Kabut

Semua hambar. Rasanya anjlok ke titik nol. Bubar! Hatiku menjelma Titanic yang pecah menghantam karang.

"Jadi, Mas tetap akan berangkat, Mas?" Tanyaku sembari menyeka kristal-kristal bening yang bercucuran. Kepalaku menjadi sedikit pening. Entahlah, mungkin karena memang terlalu lama menangis.

"Iya, Mee. Tak ada pilihan lain." Kata Mas Lovas datar. Kaku, tepatnya. Ah! Paling tidak suka dengan nada bicaranya itu.

"Meski hanya berdua? Sama Liza saja?"

"Aku harus profesional, Mee. Ini tuntutan profesi. Mana mungkin aku memilih partner laki-laki saja, Mee? Apa kata Pak Adrian nanti?"

"Aaah, Mas. Tapi kan?" Kataku memenggal kalimat yang sepertinya masih panjang itu.

"Sayang, aku hanya kerja. Nggak lebih. Percayalah." Ucapnya kemudian sambil mendongakkan wajahku lembut. Kini mata kami bertatapan. Dalam dan lama, hingga muncullah itu. Cemburu. Entahlah, biasanya aku akan lebih tenang dengan sorot mata Mas Lovas. Mengapa kali ini tidak? Apa karena perasaanku yang sedang super sensitif atau ini pertanda ... Ah! Sudahlah. Toh, Mas Lovas selama ini selalu baik-baik saja. Tidak melakukan hal yang negatif selama bekerja di luar kota. Bersama siapapun, Mas Lovas selalu bertanggung jawab dan pulang dalam keadaan prima. Oke, baiklah. Aku ikhlas Mas Lovas berangkat ke Bali besok pagi.

*

Aku lemas. Sekujur tubuhku dingin. Gemetar. Keringat dingin membasahiku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Petir menggelegar menyambarku hingga hangus terbakar! Mataku panas, nanar.

"Demi Allah, Mbak. Saya hamil. Ini anak Mas Lovas, Mbak." Ucap Liza lirih. Test pack itu masih berada dalam genggamanku. Aku geram. Ingin sekali meremukkannya, terlebih saat ingat strip dua yang tertera di sana. Hatiku berdebar sangat kencang, hingga hanya nafas memburu yang terdengar.

"Kamu ... Kamu ... Kamu nggak bohong kan, Za? Kamu nggak sedang bersandiwara kan? Kamu ...?" Ucapku gugup.

"Nggak, Mbak. Sumpah. Demi Allah." Katanya lagi, mantap. Aku diam. Bungkam. Ini sangat menyakitkan. Musibah terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku. Nyaris pingsan aku di hadapan Liza.

"Peluk aku, Za. Peluk aku." Pintaku lebih menyerupai berbisik. Setidaknya itu yang masih terekam dalam ingatan sebelum aku merasakan pandanganku kabur dan gelap. Lenyap!

*

Malam ini berbeda.
Aku merasa mual dan muak. Ingin rasanya kabur dari rumah. Tapi kemana? Untuk apa? Apa harus?

"Sayang, aku ..."

"Maaf, Mas. Semuanya sudah jelas. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Aku hanya ingin Mas jujur sama aku. Benar tidak apa yang dikatakan Liza?" Kalapku sembari mengangsurkan Test Pack itu pada Mas Lovas.

"Mee, dengarkan aku dulu!"

"Aku mendengarkan Mas? Apa lagi yang harus aku dengar, Mas? Apa? Mas mau menceritakan tentang cinta kalian di belakangku? Perselingkuhan kalian yang indah tapi laknat itu? Apa Mas?" Serbuku tanpa kendali. Aku benar-benar meledak.

"Aku dijebak. Percaya sama aku, Mee."

"Hakakaka. Dijebak, Mas? Bagus, bagus! Selain dijebak, apalagi yang akan Mas katakan padaku?"

"Sssttt, Mee. Tenang. Demi Allah, aku nggak ngelakuin itu. Sumpah!"

"Mas bersumpah? Atas Nama Allah. Sama, Liza juga! Jadi, aku harus percaya sama siapa, Mas kalau begini?"

