Ibuku Bukan Pelacur

Bismillaah

Ibuku Bukan Pelacur By Sakura Sizuoka

Seandainya boleh dan bisa, aku akan lebih memilih terlahir dari Ibunya Hasna. Sudah cantik, baik, pintar mengaji lagi. Shalatnya juga rajin. Tidak seperti Ibu ... Shalatpun tidak pernah. Katanya, "Ibu ini terlalu kotor, Wa. Udah, kamu aja yang shalat. Do'ain Ibu ya?" Selalu begitu jawabannya setiap aku mengajak Ibu shalat. Sejujurnya ingin sekali menanyakan,"Kotor kenapa, Bu? Kan Ibu manis, kulitnya bersih. Nah kan, lihat wajah Ibu tak kalah indahnya dengan bulan purnama. Bulat bersinar!" Tapi, jangankan bertanya. Membantahpun aku tak punya keberanian. Kalau sudah begini, aku hanya bisa bersyukur saja. Alhamdulillah, masih ada Ibu. Wonder womenku.

Ibu, satu-satunya orang tua yang kumiliki. Setidaknya begitulah yang kutahu sejak bisa mengingat untuk pertama kali. Tak ada Ayah. Kata Ibu, Ayah sudah meninggal sejak aku masih bayi. Bagiku, Ibu harta yang paling berharga. Entah ... Apa yang dikatakan semua orang tentang Ibu, aku bahkan tidak peduli. Cintaku kepada Ibu, melebihi apapun di dunia ini. Kalau boleh menuliskan, Ibu itu "tuhan" kedua dalam kehidupanku. Bekerja keras tak kenal lelah untukku. Pantang menyerah dan selalu bersemangat. Itu yang bisa kurasakan dengan kental dalam hatiku. Tercipta nyata!

Sampai aku kelas dua SMP ini, Ibu menjadi pekerja malam di kafe. Hanya itu satu-satunya yang Ibu bisa. Katanya, "Nyari kerja susah, Najwa. Sebenarnya, Ibu juga pingin nyari kerja yang lain. Kerjanya siang, jadi kamu nggak tidur sendiri di rumah setiap malam. Tapi mau gimana lagi. Udah ... Kamu belajar yang rajin ya? Nggak usah mikirin Ibu. Ngajinya yang rajin. Jangan lupa setiap shalat do'ain Ibu."

"Sama Ayah." Ucapku menimpali.

"Ya, semoga Ayahmu baik-baik saja di sana." Selau itu yang Ibu katakan lalu bersama-sama mengaamiinkannya.

***

Karena bekerja di kafe itulah Ibu selalu dipandang jelek oleh orang-orang sekitar. Tetangga, saudara dan keluarga. Mereka berpikir Ibu itu wanita murahan yang menjual dirinya demi untuk mendapatkan bayaran mahal. Menanggapi semua itu, Ibu hanya bisa tersenyum sabar dan tegar. Sautu hari, Ibu mengatakan ini, "Najwa ... Kamu satu-satunya yang Ibu punya di dunia ini. Jadilah kamu anak yang kuat dan hebat. Temani Ibu, ya? Jangan jadi seperti Ibu. Cukup Ibu. Cukup Ibu ... Kamu harus jadi profesor seperti cita-cita kamu. Ibu, akan perjuangkan cita-cita kamu. Meskipun harus mengorbankan jiwa dan raga ... Kamu mengerti?" Aku hanya bisa mengangguk dengan air mata terurai saat Ibu mengatakan itu. Rasanya benar-benar berada dalam gumulan jutaan perasaan. Semangat yang mengharu biru!

Ya, aku percaya sama Ibu. Tentu saja, bukan berarti aku tidak malu. Sering sekali, menangis di kamar setiap mendengar orang-orang mengolok-olok Ibu. Tapi ... Biarlah! Toh, Ibu baik-baik saja. Lebih baik aku menuruti semua yang dikatakan Ibu. Rajin shalat, mengaji dan belajar. Biar jadi profesor handal. Kelak ... Aamiin. Bersemangaaat, Najwaaa..!

