Rheenata

Manusia bisa menuliskan banyak rencana dalam hidupnya. Melukiskan mimpi-mimpi indah yang hendak digapainya hingga menjadi nyata. Tetapi, satu yang perlu digaris bawahi oleh kita, manusia. Rencana Allah dan kehendak-Nya jauh lebih baik dan indah. Karena Allah selalu memberikan yang terbaik dan terindah bagi semua hamba-Nya.

"Ngapain sih kamu ngatur-ngatur aku? Ini kan hidupku. Mendingan kamu atur aja hidupmu sendiri. Biar nggak miskin. Kampungan! Biar ngetren dan keren kaya aku. Super top model gitu loh! Emang kamu? Iiih ... Kusut, bulukan!"

"Stop! Rhee, please jangan seperti itu. Sebagai sahabat kamu, aku hanya ingin mengingatkan kamu. Bukankah itulah gunanya sahabat, Rhee?" Sanggahku. Sebisa mungkin aku membesarkan jiwa untuk tetap bersabar menghadapi Rheenata.

"Terus, mau kamu apa? Aku harus kerudungan gituh? Biar kampungan kaya kamu dan nggak ada yang mau jadiin aku foto model? Kamu tuh mikir nggak sih, Mel?"

"Iya, aku udah mikir. Asal kamu tahu aja, Rhee. Aku jauh-jauh dari kampung ke sini nyariin kamu hanya untuk ngasih tahu kalau Bi Maryam sakit keras. Beliau ingin kamu pulang sebentar menengoknya."

"Haaa? Pulang? Nengokin Ibu? Ogah! Job aku banyak. Bejibuuun! Tahu nggak sih? Sebenarnya buang-buang waktu juga nemuin kamu, Mel."

"Istighfar, Rhee. Bi Maryam itu beneran sakit keras dan ... "

"Bodo! Mau sakit, mau apa. Aku nggak peduli, Mel. Nggak peduli. Apa untungnya juga punya ibu miskin kaya Ibu? Menderita deh!" Jawabnya penuh keangkuhan dan jujur membuatku marah. Kali ini aku benar-benar marah.

"Lagi ya, Mel? Kalau cuma mau ngabarin Ibu sakit kenapa juga pake acara nyeramahin aku dulu? Emang kamu pikir kamu itu siapa? Ustadzah? Guru ngaji? Hahahaha ... Nggak mempan tahu! Sorry ya kalo mesti ndengerin ceramah dari orang kampungan kaya kamu. Yang bisanya kemana-mana pake baju buluk dan sandal jepit. Udah dekil, bau lagi! Ciiih!"

"Ya Allah, Rhee ... Aku pamit. Terimakasih."

Itu jauh lebih baik untuk kulakukan. Rasanya nggak adil banget membiarkan diri sendiri terus-terusan berdebat dengan Rheenata yang masih dibakar api amarah seperti itu. Padahal aku hanya mengingatkan, "Rhee, rok kamu tersingkap." Aku tahu itu memang fashion style-nya dia saat harus tampil di catwalk. Tapi ... Ah, sudahlah!

*

"Bagaimana keadaan Rheenata, Melly?" Tanya Bi Maryam lirih. Iba juga aku dibuatnya. Lelah yang selama perjalanan dengan kereta bergelayut rasanya hilang. Lenyap. Tergerus oleh hati yang meronta melihat keadaan Bi Maryam.

"Alhamdulillah, baik Bi."

"Terus, kanapa nggak ikut kamu sekalian?"

"Masih ada kerjaan, Bi. Besok kalau libur, Rheenata akan pulang menjenguk Bi Maryam." Ucapku berbohong. Nggak ada niatan untuk berbohong sama sekali. Aku hanya ingin menghibur Bi Maryam.

"Oooh, iya. Terimakasih ya, Melly. Nggak tahu kalau nggak ada kamu. " Ucapnya lagi masih dengan suara lirih. Aku mengangguk menahan air mata yang berdesakan di pelupuknya.

*

"Melly, Melly. Tolong Bi Maryam, Melly." Suara Bi Maryam dari pintu depan. Kepanikan jelas tergambar dari caranya berbicara. Tanpa berpikir panjang lagi, aku bergegas memakai kerudung dan membukakan pintu.

Betapa terkejutnya aku. Bi Maryam menangis tersedu-sedu sambil merangkulku kuat-kuat.

"Rheenata, Melly ... Temannya menelepon, katanya ... Kecelakaan."

"Innalillahi. Bi Maryam yang sabar ya? Apa yang bisa Melly bantu, Bi?" Hanya itu yang bisa kuucapkan. Selebihnya hanya bisa diam. Membimbing Bi Maryam duduk di kursi teras dan membuatkannya minum. Pikiranku melayang-layang tak karuan. Rheenata kecelakaan. Bagaimana keadaannya sekarang? Semoga tidak ada luka yang serius. Padahal, baru kemarin aku melihatnya dalam keadaan baik-baik saja. Sekali lagi ... Yaaah, itulah takdir. Tak ada seorangpun yang kuasa menolaknya.

"Silahkan diminum, Bi." Kataku santun.

"Iya, Melly. Terimakasih." Jawabnya sambil menyeka sir mata yang terus saja berlinangan. Memprihatinkan, batinku.

"Kamu ... Bisa nganterin Bi Maryam? Ke Jakarta. Nyusulin Rheenata." Tanya Bi Maryam penuh harap. Tak ada jawaban lain yang kuberikan kecuali mengangguk.

