Pelabuhan Terakhir Bagi Hatiku

Bismillaah

Pelabuhan Terakhir Bagi Hatiku

A story by Sakura Sizuoka

Malam yang indah. Malam ini benar-benar menjadi malam istimewa baginya. Berbeda dengan ribuan malam yang telah berlalu dalam hidupnya. Bakuh bergegas mencari tempat duduk yang sesuai dengan nomer tempat duduk yang tertera di tiketnya. Gerbong 4 nomer 4. Waaah, kok bisa pas gini ya? Tanya hantinya, menimbulkan selengkungan senyum gagah di bibirnya. Senyum yang hampir bisa dikatakan, senyum pertama setelah sekian tahun lamanya tidak pernah tersenyum. Yaaa, Bakuh baru saja bangkit dari masa kelamnya. Mas silam yang kelam tepatnya. Masa silam yang membuat hatinya remuk selama puluhan tahun. Dan kini, remukan hatinya itu perlahan-lahan telah terrekat kembali. Yaaa, hatinya sudah mulai utuh kembali. Setelah seorang gadis manis bernama Kinara hadir dalam hidupnya.

Kinara, mampu memberikan obat bagi semua luka yang selama ini menganga di hatinya. Kinara juga mampu menjadi pelipur lara atas segala duka yang selama ini menggelayuti hidupnya. Ya, tidak hanya itu. Bahkan, Kinara telah mampu merubah kehidupan Bakuh yang karena remuk hatinya dulu itu melarikan diri ke kehidupan jalanan, menjadi seorang lelaki shalih. Betapa Kinara, gadis yang begitu sempurna di mata Bakuh dan Ibu.

Kereta Argo Lawu yang ditumpangi Bakuh melaju kencang. Meninggalkan keramaian Jakarta. Langit biru yang melengkung luas di atas sana, memayungkan kedamaian kecil di sudur hatinya. Bakuh menghela napas panjang. Perlahan, dihembuskannya dengan lembut, sering melengkungnya senyum simpul di bibirnya.

"Mas akan segera melamarmu, Dik. Tunggu ya, Cah Ayu," bisiknya lirih, di antara deru laju kereta. Bayangan wajah Kinara menari-nari indah di benaknya. Pelupuk matanya, dipenuhi kuncupan air mata haru. Bahagia menyeruakkan syukur yang begitu dalam ke seluruh isi hatinya.

"Kamu mau, Dik? Nikah sama Mas? Tapi, apa kamu ndak malu to Dik, nikah sama Mas yang preman begini? Kamu kan santri, Dik. Ndak pantes rasanya, Dik. Mas ndak ingin jadi pungguk merindukan bulan." Tuturnya dulu, sebelum kembali ke Jakarta untuk mencari penghidupan. Mereka berbincang di teras depan rumah Kinara. Sore yang indah, dengan cericip bayi burung dan semilir angin menghiasi. Padu padan yang pas. Waktu itu, mereka ditemani Mamak. Mamak memang selalu setia menemani Kinara, anak gadis semata wayangnya. Terlebih, bila ada tamu laki-laki yang ingin bertemu dengannya. Mamak tak pernah membiarkannya sendiri.

Medengar Bakuh bertutur seperti itu, Kinara menundukkan wajahnya yang manis. Pipinya bersemu merah, menahan malu dan haru. Sejujurnya, sedari dulu, Kinara sudah sangat mengharapkannya. Ya, mengharapkan Bakuh menjadi imam dalam hidupnya. Namun, sungguh, Kinara sangat menyadari bagaimana keadaannya. Sehingga semua harapan yang kian melangit setiap saat itu, hanya dipendamnya dalam bilik hatinya.

"Dik?" Bakuh memanggilnya lirih. Mesra. Kini, Kinara mengangkat wajahnya yang sudah merona kemerahan. Menahan hatinya yang berdebur-debur, seperti ombak di tepian pantai. Detak jantungnya, seolah sedang maraton. Berdetak kencang sekali.

Kinara mengangguk. Tulus. Sorot mata teduhnya menatap Bakuh dalam dan tajam, seolah mengatakan, "Kinara mau, Mas. Dan Kinara nggak malu. Bagi Kinara, Mas itu sedari dulu, adalah matahari yang menyinari kehidupan Kinara. Kinara nggak memandang bagaimana Mas saat ini, saat dulu tetapi Kinara hanya memandang bagaimana Mas di masa depan. Ketika sudah hidup bersama Kinara."

Itu, membuat Bakuh yakin, Kinara menerima cintanya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Bakuh melonjak gembira. Dengan mantap, bersujud di lantai teras dan air matanya pun melinang-linang. Itu, air mata bahagia. Air mata syukur.

"Dik, Mas berjanji. Mulai detik ini, akan menjadi sebaik-baik hamba di hadapan Allaah. Dan, Mas akan datang secepatnya untuk melamarmu, Dik. Tunggu Mas ...,"

Bakuh tersadar dari lamunan, saat dirasakannya keretanya berguncang-guncang keras. Sesaat berlalu, dirasakannya gerbong kereta oleng, miring ke kanan dan ... Bakuh terhempas keras ke jalanan menembus kaca. Tubuhnya terbanting di tanah berlumpur, dengan sangat keras. Matanya berkunang-kunang, lalu perlahan menggelap. Hilang. Sebelum Bakuh menghembuskan napas terakhirnya, senyum manis milik Kinara melengkung merekah indah di benaknya ....

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pelabuhan Terakhir Bagi Hatiku"

Posting Komentar