Dancer Wanna Be

Bismillaah

~Dancer Wanna Be~

Oke, oke. Aku tidak boleh menyerah! Aku pasti bisa! Sepulang sekolah nanti aku akan menarikannya di kamar. Gumam hatinya. Senyum simpul menghiasi wajahnya yang manis. Kerudung merah jambunya menari-nari bersama angin yang menerobos masuk melaui jendela kelas. Pikirannya menerawang jauh. Hingga sampai pada suatu masa. Dimana dirinya dan Ayah berdua di teras belakang rumah di suatu senja.

"Nesta, Sayang..?"

"Ya, Ayah. Nesta sedang mewarnai ini, Yah." Celotehnya sambil menunjukkan gambar seorang penari yang sedang tampil di atas pentas. Tari Kecak. Ayah memperhatikan hasil mewarnainya dengan wajah berseri sambil mengacungkan kedua jempol.

"Hebat, anak Ayah. Sudah selesai, Sayang?"

"Sedikit lagi, Yah."

Sepi. Angin senja menelusup di celah-celah dedaunan. Taman kecil yang anggun itu seolah menghadirkan nuansa kebun bunga luas dengan ratusan jenis bunga dipadukan dengan tanaman-tanaman hias yang menimbulkan suasana harmonis. Ayah mengelus rambut Nesta lembut.

"Yippieee, sudah selesai, Yah..! Lihat, Yah! Bagus kaaan?" Nesta melonjak gembira. Kini penari itu sudah cantik dengan warna-warna yang dipoleskannya. Di sudut kanan atas tertulis namanya. Nesta Nadiva. Tulisan itu terlihat rapi. Di bagian bawah kertas itu bertuliskan Buku Mewarnai Untuk Taman Kanak-kanak. Nesta menunjukkan karyanya dengan wajah berseri manja. Ayah merangkulnya perlahan. Hangat menjalari tubuhnya. Kuat. Mereka kemudian hanyut dalam romansa.

"Nesta sudah semakin tumbuh, Dik. Semoga kamu bahagia di sana. Kamu yang tenang ya, Dik? Aku akan menjaga Nesta dengan segenap jiwa dan ragaku. Selamanya. Hahaha. Akhirnya, dia sama sepertimu, Dik. Ingin menjadi penari..." Gumam hati Ayah. Sementara Nesta masih manja ngelendot di pangkuannya. Senja memberikan kesan bahagia. Semoga menjadi kado bagi keduanya. Malam menjemput dengan keremangan yang khas. Sejenak kelam dan sejenak kemudian menjadi terang benderang dengan lampu-lampu... *

"Nesta! Coba kamu kerjakan soal nomor empat!" Suara Bu Tata mengagetkannya. Nesta gugup dan gagap. Semua mata menatap ke arahnya tajam. Seolah mendakwakan sebuah kesalahan besar dan memalukan untuknya. Dengan canggung, malu bercampur rasa kaget yang belum terkikis Nesta berdiri dan berjalan perlahan menuju papan tulis...

"Ayah, maafkan Nesta. Tapi, Nesta betul-betul sedang merindukan Ayah. " Bisik hatinya. Lirih dalam sendu. Suatu keberuntungan, Nesta dikaruniai otak yang cemerlang oleh Allah. Tidak hanya secara verbal tetapi juga secara kognitif. Semua itu menunjang dirinya untuk selalu menjadi yang terbaik di sekolah. Tak ayal, soal yang dimaksud Bu Tatapun mampu diselesaikannya dengan baik dan benar.

"Sempurna!" Ucap Bu Tata mantap. Suasana tegangpun berganti kelegaan yang merayapi seluruh ruangan. Khususnya bagi Nesta. Alhamdulillah. Syukurnya dalam hati. Ending yang membahagiakan. Senyumnya menghempaskan tatapan-tatapan yang sempat membuatnya tidak nyaman beberapa menit lalu. Nesta kembali ke tempat duduknya dengan tenang... *

"Nes..! Tunggu!" Suara Ratna menghentikan langkahnya.

"Ya, Na? Aku mau langsung pulang."

"Loooh, nggak jadi ikut ke rumah Reva?"

"Enggak. Aku agak kurang enak badan. Lain kali ya?"

