Setangkup Rindu Untuk Papa

senja.jpg

Bismillaah

Setangkup Rindu Untuk Papa

A story by Sakura Sizuoka

Salju menggerimis, menjelma taburan kapas tanpa biji. Mendarat sempurna di atas atap rumah, bangunan, mobil, sepeda, taman bunga, kebun buah, kanal, taman bermain atau pun pelataran parkir di depan rumah. Aku terlonjak, bahagia. Segera menuruni tangga dan menghambur ke halaman belakang.

"Snowww, Papa! Snowww, Mama!" Aku berseru riang sambil berlarian di taman. Sedikit licin, karena sisa hujan es semalam. Kudengar, Papa menyusulku. Dan Mama, melambaikan tangannya dari loteng. Haha. Mama, Mama. Selalu saja menjemput salju di loteng. Lihat! Mantolnya ditimbuni salju. Putiiih.

"Little Angel, hati-hati. Licin!" Papa mengingatkan dan terlambat. Aku terpeleset dan jatuh terguling. Oh, oh, oh! Hebat! Jadi, hujan es semalam itu benar-benar menyisakan licin. Aku mengaduh kesakitan. "Help, Papa!" Jeritku kesakitan. Dengan cekatan, Papa menolongku. Oh, wooowww, lututku sakiiit!

Aku terkejut. Seseorang menepuk bahuku. Oh, Elise. Apa kabarnya? Seminggu tidak bertemu. Masing-masing kami sibuk dengan Private Schedule. Elise tersenyum manis. Sangat manis, sembari mengangsurkan wafel pesananku. Stasiun Amsterdam sangat dingin. Diiingiiin. Hujan es kian deras, di atas terdengar suara grosak, teng. Grosak, teng. Berulang-ulang. Itu khas!

"Thanks, Lise!" Ucapku, setelah terkejut itu hilang. Elise mengangguk, sembari menggigiti pinggiran wafel bagiannya. Kudengar, Elis bergumam, "Hemmm, heeemmm," sambil terus menggigiti pinggiran wafel yang kini tinggal separuh. Ah, Elise!

"Jadi, bagaimana?" Tanyaku. "Ummmm, home work-nya, maksudku." Kami ada tugas meneliti Malam Dan Romansanya untuk Mata Kuliah Psikologi Alam. Elise mengangkat bahunya. Sedikit terkikik dan matanya membulat, seolah mengatakan, "Kau saja yang mengerjakannya, Ra!"

Haha. Aku terdiam dan mulai menikmati wafel. Lagi-lagi, kenangan-kenangan bersama Papa bermunculan. Aku dan Papa sedang bermain petak umpet. Papa menjadi Kuda Poni. Papa mengajakku berenang di Leiden Swemmen. Kami berlomba melukis abstrak dan hasil lukisanku adalah induk kucing menyusui bayinya. Ah, banyak sekali. Terlalu banyak. Melintasi benakku satu per satu, hingga ingatanku melayang-layang. Ke masa silam. Dan, Papa mendekapku di sudut kamar, waktu aku mendapatkan tamu bulanan untuk pertama kalinya. Aku panik setengah mati waktu itu terjadi dan Papa menenangkanku.

"Itu tidak apa-apa, Little Angel. Itu artinya, Little Angel sudah dewasa. Sini, biarkan Papa membantumu," Papa lalu mengajariku bagaimana seharusnya aku memperlakukan diriku sendiri setiap kali itu terjadi. Papa juga mengingatkan, aku akan mendapatkan itu setiap bulan. Pada tanggal yang sama.

Lagi-lagi, aku terkejut. Kali ini, Elise menarik tanganku dan kudengar peluit panjang melengking. Oooh, ya, ya. Kereta! Sudah mau berangkat? So, harus siap berlari dan gooo ...!

Elise bersungut-sungut, seolah mengatakan, "Kamu kenapa sih, Ra? Sampe begini kan? No bengong, Ra!" Haha. Aku mengucapkan, "Sorry," dan mempercepat langkah. Elise sempat berteriak, "Nooohaaaraaa!" Sebelum akhirnya sampai di dalam kereta.

"Sorrryyy, terbukti tidak tertinggal kan?"

"Iyooos! Tapi, harus berlari-lari dan itu bisa memudarkan aura cantikku!" Sungut Elise sambil menghempaskan dirinya di kursi. Aku, sebisa mungkin tetap tenang. Kususul Elise dan duduk di sebelahnya.

Papa, semoga Allaah selalu menjaga Papa. Mengampuni dosa Papa, menerima segala amal Papa dan semoga Allaah tempatkan Papa di tempat sebaik-baik tempat di sisi-Nya. Aamiin. Ah, Papa. Rindu ini begitu kental ....

---#---

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Setangkup Rindu Untuk Papa"

  1. What a great! Gkgkgk udah jadi cerita aja. Perasaan gue gak separah itu kale waktu itu. Gue kan gak bisa cemberut Ra?

    BalasHapus
  2. Hekekeke, sorryyy @Elise,

    Tapi, tetap cantiiik, kok.
    Really. :)

    BalasHapus