Hilangnya Laptop Mas Damar

Bismillaah

Hilangnya Laptop Mas Damar

A story by Sakura Sizuoka

Sudah tiga hari dan belum diketemukan juga. Mas Damar sedih dan bingung. Laptop itu sangat berharga baginya. Bukan hanya karena peninggalan Bapak, tapi karena begitu banyak dokumen penting yang tersimpan di sana. Dan, dari sekian banyak dokumen penting itu, ada beberapa yang belum sempat disimpan di flash disc. Itu masalah intinya.

"Soal foto-foto sih aku nggak masalahin, Ko. Yang aku masalahin itu soal makalahnya Dik Ranum sama beberapa essay-nya yang aku bantu mengedit kemarin. Yaaah, nggak terlalu masalah sih, sebenarnya. Pasti Dik Ranum punya copy-annya di flash disc. Tapi kan, aku jadi nggak enak," ungkap Mas Damar waktu bertemu Mas Koko di kantin. Mas Koko juga menyampaikan rasa turut prihatin atas hilangnya laptop Mas Damar.

"Iya, aku ngerti. Tapi mau gimana lagi, Mar? Terakhir kamu pakek di mana sih? Kok bisa ilang gitu?" Mas Koko menatap wajah Mas Damar yang kini sudah semakin pucat. Terlihat bingung dan sedih. "Oh ya, soal Ranum, udah tahu kan kalau laptopmu ilang? Kasih tahulah segera, kasihan kan?" Imbuh Mas Koko bijak.

"Seingatku sih di kost-an, Ko. Tapi, masa sih bisa ilang. Kan kamar selalu aku kunci kalau aku berangkat kerja," Damar menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sembari mengingat-ingat saat terkahir dia menggunakan laptopnya itu. "Dik Ranum udah langsung kuberi tahu, Ko. Aku SMS dia. Jujur, dia kaget dan sedih banget, katanya," kali ini Damar menyeruput the panasnya. Sesaat berlalu dan wajah Ranum menghiasi benaknya. Senyum tulusnya. Eh. Astaghfirullaahaladhiim. Belum halal. Stop!

"Oh, kamu nggak lupa? Beneran di kost? Terus, kost-mu itu memang aman to? Kamu sendirian kan di kamar? Temen kost-mu berapa orang?" Mas Koko menghujani Mas Damar dengan pertanyaan yang justru membuat Mas Damar bertambah pusing. "Oh, ya syukurlah kalau Ranum sudah tahu. Setidaknya, ia bisa menyelesaikan tugasnya sendiri. Eh, ngomong-ngomong, beneran kalian ta'aruf?" Mas Koko mengambil pisang goreng dan menikmatinya dengan lahap. Karena masih panas, repot juga dibuatnya. Bibirnya jadi mencang-menceng, menahan panas.

"Beneran, Ko. Di kost. Waktu itu pagi kok, sebelum aku berangkat kerja. Kan, kuliahku malam. Terus, aku taruk di lemari. Biasa." Ungkap Mas Damar dengan mimik serius. "Eeenggg, apa ada yang tau aku naruk kuncinya di bawah keset ya, Ko? Terus, mengambilnya? Eh. Astaghfirullaahaladhiim. Kok, aku jadi berpikiraan buruk gini sih, Ko?"

"Bisa jadi itu. Eh. Tapi, siapa? Masa temen se-kost-mu tega ngelakuin itu? Nggak mungkin lah!" Mas Koko meneguk es cendolnya dena mendesah erat setelahnya.

"Enggg, nggak tahu, Ko. Sudahlah. Aku udah ikhlas kok." Putus Mas Damar dengan nada lega. Dihelanya napas panjang, menyeruput tehnya yang tinggal setengah gelas dan mengikuti jejak Mas Koko, menikmati pisang goreng.

"Iyalah, ikhlasin aja. Nanti diganti lagi sama Allaah. Lebih baik malah." Mas Koko meneguhkan hati Mas Damar. "Kamu belum jawab pertanyaanku tadi?"

"Bismillaah saja, Ko. Pertanyaan yang mana? Perasaan udah dijawab semua to?" Mas Damar menggigiti ujung sendok the. Pandangannya menerawang jauh. Entah kemana.

"Halah, pura-pura lupa! Itu lho soal Ranum. Bener kalian jadi ta'aruf?" Mas Koko menyikut lengan Mas Damar. Hanya senyum simpul yang diberikan Mas Damar sebagai jawaban.

***

Pagi yang cerah. Langit Yogyakarta terlihat sangat cerah. Matahari bersinar terang. Burung-burung riang menyanyikan lagu alam. Tetes embun perlahan meresap ke dalam lembaran daun-daun, atau terhisap oleh tanah. Ah, lengkap sudah kebahagiaan Damar. Pun Ranum. Keduanya, kini telah halal di hadapan Allaah. Alhamdulillaah.