***

Malam Minggu. Ibu belum pulang, padahal sudah jam dua belas kurang lima menit. Biasanya Ibu sudah sampai di rumah. Selambat-lambatnya jam setengah dua belas Ibu sudah menyusulku tidur di kamar. Kekhawatiran merambati sanubariku. Apalagi teringat Ibu sedang sakit. Beberapa hari ini batuk Ibu bertambah parah.

Ada apa dengan Ibu? Kenapa Ibu belum pulang? Nomer HP-nya juga tidak aktif. Tidak bisa dihubungi. Apa Ibu lembur lagi? Tapi perasaan belum dua minggu jadi lemburnya masih beberapa hari lagi.

Perasaanku menjadi sangat kacau dan bertambah tidak menentu saat sampai jam tiga pagi, Ibu belum juga pulang. Kuputuskan untuk menyusul Ibu ke kafe tempatnya bekerja. Tapi ... Apa aku berani ke sana sendiri? Bukankah kalau bersepeda akan sangat jauh? Belum lagi jalanan yang masih sepi dan gelap? Oooh ... Mungkin, kalau sudah sampai di jalan raya, tidak akan sepi lagi. Ya, aku harus menyusul Ibu. Takutnya terjadi apa-apa sama Ibu. Aku harus bisa melindungi Ibu. Setidaknya itu yang ada dalam benakku saat ini.

Mengayuh sepeda dengan cepat menuju Hoera Caffe. "Ya Allah, lindungi Najwa. Najwa mau menyusul Ibu. Kahwatir terjadi apa-apa sama Ibu. Najwa sayang Ibu. Lindungi Ibu, ya Allah. Aamiin." Do'aku di sepanjang jalan.

Akhirnya sampai juga. Ternyata tidak terlalu jauh juga. Belum adzan shubuh aku sudah di Hoera Caffe. Padahal aku pikir akan lebih lama dari ini.

Kafe yang sangat besar dan luas, dihiasi lampu remang-remang. Tamannya juga sangat luas dan indah. Tertata rapi dengan lampu taman di beberapa tempat, menambah keindahan taman. Kuparkir sepeda sebelum akhirnya memberanikan diri masuk.

"Dik, nyari siapa?" Tanya seorang bapak yang di baju seragamnya bertuliskan Sapta. Security.

"Emmm ... Najwa mau nyari Ibu."

"Siapa, Dik?"

"Maryam."

"Maryam? Di sini nggak ada yang namanya Maryam, Dik!"

"Haaa? Nggak ada, Pak? Tapi ... Ibu bilang sudah lama sekali bekerja di sini." Kataku heran bercampur panik dan bingung. Jangan-jangan aku salah kafe. Tapi, ini sama persis di kartu nama ini. Hoera Caffe. Aaah, Ibu dimana?

"Ya udah, sekarang gini aja, Dik. Kamu tulis pesan di sini. Nanti Om sampaikan ke Tante-tante yang kerja di dalem. Siapa tahu ada Ibumu di sana." Ucap Pak Sapta bijak. Segera kuikuti. Aku hanya menginginkan satu hal. Bertemu dengan Ibu. Eh, tunggu dulu. Tadi Pak Sapta menyebutkan Tante-tante, maksudnya? Ah, jadi bertambah bingung.

Kuangsurkan kertas yang bertuliskan IBU INI NAJWA. MENUNGGU IBU DI DEPAN itu dengan santun ke Pak Sapta. Wajah yang tak lagi muda itu mengulas senyum. Menerima kertas pesanku dengan ramah dan memintaku menunggu sebentar. Sempat kutanyakan adakah mushalla di kafe ini. Sudah waktunya shalat shubuh. Sayang sekali, Pak Sapta menggeleng dan menyarankan aku untuk shalat di Masjid AN-Nuur. Katanya tidak juh dari sini. Baiklah, nanti kalau sudah bertemu Ibu, aku akan shalat di Masjid An-Nuur yang di maksud Pak Sapta.