"Tapi, Bi Maryam sudah sehat?"

"Bi Maryam mah, nggak usah dipikirin, Melly." Jawabnya pilu. Aku jadi ngeri. Astaghfirullahaladhim, semoga Allah mengampuni segala dosa Rheenata. Aamiin. Terhadap ibu yang begitu tulus mencintainya dia tega berbuat sekejam itu. Wallahu a'lam.

*

Kereta melaju kencang. Separuh perjalanan menuju Rumah Sakit tempat Rheenata dirawat. Semoga Rheenata tidak terlalu parah. Aamiin.

"Melly tahu?"

"Iya, Bi. Apa, Bi?" Jawabku bingung. Sedari tadi diam dan tahu-tahu Bi Maryam melontarkan pertanyaan itu.

"Dulu ... Dulu sekali, waktu kecil. Rheenata itu lucu, pintar dan menggemaskan. Pipinya gembul-gembul. Kulitnya yang putih bersih membuatnya terlihat begitu cantik. Gerakannya lincah ... Pokoknya ngangenin, Mel."

"Iya, Bi."

"Nggak tahu kenapa. Entahlah ... Tiba-tiba dia menjadi seperti itu. Keputusannya untuk kerja di Jakarta udah nggak bisa diganggu gugat lagi. Katanya, Jakarta satu-satunya tempat yang membuatnya bahagia dan akan mengantarkannya menuju masa depan gemilang. Jadinya ya itu, jadi foto model itu sudah sangat bagus baginya. Padahal Bi Maryam sama sekali nggak setuju. Kamu tahu, Mel? Bi Maryam harus menjual sawah peninggalan Pamanmu." Ceritanya panjang dan terbuka. Jujur, aku sampai tidak tahu harus menanggapinya dengan cara apa. Akhirnya mengangguk dan mengelus pundak Bi Maryam, menjadi pilihan yang sangat tepat.

"Sebenarnya ... Rheenata itu ..."

"Iya, Bi? Rheenata kenapa?" Tanyaku. Penasaran dengan ekspresi wajahnya yang terlihat menerawang jauh entah kemana. Ini jelas menyangkut hal yang sangat pribadi. Rheenata? Ada apa dengannya? Sepertinya yang akan disampaikan Bi Maryam ini misteri.

"Bukan anak kandung kami."

"Haaa? Oh, eh, maaf, Bi. Maksud Bi Maryam?"

"Rheenata kami temukan di tempat sampah depan rumah." Tuturnya disusul dengan deraian air mata yang nyaris tak terbendung. Aku linglung. Allahuakbar..!

*

Dahlia 1.
Menurut bagian informasi, inilah kamar tempat Rheenata dirawat. Kami segera mengetuk pintu karena melihat beberapa pasang sandal berjajar rapi di depan pintu. Seseorang membukakan pintu untuk kami, belakangan dia mengenalkan dirinya kepada kami. Namanya Mbak Yustin. Dia bekerja sebagai asisten Rheenata.

"Rheenataaa ... Kamu kenapa, Rhee? Kenapa bisa begini?" Bi Maryam histeris dalam dukanya. Langkahnya terhuyung mendekati Rheenata yang terbaring tak berdaya.

Aku menghela nafas dalam dan panjang.
Sakit.
Perih.
Nyeri.
Ngeri.
Prihatin.

"Terjadi perdarahan di otak kirinya. Kemarin sore langsung dioperasi. Ini masih belum siuman, makanya masih dibantu dengan oksigen, zonde dan infus. Semoga membaik." Ungkap Mbak Yustin. Sementara aku hanya bisa mengelus dada dan mendo'akan yang terbaik untuk Rheenata.

*

"Ibu ... Sakit." Ucapnya lirih. Kami terkesima. Akhirnya, Rheenata siuman juga setelah tiga hari tak sadarkan diri. Bi Maryam yang dengan setia menunggui di sisi brankar segera menggenggam tangan kanannya.

"Rheenata. Kamu sudah sadar, Rhee? Ibu sedih sekali kamu sakit cepat sembuh, Sayang." Ucapnya tersendat. Melawan arus air mata yang tak juga surut.

"Bu ... Maaf." Ucapnya lagi dengan suara yang bertambah lirih. Aku saja harus mendekatkan telingaku ke pipinya, baru bisa mendengar.

"Ibu sudah memaafkan kamu, Rheenata. Lekas sembuh, Sayang." Bi Maryam mengelus pipi Rheenata yang kurasakan menjadi sangat dingin. Hatiku menciut. Nyaliku mengecil. Harapan menipis.

Rheenata megap-megap. Nafasnya berat dan sesaat kemudian tubuhnya kejang-kejang. Bi Maryam histeris dan akhirnya tak sadarkan diri. Aku mencoba kuat. Memanggil suster dan dengan tubuh yang terasa melayang menyaksikan kepergian Rheenata untuk selama-lamanya.

"Innalillahi wainnailaihi raji'uun. Selamat jalan, Rheenata. Damailah kamu di sisi Allah. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan menerima segala amal. Aku menyayangimu. Begitu juga dengan Bi Maryam, meski bukan ibu kandungmu, tapi cintanya begitu besar dan tulus." Bisikku pada jasad yang kini terbujur kaku di pembaringan itu, Rheenata, sahabat sekaligus guru yang memberiku banyak kisah dan pengalaman.

The End

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Rheenata"