Amanah Ustadzah Hanifah

Bismillaah

Amanah Ustadzah Hanifah

A story by Sakura Sizuoka

Koridor benar-benar lengang. Ini memang masih pagi. Dan Kamboja sengaja berangkat lebih awal dari biasanya. Merasa masih harus memperdalam lagi Mata Kuliah Psikologi Sosial yang kata Bu Hastuti akan di adakan latihan ujian. Ia tidak mau, nilai latihan ujiannya anjlog hanya karena kurang matangnya persiapan. Kamboja mempercepat langkah menuju kelas yang terletak di lantai tiga. Faktanya, selain kurang matangnya persiapan menghadapi latihan ujian juga ada PR dari Pak Hanan yang harus dibenahinya sedikit. Pak Hanan mengampu Mata Kuliah Psikologi Analitik. Betapa berdebarnya hati Kamboja, sewaktu menyadari ada sedikit kekeliruan di bagian akhir makalahnya. "Lupa memolehkan booming quote di clossing-nya. Aaah, kenapa bisaa keliru sih? Gumamnya. "Semoga Allaah memudahkan," gumamnya lagi. Derap langkah kakinya terdengar menaiki tangga dengan penuh semangat.

Oh, sudah ada Melisa. Terlihat sibuk menghapal di sudut kelas. Melisa melambaikan tangan kepadanya dan dibalasnya dengan salam dan lambaian tangan. Buru-buru, dikeluarkannya makalah yang harus diperbaikinya. Tapi, masa ditulis tangan sih? Dahinya berkenyit. Ada lagi yang dilupakannya. Laptop. Ya, Kamboja lupa membawa laptop. Flash disc? Tanya hatinya dan dengan secepat kilat, tangannya menggeledah siisi tas. Benda mungil itu, terselip di antara diktat kuliahnya. "Alhamdulillaah," bergegas, Kamboja menuju laboraturium komputer. Dia harus segera memperbaiki makalahnya.

Sesampainya di laboraturium komputer, Kamboja terhenyak. Sesorang sedang menunggunya di sana? Oh, mungkin kebetulan saja. Ah, kebetulan? Bukan kah di dunia ini tidak ada sesuatu yang kebetulan? Bukan kah semua sudah diatur boleh Allaah dengan sebaik-baiknya? Tapi, untuk apa dan kenapa Kak Alif ada di sana?

Perlahan, Kamboja mendekatinya.

"Assalamu'alaykum, Kak," ucapnya santun sembari menundukkan pandangan. Matanya menatap ujung sepatunya.

"Wa'alaykumussalam," jawab Kak Alif lirih. Entah apa yang sedang dilakukannya. Yang jelas, baik Kamboja maupun Alif sama-sama menunduk.

Kamboja memutuskan untuk segera masuk ke ruang komputer yang disediakan khusus untuk mahasiswa. Masih banyak hal yang harus dikerjakannya. Pikirnya. Ditinggalkannya Alif yang masih duduk di bangku panjang itu.

Diabaikannya gelenyar lembut yang mendadak muncul di hatinya. Ah, itu normal. Manusiawi. Namanya juga bertemu dengan lawan jenis. Ya, masa sih aku mati rasa? Celoteh hatinya.

***

Alhamdulillaah, semua berjalan dengan lancar. Meski banyak yang terlupakan di pagi hari, namun Allaah menggantinya dengan hal-hal lain yang lebih membahagiakan hatinya. Kamboja, berhasil mengikuti latihan ujian dengan mudah dan lancar. Semua soal yang diberikan Bu Hastuti bisa dikerjakannya dengan baik dan benar. Begitu juga dengan presentasinya, mendapat aplaus dari semua temannya dan nilai A dari Pak Hanan. Alhamdulillaah.

Baru saja mau beranjak meninggalkan kelas, Kamboja dikejutkan suara seseorang yang tidak asing lagi di pendengarannya.

"Wa'alaykumussalam, Ustadzah?" Diciumnya punggung tangan Ustadzah Hanifah dan mereka pun saling memeluk penuh kasih.

"Kamboja, bisa mampir ke rumah Ustadzah sebentar?" Ustadzah mencuil pucuk hidung Kamboja penuh kasih. Baru disadarinya sesuatu, berarti Ustadzah sengaja menjemputnya ke kampus? Ma syaa Allaah. Ada apa? Penting sekali kah?

"In syaa Allaah, bisa Ustadzah. Kita ke rumah sekarang?" Tanya Kamboja penuh semangat. Ustadzah mengangguk senang. Alhamdulillaah, bisik hatinya. Yaa Rabb, entah kenapa, aku begitu mempercayai anak ini. Semoga, kepercayaanku ini, karena Engkau pun mempercayainya, Rabb. Aku bahkan bahagia sekali akan memberikan amanah ini kepadanya. Semoga, Engkau ridha, Yaa Rabb. Aamiin.