Ambigu. Rancu! Menorehkan kebingungan yang semakin menggigitku sakit! Tak semenitpun aku tertidur. Rasanya aku benar-benar kacau lahir batin. Puluhan pertanyaan datang dan pergi menebalkan kebingungan dan kekacauan ini.

*

Tiga bulan berlalu. Siapa yang harus aku percaya, itu tidak terlalu penting lagi untuk dijawab. Kini, di rumah ini ada tiga anggota keluarga. Mas Lovas, aku dan Liza. Mau tak mau, rela tak rela. Aku hanya harus menerima kenyataan ini. Mas Lovas, atas tuntutan Liza dan keluarganya terpaksa menikahinya. Musibah yang sangat perih kurasakan. Lebih perih daripada tergores pecahan kaca. Pilu!

Kandungan Liza sudah memasuki enam bulan. Mas Lovas terlihat lebih memanjakannya daripada aku. Perhatian dan kasih sayangnya lebih banyak tercurah untuk Liza. Bahkan, Mas Lovas memintaku membantu Liza menyelesaikan semua tugasnya di rumah. Cemburu? Sudah jelas. Aku menahan semuanya, hanya karena aku tidak mau kehilangan Mas Lovas. Entahlah, aku terlalu mencintainya. Hanya Allah Yang Tahu betapa begitu besar rasa cinta ini. Oooh, sayangnya. Harus terjadi musibah ini yang membuat hubungan kami menjadi berjarak. Ada semacam tirai yang menghijabi kami. Aku hanya berusaha untuk kuat dan bertahan. Untuk Mas Lovas yang kucintai sepenuh hati.

*

"Mee, tolong kamu telepon Bidan Nieta. Sepertinya Liza sudah mau melahirkan." Kata Mas Lovas, membangunkanku. Kukucek mataku yang masih berat. Kantuk kurasakan begitu berat melepaskanku.

"Mee," Panggil Mas Lovas dari kamar Liza. Samar kudengar Liza merintih kesakitan. Naluriku bekerja dengan normal. Meski belum pernah melahirkan, tapi aku bisa merasakan betapa besar sakit yang dirasakan Liza saat ini. Segera kutelepon Bidan Nieta.

*

Alhamdulillah, bayi perempuan mungil dan cantik itu telah lahir dengan sehat dan selamat. Barakallahu, fiik. Bisikku saat menggendongnya. Subhanallah, sepertinya aku jatuh cinta kepadanya.

"Selamat ya, Za? Anak kamu cantik."

"Terimakasih, Mbak."

"Sama-sama. Any way, siapa namanya?" Tanyaku sambil memandangi wajah suci dalam pangkuanku itu.

"Siapa ya, Mbak? Bagaimana kalau Mbak yang memberikan nama untuknya?"

"Aku? Ummm ... Siapa ya? Mas, sudah ada nama belum, Mas?" Tanyaku pada Mas Lovas yang sedang sibuk menata alat-alat kerjanya. Menatapku sebentar lalu menggeleng. Aneh! Mas Lovas kenapa? Sepertinya kurang senang dengan bayinya.

"Mas?" Tanyaku lagi.

"Dia harus mendapat tes DNA dulu, Mee." Ujarnya sambil mencium keningku lalu berangkat bekerja. Aneh! Kenapa Mas Lovas tidak mencium kening Liza? Bukannya kemarin-kemarin mereka terlihat sangat mesra? Aaah, mungkin Mas Lovas sedang banyak pekerjaan. Pikirku.

*

Plaaak!
Tamparan itu mendarat dengan sukses di pipi kiri Liza. Kontan Liza terhuyung ke samping dan nyaris jatuh. Padahal sedang menggendong bayinya. Duh, terlambat menahan tangan Mas Lovas.

"Kamu penipu! Bayi itu bukan anakku! Ini hasil tes DNA-nya." Ucap Mas Lovas dengan nada marah sambil menunjukkan lembaran hasil tes DNA itu. Liza tergetar. Tubuhnya menggigil. Aku merengkuh bayi itu ke dalam gendonganku. Alhamdulillah tidak ikut terjatuh bersama ibunya. Tangisnya memecah kesunyian.

"Mee, kamu percaya kan sama aku?" Ucapnya seraya mendekapku dari belakang. Aku mengangguk sambil memandangi wajah bayi mungil Liza dengan haru. Alhamdulillah.

The End

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Kabut"

Posting Komentar