Serial: Jannah Family

Bismillaah

---Bapak Kangen Puri---

Innalillaah, Bapak sakit. Kalau sudah begini, Tsun akan sangat sedih. Dulu sebelum menikah, bila ini terjadi, pasti Tsun akan segera pulang. Menjenguk Bapak dan mengantar ke Dokter. Menjaga dan merawat Bapak, adalah hal yang sangat membahagiakan baginya. Tsun jadi sangat rindu dengan kebersamaan bersama Bapak. Padahal, pernikahannya dengan Puri juga baru berjalan dua bulan ini. Namun, di hatinya terasa sudah sangat lama. Maksudnya, lama tidak berkunjung ke rumah Bapak. Belum, tepatnya. Rencananya tiga hari lagi, Tsun akan mengajak Puri pulang kampung. Selain menengok Bapak juga sekalian Puri berpamitan pulang ke Belanda.

Allaah Sebaik-baik Pengatur. Belum sampai tiga hari dari ia membuat rencana itu, tadi sore Bapak menelepon. Mengabari kalau sakit. "Le, Bapak sakit. Demam, flu. Sudah seminggu, Le. Sudah minum obat warung tapi belum sembuh juga," innalillaah, sudah seminggu? Di ujung kabarnya, Bapak juga menyelipkan, "Bapak kangen sama kalian. Sama Puri terutama. Gimana, Le? Bapak sudah nggak sabar pingin gendong anak kamu," dan Tsun hanya bisa mengatakan, "Nggih, Pak. Besok kami pulang," Tsun lupa mengabari Bapak kalau Puri sedang mengandung bakal cucunya.

Kini, di atas laju Si Butut yang berkecepatan sedang, Tsun terlihat sangat sedih dan bingung. Bagaimana tidak? Di dompetnya hanya tinggal tersisa tiga lembar uang ratusan. Benaknya berkecamuk, jangankan mau mengajak Puri, sedangkan untuk ongkos pulang sendiri saja tidak cukup! Ya Allaah, berikanlah kemudahan dan kekuatan, pinta hati terdalamnya.

***

Rumah kontrakannya sepi. Mungkin Puri sedang tidur. Jam segini, menjadi JTE (Jam Tidur Enak)-nya Puri. Dengan hati-hati, diparkirnya Si Butut di teras. Dilerainya pergulatan hebat di batinnya, dengan dzikrullaah. Hati kecilnya meyakinkan, Allaah pasti memberikan pertolongan kepadanya.

"Maaas, assalamu'alaykum. Mas sudah pulang? Kok tidak segera masuk, Mas? Hekekeke. Mas mau kasih surprise buat Puri, ya?" Eh, yang dipikir tidur malah sedang membercandainya. Tsun segera menjawab salam, mencium kening dan perut Puri setelah Puri mencium punggung tangannya. Sebentar, mereka berpelukan. Hangat.

"Iya, Dik. Mas pingin kasih surprise buat kamu. Masuk dulu, yuk?" Padahal, bingung. Bagaimana caranya menyampaikan ke Puri kalau Bapak sakit. Lebih bingung lagi, bagaimana caranya pulang dengan uang yang hanya tiga ratus ribu itu.

"Okeee, yuuuk, Maaas. Puri kangen sama Mas. Tadi, Puri sudah bobok terus bangun lagi. Hekekeke. Baru sadar, kalau Mas belum pulang. Teruuus, Puri iseng mau nunggu Mas di teras. Eh, Mas sudah pulang. Any way, kenapa Mas bengong gitu sih Maaas tadi? Ummm, maksud Puri, Mas terlihat sedang memikirkan sesuatu. Ummm, bentar ya, Mas? Puri buatin teh manis dulu. Mas ganti baju dulu ya? Atau mau sekalian mandi?" Tsun tersenyum simpul. Puri, kalau sedang mood ceritanya panjaaang seperti rel kereta api dan itu yang membuat Tsun senang. Lebih baik Puri cerita panjaaang sepanjang-panjangnya dari pada pusing dan muntah-muntah seperti malam-malam yang telah berlalu.

"Makasih, Dik. Mas mandi dulu ya? Biar nanti tehnya tinggal diminum aja pas Mas selesai mandi," Tsun seperti mendapat ruang untuk menata diri. Setidaknya, saat berbicara nanti, sudah tidak semrawut seperti tadi.

"Siiipooo, Mas. Jangan lama-lama ya, Mas? Nanti dingin tehnya," Puri berseru dari dapur. Tsun mengangguk, seolah Puri melihatnya.

***

"Assalamu'alaykum, Dedek Bayi. Sedang apa di sana? Oooh, sedang mengahapal ya? Surat apa? Masya Allaah, Al-Fatihah. Good, Dedek Bayi. Ummi ikut menghapal yaaa? A'uudzubillaahi minasysyaithaanirrajiim. Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillaahi rabbil'aalamiin ...," Tsun menghentikan langkah. Dipandanginya Puri yang tengah berbicara mesra dengan perutnya. Dalam hatinya, terlantun syukur yang teramat dalam. Betapa itu, nikmat yang tiada tara. Wanita Shalihahku, istiqamah ya? Semoga Allaahs selalu menjagamu. Aamiin. Bisik hatinya.