***

Kamboja bergeming. Wajahnya pucat. Bibirnya bergetar hebat, hingga tak sepatah kata pun sanggup diucapkannya. Hanya suara tangis terdengar memenuhi kamar Ustadzah. Dengan penuh kesabaran, Ustadzah menenangkan hatinya.

"Kamboja, dengarkan Ustadzah ya? Ustadzah tidak memaksamu. Ustadzah hanya sangat mempercayaimu. Dan, ustadzah berharap kamu bisa mempertimbangkan ini dengan jernihnya akal dan beningnya hatimu. Agar kelak, tiada penyesalan terjadi. Terima kasih, sudah berkenan mampir dan memberikan kesempatan kepada Ustadzah untuk menyampaikan ini. Ustadzah bahagia. Dan, andai Ustadzah harus ...," kalimat Ustadzah menggantung. Bibirnya bergetar dan tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Itu terlalu berat untuk diucapkannya.

"Ustadzah, emmm, eeeh, Ustadzah, ba, baiklah, Kamboja akan mempertimbangkannya," ucapnya gugup. Terbata-bata. Hatinya berdebar kencang dan jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Yaa Rabb, apa yang harus kulakukan? Apakah Ustadzah tidak salah mengamanahkan hal seberat ini kepadaku? Apakah aku sanggup menjalankannya? Apakah Engkau ridha, Rabb? Apakah ini yang terbaik di hadapan-Mu?

***

Sejak saat itu, Kamboja menjadi berbeda. Tidak banyak kata dan sikap. Hatinya benar-benar intensif memohon petunjuk kepada Allaah, apa yang seharusnya dilakukannya. Menerima atau tidak, amanah yang diberikan Ustadzah Hanifah. Itu, sungguh berat baginya.

Bukan karena ia masih berstatus sebagai mahasiswa, bukan juga karena usianya yang masih sangat belia. Tapi, apakah ia mampu menjadi wanita kedua dalam mahligai rumah tangga Ustadzah Hanifah dan Ustadz Furqan?

Kembali terngiang di telinganya, semua perkataan Ustadzah Hanifah. Nada bicaranya yang sungguh-sungguh, tulus dan jujur. Sorot matanya yang teduh dan bersahaja. Tatapannya yang mengandung kasih. Ah, Yaa Allaah. Apakah aku harus mengecewakannya? Atau, apakah aku harus memaksa diriku sendiri untuk belajar ikhlas? Ikhlas, dalam menerima amanah ustadzah? Berikanlah pilihan-Mu, Rabb. Ambilkanlah keputusan terbaik-Mu. Untuk kami.

Hati Kamboja terbolak-balik. Sejenak yakin, dan sejenak bimbang. Semacam ombak yang pasang surut bergulung-gulung di tengah lautan.

"Allaah, aku yakin, Engkau akan memberikan kepada kami keputusan yang terbaik," ucapnya lembut. Lirih, di sela isak tangisnya.

Tiba-tiba HP-nya bergetar. Nasyid Istiqarah Cinta-Nya Sigma menggema memenuhi kamarnya. Di layar tertera nama Ustadzah Hanifah. Hatinya tercekat. Jantungnya berdegup sangat kencang. Deg, deg, deg!

"Ustadzah ...," ucapnya setelah saling mengucap salam. Senyap, hanya desah napas Ustadzah yang terdengar. Di sela-selanya terdengar bunyi monitor jantung, tut, tut, tut. Ustadzah di rumah sakit? Ustadzah sakit lagi? Innalillaahi. Syafakillaah, Ustadzah. Bisik hatinya.

"Kam-bo-ja," suara Ustadzah tersendat-sendat. Lirih sekali, nyaris tak terdengar. Sesaat setelah itu, didengarnya jerit tangis seseorang. Ustadzah? Ada apa? Ustadzah kenapa? "Innalillaahi wainna ilaihi raji'uun," suara seorang ikhwan terdengar sangat jelas. Mungkin, itu suara Ustadz Furqan. Oooh, jadi, Ustadzah Hanifah? Meninggal? Innalillaahi wainna ilaihi raji'uun.

***

Setahun setelah meninggalnya Ustadzah Hanifah, Ustadz Furqan mengkhitbah Kamboja. Sepekan setelahnya, keduanya menikah. Semoga, Allaah menjadikan rumah tangga mereka, sakinah mawddah warrahmah baarakah. Aamiin.

Kini, Kamboja tengah mengandung Buah hati mereka. In syaa Allaah, tiga hari lagi, kandungannya akan genap berusia empat bulan. Ustadz Furqan mengusap-usap perutnya sepenuh cinta.

"Alhamdulllaah. Terima kasih, Shalihah-nya Mas," bisiknya mesra. Kamboja tersenyum manis. Senyum yang tulus.

"Alhamdulillaah. Sama-sama, Mas. Semoga Ustadzah bahagia di sisi Rabb ya, Mas?" Ucapnya dipenuhi rasa haru. Keduanya saling memeluk sepenuh cinta.

---#---

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Amanah Ustadzah Hanifah"