Kecemburuan Ibu

Rumah ini ... Akan menjadi tempat dimana hari-hariku akan bergulir bersamanya. Berdua mengisikan kisah indah di setiap bulirnya. Apapun yang ada dan terjadi, aku harus tetap di sini. Bersamanya.

Allah telah menitipkanku padanya. Mas Altar yang lima hari lalu, Allah telah halalkan dia menjadi seorang imam bagiku. Bismillah ... Semoga Allah jadikan kami sakinah mawaddah warrahmah dan barakah. Diamanahkan-Nya kepada kami keturunan yang shalih/shaliha. Aamiin.

Semoga Allah ridhai langkah kaki ini. Memasuki rumah surga kami. Menjadikan kami hamba-hamba yang berbakti dengan keistiqamahan sejati. Hidup dengan berma'rifat kepada-Nya dan mati dalam keadaan syahid di jalan-Nya.

Sungguh, tak sanggup diriku membendung air mata haru penuh syukur ini. Rabb, ijinkan hamba-Mu ini menangis. Bukan karena sedih tapi karena bahagia-Mu yang Kau titipkan ini.

"Ini kamar kalian. Bawa tas kamu masuk. Maaf agak berantakan. Nggak ada waktu membereskannya." Ucap Ibu datar. Mimik wajahnya terlihat keruh tanpa senyum yang memoles.

"Baik, Bu. Terimakasih. Nanti biar Iwa yang membereskan." Kataku sembari meletakkan tas pakaian di dekat tempat tidur. Sekilas melihatnya kamar ini memang sangat berantakan. Terkesan tidak terurus dan tertata. Tenang, aku akan menyulapnya menjadi kamar yang rapi dan indah. Batinku.

"Iya. Jelas kamu yang harus membereskannya. Sekarang kamar ini tanggung jawabmu!" Ujar Ibu terdengar gusar sembari meninggalkanku yang masih berdiri mematung di samping tempat tidur. Aku menelan ludah. Kenapa Ibu bersikap tidak wellcome seperti ini? Ibu tidak suka dengan kehadiranku? Aaah, mikir apa sih aku ini? Palingan juga Ibu masih capek mengurusi pernikahan kami lima hari yang lalu. Pikirku mencerahkan.

"Wa ... Menangis?" Suara Mas Altar mengagetkanku. Ternyata air bening itu tertangkap olehnya. Aduh, aku harus mengatakan sesuatu. Nggak mau merusak suasana. Ini hari kelima kami menikah. Aku membatin.

"Mas ... Iwa sangat bahagia dan bersyukur." Ucapku sambil mengemasi air bening yang justru berlinangan tepat di saat Mas Altar mendongakkan wajahku dengan lembut. Tangan lembutnya mengusap pipiku.

"Menangislah. Biarkanlah air matamu bercerita tentang semua kisah kita." Mas Altar merengkuhku dalam dekapnya. Kini kedamaian itu menjadi nyata.

*

Alhamdulillah, kamar sudah rapi. Tinggal dipercantik dengan foto dan wall paper saja. Aku membelinya tadi di toko bangunan. Sengaja memilih corak bunga mawar merah. Bunga kesayangan. Mawar merah ... Bagiku, bunga yang sangat berkarakter. Meski pohonnya beduri. Itu simbol kekuatan, penjagaan. Jangan salahkan mawar punya duri seharusnya duri bersyukur punya mawar. Aku tersenyum memandangi gulungan wall paper itu.

Memasangnya harus berdua. Susah kalau sendiri, takutnya malah nggak rapi. Kalau begitu menunggu Mas Altar pulang. Pikirku.

Tiba-tiba Ibu masuk tanpa salam. Kaget sekali aku. Bukan apa-apa, selama ini aku menerapkan sopan santun dalam hidupku sendiri. Salam dan tegur sapa itu wajib. Termasuk saat masuk ke kamar orang lain.

Aku gugup. Segera memakai kerudung dan merapikannya. Sebisa mungkin aku harus bersikap hormat pada Ibu.

"Ibu,"

"Ya. Kamu pinter ya, ngurus kamar?"

"Belajar, Bu."

"Itu, gulungan apa? Karpet?" Tanya Ibu dengan gaya penyidik. Walapun aku belum pernah berhadapan langsung dengan penyidik tapi sering melihatnya di TV.

"Wall paper, Bu. Mau dipasang nanti. Sama Mas Altar."