Chemistry bekerja dengan sukses, seolah tahu sedang dipandangi, Puri menoleh ke arah Tsun, "Eeeh, ada Abi. Kita menghapal bersama yuk, Bi? Dedek Bayi sudah hapal Surat Al-fatihah loooh," dengan lembut Puri mengusap-usap perutnya.

"Iyaaa, Sayang. Alhamdulillaah," cup, cup, cup. Kecupan cinta menyinggahi perut Puri. Lalu, gelak tawa terbit di ufuk-Nya. Ruang makan menjadi bertambah hangat. Selain memang Jakarta selalu memberikan sensasi panas. Hekekeke.

"Jadi, Mas?"

"Iya, Dik," tehnya pahit sekali. Bisik hati Tsun, "Ini manisss sekali. Mas suka. Umm, passs! Mas suka," wajahnya berseri-seri sambil menyeruput lagi dan lagi. Tsun selalu begitu. Berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Puri. Dan sebaliknya.

"Alhamdulillaah. Daaan, surprisenya?"

Tsun menghela napas panjang, raut mukanya pun berubah. Sedikit keruh dan Puri segera menyadari perubahan itu. Dalam soal kepekaan, Puri numero uno. Peka sekali!

"Ya, Mas? Ada apa, Mas? Ummm, lupakan surprise itu. Yang penting Mas baik-baik saja, kan?"

"Iya, Dik. Alhamdulillaah. Tapi, Dik. Eng, Bapak kangen sama kita. Sama kamu."

"Ohhh, iya, Mas? Jadi kita akan ke rumah Bapak? Asyiiik, Puri sukaaa! Eeeh, tapi kok Mas murung begitu? Ada apa, Mas?"

Sepi. Hanya suara kendaraan di kejauhan sana yang terdengar. Tsun bingung harus mengatakan apa. Lidahnya mendadak kelu. Kaku. Seolah ada besi yang melintang di sana.

"Iyaaah, Dik. Eng, Mas. Eeeh, enggak kok,"

"Maaas?" Puri menatapnya lekat. Sorot teduh itu menjilati matanya. Menembus hingga ke relung hati, "Ada apa? Puri tidak boleh tahu, ya? Itu rahasia ya, Mas? Itu ...,"

"Sssttt, nggak, Dik. Nggak ada rahasia di antara kita. Eeeng, Mas sedih karena Mas hanya tinggal punya ti ...," tak sanggup melanjutkan. Tsun diam. Menunduk. Malu. Sedih bercampur malu.

"Oooh, Maaas. Mas yang tenang yaaa? Puri ada kok. Besok pagi, kita ke rumah Bapak ya, Mas? Naik pesawat saja. Biar cepet sampenya, kan, Puri juga kaaangeeen sama Bapak."

Plaaas! Ada sesuatu yang melesat dari hati Tsun. Puri, kau begitu baik. Tulus. Semoga Allaah membalas kebaikanmu. Aamiin.

Jeduuug! Sesuatu menghantam dadanya. Kamu ini bagaimana sih? Masa suami malah menyusahkan istri? Pengecut!

"Aaah, Dik. Nggak usah, Dik. Eeeng, biar Mas cari dulu aja, Dik. Itu kan, itu kan,"

Puri terlalu gesit. Meletakkan jari telunjuk lentiknya di bibir Tsun.

"Maaas, nooo! Kan, kita harus saling membantu. Hikaaa. Kalau tidak, artinya Mas menganggap Puri ini orang lain. Hikaaa," tangis Puri pecah. Tsun merasa sangat bersalah. Bangkit dari tempat duduknya, merangkul Puri dari belakang dan dibisikkannya, "Maafkan Mas, Dik. You're my Shalihah. I love you."

Butir-butir cinta air mataku Teringat semua yang kau beri untukku Ringtone di HP Tsun mengalun merdu dan seru. Dari Bapak.

"Nggih, Pak. Nggih, Pak. Bapak enggal dangan nggih? Kulo wangsul ngenjang," ya, Pak. Ya, Pak. Bapak cepat sembuh ya? Aku pulang besok. Air mata Tsun menetes. Terenyuh hatinya, mendengar suara Bapak yang lemas dan bergetar.

"Mas?"

"Bapak sakit, Dik,"

"Loooh, Mas? Kenapa tidak bilang dari tadi? Kita pulang sekarang aja yuk, Mas? Sebentar, Puri telepon travel agent dulu. Innalillaah, Bapak syafakallaah yaaa?"

Tsun tak mampu mencegah. Puri sudah menghandle semuanya. Hanya syukur dan terima kasih, menjadi nada merdu di kalbunya ....

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Serial: Jannah Family"

Posting Komentar