"Oke, kamu hati-hati ya, Nes?" Ratna terlihat kecewa tetapi tidak bisa merubah keputusan Nesta. Ratna sangat mengerti bagaimana Nesta. Kalau sudah punya keputusan, takkan mudah untuk dirubah oleh siapapun termasuk dirinya sendiri. Merekapun berpisah di pintu gerbang sekolah. Nesta berjalan kaki menuju rumah yang terletak di belakang sekolah. Bayangannya terus saja tertuju pada kertas itu. Sketsa tari yang tadi dirancangnya di kelas. Tulip Dance. Entah kenapa, Nesta ingin sekali merilis tarian itu. Sebenarnya, sejak kecil Nesta sangat menyukai dua hal. Melukis dan menari. Waktu masih di TK dan SD, tampil di hampir setiap moment penrtas seni. Nyaris semua jenis tarian dikuasainya dengan sempurna. Mulai dari tari Gambyong yang menuntut dirinya untuk tampil lemah gemulai, sampai tari topeng yang menuntutnya untuk tampil menjadi gagah perkasa. Kepiawaiannya menari ini warisan dari Ibunya. Dulu, ibunya penari hebat dan terkenal di kampungnya...

"Aku harus bisa menarikannya. Meski hanya di kamar seorang diri. Aku sudah berjanji pada Ayah, Tulip Dance itu akan aku persembahkan untuknya saat aku ulang tahun nanti. Yaaa, meski Ayah telah tiada..." Kata hatinya. Kini, yang ada dalam benaknya hanyalah manuskrip tarian itu.

Berdiri tegak Salam Mainkan selendangmu Ikuti kata hatimu Menyatulah dirimu dengan tulip merah yang sedang bermesraan dengan angin musim panas Berjingkrak Melompat Ke kiri ke kanan Menyambut matahari Memeluknya Menunduk haru Duduk bersimpuh Mainkan selendangmu Nikmati Ikuti nyanyian tulip Berdiri

Begitulah ... Manuskrip yang sudah dibuatnya. Sesampainya di rumah, Nesta langsung menuju kamar. Tanpa mengganti baju seragamnya, Nesta segera menarikannya. *

Cermin itu terbentang luas di hadapannya. Jauh di lubuk hatinya, Nesta memang ingin menjadi seorang penari. Tetapi, Islam menyadarkannya, menari itu tidak boleh dilakukan di depan non mahram. Boleh menari tetapi untuk suami, Ayah, Ibu, saudara kandung, dan semua yang termasuk di dalam daftar mahram. Ya. Itulah kenapa, Nesta memutuskan untuk tidak menari lagi sejak dia bersyahadat di Bangli, tiga tahun yang lali. Allah memang Maha Baik. Kepergian Ibu dan Ayah membuatnya belajar banyak dalam kehidupan. Nesta berpetualang, mencari kebenaran sejati. Hingga ketika dia hampir lulus dari SMP, hidayah itu menghampiri dan memeluknya. Ratna. Ya, melalui Ratna Allah memberikan hidayah Islam. Ratna itu teman sekelasnya. Keluarganya semua muslim dari Jawa ... Itulah, sejarah bagaimana Nesta meninggalkan menari dan memilih menjadi pencipta tari. Entah bagaimana hukumnya dalam Islam, yang jelas Nesta tidak bisa mengubur begitu saja hal yang disukainya itu. Tarian-tarian itu akan dipersembahkan untuk suaminya kelak. Suatu saat nanti.

"Ayah, Nesta sudah menarikannya. Semoga saat ulang tahun nanti, Nesta sudah selesai membuat gaunnya. Nesta akan menarikan Tulip Dance untuk Ayah. Ayah tahu? Tarian ini Nesta rancang khusus untuk Ayah. Ayah masih ingat? Saat kita bersama-sama melukis bunga-bunga dari Negara-negara tetangga? Belanda? Jepang? Papa melukiskan tulip merah untuk Nesta. Berangkat dari situlah, Yah, Nesta menciptakan tarian ini. Semoga Ayah menyukainya..!" Gumam hatinya sambil memandangi lukisan tulip merah dalam figura berukuran kertas asturo. Keharuan yang menyeruak memaksa air bening itu meluncur dari matanya...

Dirayapinya sekujur tubuhnya sendiri. Kerudung merah jambu hingga ke sepatu kets merah jambu termasuk sweater merah jambu. Ah! Diriku ini...

Dancer wanna be!

*The End*

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Dancer Wanna Be"

Posting Komentar