Ocaku Sayang

Duuuh, mepet waktunya. Jam empat harus sudah sampai di rumah pelangganku. Tapi Gendhuk belum pulang kuliah. Terus, siapa yang jagain Saka? Masa Saka harus kuajak? Terus kalau rewel di sana gimana? Padahal mijit itu kan nggak sebentar. Paling dikit juga satu setengah jam. Apa Saka bisa anteng? Apa ditidurin di kereta bayinya ya?

"Iya, Kang. Kenapa? Saka rewel ya?" Sahut Gendhuk dari seberang. Sejujurnya ini pertama kalinya aku menelepon Gendhuk saat dia di kampus.

"Enggak, Ndhuk. Saka baik-baik aja, kok." Nggak tega mau ngomong kalau sebenarnya aku pingin Gendhuk cepet pulang dan jagain Saka.

"Terus?"

"Nggak terus, Ndhuk. Ya udah, Gendhuk hati-hati ya?" Pesanku akhirnya dan menutup telepon sesaat setelah mengucapkan salam.

*

"Nah, cakep anak Ayah nih. Ikut Ayah kerja ya? Oke. Sip, Saka anak hebat. Anak shalih." Ucapku mantap sambil sesekali mencuil pipi gembulnya. Saka, buah hati pertama kami. Usianya hampir empat bulan. Aduh, melihat senyum cerianya saja aku sudah sangat bahagia. Tiada tara.

Aku dan Saka sudah nangkring di atas motor saat Gendhuk datang. Dengan keheranan dia mendekati kami yang siap melaju.

"Kang ... Saka mau diajak kemana?"

"Mijit, Ndhuk."

"Loooh, kok diajak. Sini ... Saka, Sayang. Sama Bunda yaaa? Ayah biar kerja dulu. Oke?" Katanya dan segera memintaku memindahkan Saka ke gendongannya.

"Maaf ya, Ndhuk. Aku ... Nggak bermaksud,"

"Ya. Kakang hati-hati ya?"

"Oh, iya. Aku tergesa. Janjian jam empat tadi. Assalamu'alaykum, Ndhuk. Saka baik-baik sama Bunda, ya?" Kataku sambil menatap wajahnya yang meneduhkan jiwa. Allah, mereka harta terbesarku dalam hidup ini. Terbesar dan terindah. Bisikku.

Gendhuk melepasku dengan senyum khasnya yang manis dan tulus. Rasanya bahagia sekali.

*

Paling nggak suka ada yang menelepon saat berkendara seperti ini. Tapi ... Minggir dulu. Diangkat dulu. Takutnya ada yang penting.

Di layar HP-ku tertulis Mas Anto, pelangganku.

"Maaf, Mas Mujab. Saya pijitnya nggak jadi hari ini. Besok saja ya? Jam yang sama." Katanya dan langsung menutup telepon begitu saja. Glek! Aku melongo.

Itu memang sudah menjadi resiko terapis sepertiku. Terkadang dapet pelanggan yang snagat menghargaiku dengan on time. Tapi yaaah ... Kadang juga ada yang begini. Tak perlu disesali. Bagaimanapun, Gendhuk dan Saka tetap prioritas nomer wahid. Gagal mijit sih nggak seberapa, yang penting sekarang beli roti bakar keju kesukaan Gendhuk dulu ... Merayu nih, biar nggak mberengut nanti kalau aku bilang tentang Pelanggan yang mengcancel janji. Aku mengerti, Gendhuk aling nggak suka dengan tipe pelanggan yang seperti ini.

Ocaku sayang, jangan marah ya?
Yang sabar ya?
Ilepiyu, Ndhuk!

The End

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Ocaku Sayang"

Posting Komentar