Hari ini, tepat tiga bulan mereka mengarungi Samudera Hayat bersama. Dengan sepenuh cinta. Sesempurna kasih. Sekuat jiwa dan raga. Sesuci hati. Menjalani hari demi hari dalam suka dan duka. Menghadapi setiap hal yang ada dan terjadi dengan akal jernih dan hati bening. Bismillaah.

Ranum baru saja selesai menjemur pakaian di halaman depan. Sementara Mas Damar masih sibuk beberes di dalam. Kamar kost yang selama ini menjadi tempatnya berteduh dari panas matahari dan hujan. Tempatnya merebahkan badan mana kala lelah. Sudah tujuh tahun lamanya, Damar menempati kamar kost itu. Dari sejak menjadi mahasiswa S1 hingga kini menempuh pendidikan S2. Rasanya, betah sekali Mas Damar tinggal di sana. Begitu banyak kenangan terukir. Dan, Mas Damar tak ingin begitu saja meninggalkannya. Ibu dan Bapak kost juga sudah terlanjur menyayanginya, sudah seperti anak sendiri.

Semua itu sudah disampaikannya kepada Ranum saat pertama kali ta'aruf dulu. Tak ada satu hal pun yang ditutupinya. Semua hanya karena Mas Damar tak menginginkan adanya penyesalan dari diri Ranum di kelak kemudian hari. Alhamdulillaah, Ranum yang sedang menyelesaikan pendidikan S1-nya itu, bisa menerima semua keadaan Mas Damar apa adanya. Seutuhnya. Sehingga, jadilah mereka tinggal di sini. Membangun Surga Cinta mereka. Bismillaah.

Tiba-tiba, Ranum merasa pusing dan mual. Aneh, pikirnya. Masa sih kena sinar matahari sedikit saja langsung gini. Ranum menyelesaikan menjemur pakaian, hingga akhirnya tak kuasa lagi menahan rasa mualnya.

"Hueeek, hueeek," Ranum muntah-muntah. Dalam hatinya terbersit perasaan lega, setidaknya, tugasnya sudah selesai. Nanti, tinggal menyiapkan makan pagi untuk Mas Damar. "Hueeek, hueeek," yaa Allaah, bisik hatinya. Aku kenapa sih? Aneh gini.

Mas Damar yang sudah selesai membereskan kamar dan berniat membantu Ranum, kaget melihatnya muntah-muntah. Segera dihampirinya Ranum yang masih jongkok di samping papan jemuran, sembari memegangi kepalanya. Muntahannya banyak sekali.

"Dik, kamu kenapa, Dik? Sakit?" Damar mendekat dan menjajari Ranum. "Ya Allaah, udah kamu istirahat aja, Dik? Kenapa nggak bilang kalau kamu sakit? Harusnya aku saja tadi yang njemur, Dik." Ucap Damar panik sembari membantu Ranum berdiri. Diajaknya masuk ke kamar.

"Embernya, Mas," Ranum mengingatkan.

***

Positif. Alhamdulillaah. Ranum masih memandangi benda mungil itu dengan perasaan haru. Di sana, ada strip dua berwarna merah, yang menandakan bahwa dirinya postif hamil. Ranum memejamkan mata, mengucap syukur sebanyak-banyaknya. Sedalam-dalamnya. Alhamdulillaah.

"Dik? Kamu kok lama di kamar mandinya, Dik?" Suara Mas Damar dari balik pintu. "Nggak apa-apa kan, Dik? Aku khawatir lho." Tambahnya.

Greeek! Ranum membuka pintu kamar mandi. Wajah pucatnya menyembul dari sana. Itu, membuat Mas Damar semakin kahwatir. Ada apa dengan Dik Ranum, Yaa Allaah. Tanya hatinya.

"Dik? Kamu pucat sekali? Kita ke dokter ya? Beneran, aku khawatir banget." Ucapnya gugup. Digandengnya tangan Ranum. Mereka berjalan beriringan menuju kamar.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Beneran," Ranum berseloroh, sembari mengangsurkan test pack yang jelas menampilkan dua strip kebahagiaan. Damar terhenyak tersekap bahagia. Senyap. Dadanya berdebar-debar luar biasa. Jantungnya serasa tak berfungsi. Aku, akan menjadi seorang Ayah? Alhamdulillaah. Lonjak hatinya.

***

"Hati-hati, Mas," Ranum mengecup punggung tangan Mas Damar dengan sepenuh bakti.

"Iya, Dik. Kamu juga ya? Jaga diri kamu baik-baik. Jaga anak kita," Mas Damar menimpali setelah mengecup kening Ranum sepenuh cinta.

