dikemasinya air bening yang membasahi pipi tirusnya itu dan melanjutkan menulis. Kali ini, Sinar sedang ingin menulis puisi. Puisi, yang ingin dipersembahkannya untuk Papa. Ya, andai Papa masih ada, besok pagi Papa akan berulang tahun yang ke lima puluh tujuh. Dan, besok pagi-pagi sekali, Sinar akan menyelipkan lembaran puisi itu di bawah pintu kamar Papa dan Mama. Ah, rommantis sekali. Dan, siang harinya, Sinar akan melakukan semua hal yang sudah dirancangnya untuk memberikan surprise besar-besaran untuk Papa. Papa tercinta.

Lagi-lagi, angin bertiup dengan sangat kencang. Sinar terkesiap. Ini dingin sekali. Bisiknya. Lalu, saat angin berdesing lagi, jam dinding Hello Kitty tengah ber-dooong, dooong, dooong. Jam sebelas malam. Tepat.

Sinar memandangi kertas pink polos itu, sendu. Sebait puisi sudah tertulis di sana.

"Papa, dit is voor Papa, hoor. Kijk eerst, Papa. Stunning, hoor. En, ik hou van je, Papa ...," bisiknya lirih, seiring dengan darah kental yang mengalir dari hidungnya. Ya, Sinar mimisan lagi dan kini, dadanya menjadi nyeri. Jantungnya bedegup kencang, membuat keringat dingin membasahi tubuhnya. Dingin. Diiingiiin. Sinar menggigil.

Tangan lemahnya berusaha memutar handle kursi roda menuju ranjangnya. Namun, apalah daya? Sinar tak lagi bisa. Tubuhnya semakin lemas. Bergetar. Gemetar. Dipejamkaannya matanya. Diingatnya Allaah dengan syahdu. Dilantunkannya dalam hati, Ayat-ayat-Nya.

***

"Sinaaar ...! Heeelp, tooolooong ...!" Mama histeris, mendapati keadaan Sinar yang tak lagi mampu membuka matanya. Disadari Mama, selain Sinar dan Dedek tak ada siapa-siapa lagi dirumah ini. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, Mama menuju meja telepon yang terletak di samping meja belajar Sinar. Tangannya yang gemetar hebat, berusaha menekan nomer rumah sakit. Dan, berhasil. Seseorang menyahut di seberang sana.

"Ibunya Sinar ... Pingsan ... Mimisan ... Darahnya banyak sekali ... Terima kasih,"

***

Dengan berat hati, dokter mengatakan, "Sinar telah menghadap Rabb. Kita harus mengikhlaskannya," dan Mama hanya bisa terjatuh. Tak sadarkan diri.

"Innalillaahi wainna ilaihi raji'uun. Suster, tolong hubungi keluarganya." Dokter mengatakan itu dengan desahan napasnya yang berat. Ditutupkannya kain putih ke sekujur tubuh Sinar yang kini tiada lagi bernyawa. Diliriknya sekilas, senyum kedamaian melengkung di bibirnya. Ah, Sinar. Selamat jalan. Semoga Rabb merengkuhmu selalu dengan cinta-Nya. Aamiin. Bisik hati Dokter. Sendu. Syahdu.

***

Ayu masih memegangi kertas pink itu. Di sana, ada bercak-bercak darah mimisan Sinar dan sebait puisinya untuk Papa. Air mata Ayu semakin deras mengalir. Bibirnya bergetar, namun dipaksakannya untuk tetap membaca puisi karya terakhir Sinar.

Kecup Cinta Untuk Papa

A poem by Sinar

Papa ... Hanya ini yang dapat Sinar bingkiskan

Sekecup cinta mesra

Dari lubuk hati untuk Papa Tercinta

Papa, Sinar mendengar detak jantung Papa ....

"Sinaaar ...! Siiinaaar ...!" Ayu histeris. Semua yang ada di sana berusaha untuk menenangkannya. Ayu, sahabat dekat Sinar dari sejak bayi. Jadi, bisa dimaklumi jika getaran cintanya begitu kuat. Kuat, mendekap pusara Sinar. Seolah tak ingin terpisahkan. Namun apalah daya? Rabb Maha Kuasa.

---#---

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Sebait Puisi Sinar"

  1. Wow! Brilliant story. But it's a pity that Sinar could die. I'm so sad.

    BalasHapus