Tiba-tiba sesuatu terjadi. Perlahan mobil Escudo hitam memasuki halaman parkir. Melintasi tempatku duduk. Sempat terpikir itu Ibu. Tetapi secepat mungkin aku menepis pikiran anehku itu. Mobil berhenti tepat di depan pintu masuk kafe bersamaan dengan turunnya seorang lelaki yang kutaksir seumuran dengan Pak Sapta dari pintu kanan depan. Bergegas membukakan pintu bagian kiri depan.

Betapa kagetnya aku saat yang turun dari sana, sosok yang selama ini menjadi Wonder Women dalam hidupku. Ya, tak salah lagi. Itu Ibu. Ternyata benar dugaan awalku tadi. Aku sangat hafal sex dress yang dikenakan Ibu. Pink terang dengan tas tangan yang senada warnanya. Tanpa pikir panjang, aku bergegas mendekat.

Nyaris rontok paru-paruku karena menahan kaget yang super dahsyat. Ibu terlihat mabuk dan tidak mengenaliku. Bahkan saat aku ingin memeluknya, Ibu sangat marah. Dalam mabuknya dia mengatakan, "Siapa kamu? Mau pesan? Minggu ini sedang rame." Dengan meracau. Mirip orang mengigau. Lelaki itu memapah Ibu ke dalam. Entah kemana.

Tak ada yang bisa kulakukan. Dalam benak berseliweran banyak hal. Setengah membenarkan apa yang selama ini dituduhkan semua orang tentang Ibu dan setengahnya lagi menyangkal. Tapi, apapun itu, jelas aku masih sadar dan itu tadi bukan mimpi.

"Ibu ... Kenapa tidak jujur sama Najwa, Bu?" Tanya hatiku. Tanya yang tak pernah terjawab sampai saat lelaki yang memapah Ibu tadi memanggilku yang sudah duduk di atas sepeda dan berniat untuk segera pulang. Aku sudah memutuskan untuk membenarkan yang dikatakan semua orang tentang Ibu. Entahlah!

"Dik, tunggu!"

"Iya, Pak." Jawabku seadanya sambil turun dari sepeda tanpa berusaha menghapus tangis yang terlanjur menggerimis. Biarlah!

"Jadi, Meme itu Ibu kamu?"

"Meme?"

"Iya, Meme. Ummm ... Maryam. Kalau di sini, namanya Meme." Ucapnya sedikit gugup. Aku hanya mengangguk. Lelaki itu masih mematung di depanku. Memperhatikanku dengan jilatan tatapan yang menyusuri sekujur tubuhku. Kengerian tiba-tiba berkelebatan. Aku membayangkan ... Gadis diperkosa ... Ah! Aku harus cepat-cepat pulang. Masalah Ibu nanti kupikirkan sambil jalan. Belum shalat shubuh juga. Batinku.

Ada yang aneh! Meskipun berpikir begitu, aku tidak bisa bergeming. Seperti tertancap di tempatku berdiri. Aku justru merasakan kedekatan "batin" dengan lelaki itu. Jantungku berdegup di atas normal. Lebih cepat dari biasanya.

Tiba-tiba, lelaki itu, bersimpuh di kakiku. Tangisnya meledak. Samar, di antara isak tangisnya, aku mendengar ini, "Nak, maafkan Ayah sudah menelantarkanmu."

Kurasakan tubuhku terguncang hebat! Gemetar semuanya. Tanpa kecuali.

Haaa? Jadi, Bapak belum meninggal? Ibu ... Selama ini berbohong? Satu lagi, jadi benar adanya Ibu itu seorang pelacur?

The End

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Ibuku Bukan Pelacur"

Posting Komentar