"Eh! Kamu tuh jangan manja. Masa masang beginian saja mesti sama Altar. Kasihan kan, dia? Capek kerja. Kamu tuh yang mandiri. Jangan nyusahin anakku!" Kata Ibu dengan nada marah. Aku terkesiap, antara percaya dan tidak. Ibu bisa bersikap seperti ini sama aku? Tanya hatiku. Padahal, Ibu selalu bersikap dan bertutur lembut di depan Mas Altar. Aaah, astaghfirullah. Jangan berprasangka, ah! Mungkin Ibu hanya terlalu sayang sama Mas Altar. Jadi, Ibu nggak rela Mas Altar kelelahan. Baiklah, aka kuusahakan memasangnya sendiri. Semoga hasilnya tetap oke.

*

"Subhanallah, aku suka sekali sama wall paper yang kamu pasang, Wa. Terimakasih ya?" Kata Mas Altar sebelum kami makan malam bersama. Ruang makan menjadi sepi. Aku hanya tersenyum menjawab ucapan terimakasih Mas Altar. Kulirik Ibu. Wajahnya memerah. Sorot matanya begitu tajam menikam hatiku. Aku tahankan itu.

"Mau makan sekarang, Mas?" Tanyaku pelan. Mas Altar mengangguk setelah selesai meneguk separuh air putih dari gelasnya.

"Kalau nggak sekarang kapan lagi? Kamu ini aneh, Wa! Suamimu itu sudah kelaparan. Ibu tahu itu." Sela Ibu sinis.

"Ah, enggak kok, Bu. Altar belum terlalu lapar. Sebentar lagi, Wa. Nanti aku ambil sendiri. Aku kangen ngobrol sama kamu, Cantik." Ucap Mas Altar santai. Tangan kanannya mengusap-usap kepalaku. Lembut. Jujur, aku menjadi ngeri. Membayangkan Ibu marah dan akan mengacaukan makan malam kami. Semoga tidak terjadi.

Braaak!
Ibu memukul meja.

"Altar! Sejak kapan kamu pinter nyakitin Ibu? Biasanya kamu langsung makan begitu Ibu menghidangkan menu. Ada apa ini? Siapa yang merubah kamu, Altar?" Ibu marah. Sangat marah. Aku hanya bisa menelan ludah. Sementara Mas Altar hanya bisa diam. Entah bagaimana reaksinya yang jelas kami hanya bisa saling menatap saat Ibu meninggalkan kami menuju kamarnya.

Sesuatu menyadarkanku. Pesan Ustadzah. Ya, barangkali ... Allahuakbar!

"Mas, susul Ibu, Mas." Pintaku sembari mengelus punggung tangan Mas Altar.

"Hemmm?"

"Please,"

"Iya, Manis. Kita susul yuk?"

"Sama aku, Mas?" Tanyaku sedikit ragu.

"Iya, Cantik. Bidadari surgaku. Kita berdua." Katanya dengan nada penuh cinta. Ekor matanya melirikku nakal. Aaah, Mas Altar.

*

"Ibu, assalamu'alaykum." Mas Altar memutuskan untuk memulainya. Mengetuk pintu sembari mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Setelah kejadian semalam itu, Ibu diam sama kami. Tadi malampun tak mau kami menemuinya. Hanya mengatakan, "Ibu ngantuk mau tidur." Tanpa membuka pintu kamarnya. Aku jadi merasa bersalah. Jujur, jadi nggak enak sama Mas Altar.

Pagi ini, Ibu masih diam. Selepas makan pagi tadi langsung masuk ke kamar.

"Maafkan aku, Mas. Harusnya, ..."

"Ssst, kamu nggak salah, Wa. Kita cari jalan keluarnya. Aku kerja dulu aja. Kalo ada apa-apa, PM ya?"

"Iya, Mas. Insyaallah. Mas hati-hati."

"Iya, Cantik. Kamu juga. Jaga diri kamu baik-baik ya?" Pesan Mas Altar penuh damai. Alhamdulillah.

"Ibu, Altar berangkat kerja dulu ya? Ibu sama Iwa di rumah." Kata Mas Altar sambil mendekatkan mulutnya ke pintu kamar. Tetap tidak ada jawaban. Mas Altar membalikkan badan. Kini tubuh kami berdiri tegak berhadapan.

"Titip Ibu ya? Jaga Ibu baik-baik."

"Iya, Mas. Insyaallah." Ucapku sedikit tersendat. Entahlah air mataku merembeng di sudur-sudut pelupuknya.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Kami terkaget, meskipun itu yang kami harapkan. Ibu berdiri di tengah-tengah pintu. Wajahnya memerah. Matanya sembab. Ibu menangis? Duuuh, betapa berdosanya aku. Karena sikapku, Ibu sampai seperti ini. Betapa bodohnya aku ini, Rabb. Batinku.

