Serial: Jannah Family

Bismillaah ---Telor Ceplok--- Adzan Maghrib berkumandang syahdu di angkasa. Hujan masih mengguyuri bumi-Nya, di salah satu sudut Kota Jakarta. Rumah kontrakan sederhana bercat ungu muda itu terlihat sunyi. Ada sedikit genangan air di teras, terlihat berkialuan tertimpa sinar lampu. Angka 117 yang menunjukkan nomer rumah itu, terlihat basah. Ah, hujan memang sangat deras sesorean ini. Benar-benar sunyi! Tak terdengar suara apa pun dari sana. Mungkin, Puri sedang tilawah atau muraja'ah seperti biasa, namun terkalahkan oleh suara air hujan. Atau, sedang menidurkan Yuan di kamar. Biasanya, jam segini, Yuan sudah mengantuk. Namun, sengantuk apa pun Yuan, dengan sabar dan tekun, Puri mengajaknya Shalat Maghrib dulu baru kemudian menidurkannya. Jadi, sedang apakah mereka di dalam sana? Suara motor Tsun, terdengar nyaring memecah kesunyian. Bahkan, derasnya curah hujan pun terkalahkan. Maklum, motor butut! Masih alhamdulillaah ada motor butut, dari pada tidak sama sekali. Itu pun, motor peninggalan Bapak. Lumayan lah, dari pada harus naik angkot pulang pergi kerja. Lumayan asyik, bisa nyelip-nyelip dan ngirit! Yang terakhir, faktor lumayan terbesar. Pintu rumah terbuka lebar. Puri dan Yuan memyambutnya dengan wajah cerah ceria. Oh, rupanya Yuan belum tidur juga. Mungkin, menunggu Tsun pulang dulu baru tidur. Anak shalihah. Tahu kalau Abinya kehujanan. "Assalamu'alaykum," Tsun memasukkan motor ke teras. Genangan air terbelah mirip sungai yang dilintasi motor. Sreeet! Muncrat! "'Alaykumussalam, Mas. Masya Allaah, Mas merahmati Mas," Puri mencium punggung tangan Tsun dan meminta Yuan untuk salim. Kecupan cinta dan ridha mendarat mesra di keningnya. Tsun tidak pernah melewatkannya. Dia, selalu menghadiahi kecupan cinta dan ridha itu untuk Puri, Bidadari Surga-nya. Bahkan, sejak detik pertama Allaah menghalalkan cinta mereka. Termasuk, saat di kantornya---Puri sering diajaknya menghadiri acara-acara di kantornya--Tsun tidak malu melakukannya. Bagi Tsun, itu adalah lem alteco yang akan merekatkan kasih sayang mereka. Melihat itu, Yuan tergelak. "Naaah, ini untuk Yuan. Mata Hati Abi," ucap Tsun sembari menciumi pipi nyempluk Yuan. Bayi berumur dua puluh bulan itu tertawa bahagia. Tawa pun berderai di sana. Yaaa, dari Keluarga Surga. "Masuk yuk, Mas. Dingin. Mas juga basah celananya, Puri siapkan gantinya ya, Mas? Yuan, kita siapkan baju ganti Abi yuk? Mas sudah shalat kan?" Ketiganya masuk ke dalam rumah, setelah Tsun menutupi motornya dengan mantol. "Alhamdulillaah, sudah Sayang. Tadi di Masjid Kampus. Nggak ada yang bocor kan atapnya? Mas khawatir banget tadi," Tsun memindahkan Yuan ke pelukannya. Yang dipeluk terlihat bahagia. "Abi, Ummi. Uan tayang," celotehnya lucu. "Iya, Sayang. Terima kasih, Abi sayang Yuan!" * "Makan dulu, Mas. Pasti Mas lapar sekali kan?" Puri menyiapkan piring khusus untuk Tsun. Yuan sudah terlelap dalam gendongannya. "Alhamdulillaah, lapar itu nikmat, Sayang. Kita jadi memahami, kalau kita ini sangatlah lemah. Sudah, Puri nidurin Yuan dulu. Mas biar ambil sendiri makannya," Tsun mulai mengambil nasi dan cah kangkung kesukaannya. Sekilas, diliriknya telor ceplok yang ada di piring kecil sebelahan sama sambal. "Iya, Mas. Sebentar ya, Mas. Nanti, Puri temani Mas makan," dengan hati-hati, Puri menggendong Yuan ke kamar. "Telornya buat Mas. Puri makan cah kangkungnya saja, Mas," tambahnya setengah berbisik. Ah, Tsun tertegun! Dalam hatinya, terlantun syukur yang teramat dalam. Betapa tidak? Allaah telah menghadiahinya Puri, Bidadari Surga baginya. Tidak hanya cantik, tetapi juga shalihah. Meskipun berasal dari keluarga yang kaya raya bergelimang harta, namun semenjak menikah dengannya, Puri sudah langsung menerima kehidupan Tsun apa adanya. Tidak pernah menuntut ini dan itu. Adanya hanya menerima, bahagia dan bersyukur. Adanya, hanya berbakti kepadanya, menjaga Yuan dan rumah kontrakannya. Tak terasa, air mata Tsun mengalir haru. Syahdu. "Loooh, Mas? Kok nangis? Puri salah ya, Mas?" "Oh, eh. Nggak kok, Sayang. Sini, makan bareng Mas." "Oh, iya, Mas. Maaf, hanya bisa menghidangkan ini, Mas," "Sssttt, ini sudah istimewa, Sayang," Tsun membelah telor ceplok itu menjadi dua bagian. Sebagian diletakkannya di piring Puri. Mesra, mereka saling menatap. Itulah cinta! Cinta sejati karena Allaah. The End

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Serial: Jannah Family"

Posting Komentar