"Iya, Mas. In syaa Allaah," Ranum tersenyum manis. Damar mengelus pipinya mesra. Lalu, diusapnya perut Ranum yang kian membuncit dengan penuh cinta. Mungkin, dalam pekan-pekan ini, Si Jabang Bayi akan lahir. HPL-nya sih lima hari lagii. Yaa Rabb, berikanlah perlindungan terbaik-Mu untuk mereka. Aamiin. Bisik hatinya.

"Oh ya, Dik. Nanti kalau Koko nganterin buku pesananku, tolong diterima ya? Soalnya Koko nggak bisa nganter ke kantor," ucap Mas Damar setelah mencium perut Ranum. "Atau biar nanti aku SMS Koko, bukunya aku ambil sepulang kerja aja. Eh. Tapi Koko ada di kost-nya nggak ya jam segitu? Ya udah, Dik. Gampang. Nanti aku SMS kamu yaa?" Simpulnya bijak. Ranum tersenyum lebar. Merasa lucu kalau Mas Damar sedang sedikit bingung seperti ini. Mas Damar berlalu setelah mengucapkan salam. Ranum menjawabnya dengan mesra.

***

Ranum baru saja selesai menyeterika. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya. Dipikirnya Koko, mau mengantar buku pesanan Mas Damar. Tapi ternyata ....

"Lhooo, kok nggak ada siapa-siapa?" Dahi Ranum berkerenyit. Siapa ya? Ranum celingukan dan matanya tertumbuk pada kado yang ada di atas keset. "Oooh, jadi, orang itu nganter ini. Pasti Koko. Ada-ada aja, langsung kabur. Oooh, mungkin nggak enak, karena nggak ada Mas Damar," gumamnya menarik kesimpulan.

"Lho? Tapi kok, untuk aku? Dari siapa ya? Sepertinya bukan buku?" Ranum mengambil kado itu dengan bingung. Setelah memastikan memang tidak ada orang di sana, Ranum masuk ke kamar.

"Laptop? Sepertinya aku pernah liat laptop ini? Oh, jangan-jangan ...,"

***

"Ah, yang bener Dik? Laptopku, dikembalikan?" Tanya Mas Damar terdengar heran sekaligus senang.

"Iya, Mas. Boleh aku buka nggak, Mas?" Sebenarnya, Ranum heran. Benar ini laptop Mas Damar, tapi kenapa tadi si pengirim menujukan untuknya? Bukan Mas Damar?

"Oh, iya, Dik. Boleh. Kamu buka ya? Kamu teliti, benar nggak itu laptopku. Kalau nggak dihapus, pasti kamu ingat semua dokumen yang ada di sana," sahut Mas Damar bijak. Ranum tersenyum senang dan segera membukanya.

JEPLAAAK!

Ranum terkejut. Mendadak, jantungnya berdetak cepat, hingga perutnya terasa sakit. Kram.

Itu ... Mas Damar sama Mbak Salma? Mereka ...?

Foto-foto itu terpampang jelas di galery. Ada banyak pose mesra di antara Mas Damar dan Mbak Salma? Jadi, mereka pernah berpacaran? Ah, nggak mungkin! Mas Damar kan shalih. Tapi, bagaimana bisa berfoto mesra bersama Mbak Salma seperti ini? Ini foto kapan? Kok, sepertinya baru? Ini kan, kemeja Mas Damar yang baru. Ranum mengaduh kesakitan. Perutnya tiba-tiba mengalami kontraksi. Namun semua itu ditahankannya. Semua file dibuka dan diteliti. Masih utuh seperti dulu. Hanya, tambahannya galery cinta. Galery yang berisi foto-foto mesra Mas Damar dan Mbak Salma.

"Aaahhh," Ranum semakin kesakitan. Kontraksi dirasakannya semakin kuat dan lama. "Yaa Allaah, sakiiit," rintihnya. Namun, entah mengapa, matanya masih saja menatapi foto-foto itu. Darahnya mendidih. Semakin panas hatinya, semakin menjadi-jadi kontraksi yang dialaminya.

Tiba-tiba, disadarinya satu hal.

"Mas, bisa pulang sekarang?" Ucapnya sembil meringis menahan sakit. Mendengar suara Ranum yang kesakitan, Damar menjadi khawatir. Mungkin, Ranum sudah mau melahirkan.

"Ya, Dik. Tunggu ya, Dik. Yang kuat, Dik," ucapnya gugup namun sebisa mungkin ditenangkannya hatinya. "Aku segera pulang," tandasnya tegas.

***

"Ini belum saatnya melahirkan, Pak. Sepertinya, istri Anda mengalami gangguan stressed. Sebaiknya, perbanyak istirahat dan rileks. Kalau perlu, perbanyak jalan-jalan pagi, agar asupan udara segarnya terpenuhi. Ini, biasa terjadi pada hari-hari menjelang HPL," terang dokter.