"Altar, Ibu sayang kamu. Jangan tinggalkan Ibu." Ucap Ibu sesenggukan. Mas Altar mendekat dan memeluk Ibu.

"Altar sayang Ibu dan tidak akan pernah meninggalkan Ibu. Karena Altar sayang Ibu, Altar bawa Iwa ke sini untuk menjaga dan menemani Ibu."

"Tapi, Altar,"

"Tapi? Ibu ... Percayalah, Iwa anak yang baik. Altar mencintainya karena agamanya yang kuat. Dia tidak akan menyakiti Ibu. Bersamanya Altar akan berbakti kepada Ibu. Iya kan, Wa?"

Aku mendekat. Kubisikkan sesuatu untuk Ibu, "Iwa sayang Ibu. Iwa minta maaf,"

Kami terdiam. Ada getar-getar yang entah apa namanya. Mas Altar membimbing Ibu masuk ke kamar. Aku mengikuti dari belakang.

"Ibu istirahat, ya? Aku kerja dulu. Iwa, jaga Ibu."

"Iya, Mas. Dengan senang hati." Ucapku sambil mencium punggung tangan Mas Altar. Sementara Ibu menatapi kami dengan tatapan yang aku merasakan damai oleh karenanya. Alhamdulillah.

*

Seiring berjalannnya waktu, aku dan Ibu semakin dekat. Tidak canggung lagi. Kami bisa mengerjakan pekerjaan rumah bersama, sambil mengobrol santai. Tentu saja takkan kubiarkan Ibu kelelahan. Intinya, Ibu sudah bisa wellcome padaku.

Mengajakku menonton acara TV kesukaannya, berbelanja di supermarket, menyiram tanaman dan satu lagi, Ibu tidak sinis lagi. Jujur, aku sangat bahagia. Inilah yang aku dan Mas Altar inginkan. Semoga semua ini dirahmati Allah. Aamiin.

"Wa, kamu tahu?"

"Iya, Bu. Apa itu, Bu?"

"Ibu ingin, kamu jadi istri yang baik untuk Altar. Ibu sangat mencintainya lebih dari apapun di dunia ini. Ibu tak mau melihatnya susah."

"Iya, Bu."

"Maafkan Ibu, Wa. Ibu hanya nggak mau kehilangan Altar." Ungkap Ibu jujur. Aku tersadar. Oooh, jadi selama ini Ibu cemburu sama aku? Aaah, Ibu. Bikin khawatir saja. Batinku.

"Ibu, Iwa juga minta maaf. Ibu yang tenang ya? Mas Altar takkan pernah hilang. Mas Altar akan selalu ada untuk Ibu. Iwa sayang Ibu." Ucapku sembari bersimpuh di hadapan Ibu yang saat itu duduk di kursi ruang tamu.

"Duduk sini, Wa. Ibu percaya, kamu wanita yang baik."

Oooh, Ibu. Ternyata kecemburuan Ibu yang diceritakan Ustadzah itu benar adanya. Ketakuatan akan kehilangan anak laki-lakinya. Tidak, Bu. Tidak. Ibu tidak akan pernah kehilangan Mas Altar.

*

MAS

IYA

AKU BAHAGIA DAN MAS WAJIB IKUT BAHAGIA

IYAKAH? BAHAGIA KARENA APA, MANIS?

IBU, MAS.

IYA, IBU. KENAPA?

IBU ... HANYA CEMBURU SAMA AKU. IBU TAKUT KEHILANGAN MAS.

OOOH YAAA? TERUS?

AKU SUDAH JELASIN KE IBU.

OKE. IBU BISA NERIMA, KAN? TERIMAKASIH, CANTIK. JADI TAMBAH CINTA. TAMBAH KANGEN. AH, NANTI PULANG CEPET AJA AH!

YEEE, GITU? :)

Senang sekali curhat sama Mas Altar. Meski hanya di BBM. Rasanya lega. Kuciumi layar BBM-ku. Emah, emah, emah. Bahagia tiada terkira.

Jadi tugasku selanjutnya, membahagiakan Ibu dan Mas Altar. Hihihi. Biar Ibu tidak cemburu lagi! Hahahaha.

The End

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Kecemburuan Ibu"

  1. Mas altar dan ibumu apakah sudah bahagia?

    BalasHapus
  2. @Atep Setiawan,
    Fiksi, Kak. :)

    BalasHapus