"Baik, Dokter. Terima kasih. Jadi, sebaiknya istirahat di rumah atau di sini, Dok?"

"Di rumah saja, tidak masalah, Pak. Nanti kalau di sini, istri Anda bisa semakin stressed. Itu tidak bagus untuk kesehatan dirinya sendiri dan janin yang dikandungnya."

***

Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepatdi depan pagar rumah kost. Sepanjang perjalanan, mereka banyak diam. Damar menyimpulkan, Ranum diam karena menahan sakit. Sedangkan Ranum, berpikir Mas Damar diam karena merasa bersalah. Bersalah, karena sudah menduakannya dengan Mbak Salma. Berkhianat. Maksiat. Salah besar. Dosa besar.

"Maafkan aku, Dik. Gara-gara aku, kamu jadi gini," Mas Damar berujar perlahan sambil membaringkan Ranum di tempat tidur. Nah, benar kan? Jadi? Mas Damar pembohong! Bisik hati Ranum. Buktinya, dia merasa bersalah seperti ini. Artinya? Kalau begini lebih baik ....

"Dik? Ada apa? Apa ada yang salah, Dik?" Mas Damar menyelimuti Ranum yang sudah terlihat tidak kesakitan seperti tadi lagi. Kelegaan menyeruak ke dalam sanubari Mas Damar.

Tiba-tiba Ranum duduk dan tangisnya pecah menjadi-jadi.

"Lho? Dik? Ada apa to, Dik? Aku jadi bingung."

"Mas, nggak usah pura-pura deh! Ngaku aja, Mas," ucap Ranum di sela-sela tangisnya. Mas Damar jadi bertambah bingung.

"Ngaku? Pura-pura. Aku nggak ngerti, dik! Sungguh!"

"Haaalaaah, Mas. Terus, kenapa Mas segitu dekatnya, segitu mesranya sama Mbak Salma?" Tanya ranum marah. Tangisnya sudah mereda dan kini kemarahan menguasainya. Terlebih kecemburuan, semakin besar membakar jiwanya?

Damar bingung, semakin bingung dan hanya bisa bergeming. Salma? Dekat? Mesra? Oooh, aku tahu sekarang, laptop itu yang mengambil Salma.

Bukannya menanggapi Ranum yang masih marah-marah, Mas Damar malah mendekati meja, tempat Ranum menyimpan laptopnya yang telah lama hilang itu. File demi file dibukanya dan diteliti dengan seksama. Tak ada yang berubah. Semua aman. Tapi ... Astaghfirullaahaladhiim. Jadi, ini yang membuat Dik Ranum sampai sakit seperti ini? Yaa Allaah, mohon tunjukkanlah kebenaran. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama Dik Ranum dan anak kami. Mohon, Yaa Allaah.

"Maaas, Maaas!" Suara Ranum memanggil-manggil dari tempat tidur. . "Tolooong, Mas," jeritnya menahan sakit. Damar segera menghampiri.

"Dik? Kamu kenapa, Dik? Sakit lagi? Yaa Allaah." Damar mengusap perut Ranum yangs sedang kontraksi. Keras sekali. "Sakit, Dik?"

"Iyaaah, Maaaas. Saaakiiit," Ranum merintih-rintih.

"Dik, tolong dengerin. Demi Allaah semua foto itu fitnah! Aku rela diapakan saja sama Allaah, Dik. Demi Allaah." Ujarnya meyakinkan hari Ranum.

---#---

Postingan terkait:

7 Tanggapan untuk "Hilangnya Laptop Mas Damar"

  1. Bravo!
    Nohara, thanks for the English version. I like this one. And I understand that your writtings are amazing!

    BalasHapus
  2. Raj Aryan Malhotra23 Oktober 2015 pukul 08.43

    Hilang di mana tuch

    BalasHapus
  3. lalu lanjutannya apa okino? koq kepotong atau memang sengaja sampai situ?

    BalasHapus
  4. Sakura Sizuoka Posted By Admin23 Oktober 2015 pukul 16.46

    @MyWapBlogPedia,
    Memang saampai di situ, Kak. Endingnya, biar pembaca yang menentukan. Apakah Rimbun mau percaya atau tidak dengan yang disampaikan Mas Damar. :)

    BalasHapus
  5. ceritanya bikin penasaran, hee

    BalasHapus
  6. ceritanya bikin penasaran, hee

    BalasHapus
  7. Sakura Sizuoka Posted By Admin23 Oktober 2015 pukul 18.21

    @Soca,
    Hekekeke, silakan disimpulkan sendiri, Kak :)

    BalasHapus