Surat Undangan Pernikahan Mas Wijaya

Bismillaah

Surat Undangan Pernikahan Mas Wijaya

A story by Sakura Sizuoka

Sakura bergeming dalam remuk redam seisi batinnya. Matanya menjelma kaca-kaca bening berkilatan. Mirip gerimis yang terbuntal awan hitam. Dikerjap-kerjapkannya mata hitam sipitnya itu, seolah hendak melarang air matanya agar tidak tumpah begitu saja. Aku harus kuat, batinnya. Aku tidak boleh lemah. Aku tidak boleh cengeng. Aku tidak boleh bersedih. Aku tidak boleh menangis. Batinnya. Aku hanya boleh tersenyum dan berbahagia. Tambah batinnya lagi. Tak urung, lengkungan senyum manis pun menghiasi wajah ayu bersahajanya.

Mendadak, kamarnya yang tertata rapi, menjelma gudang yang acak-acakan. Sudah lama tidak dijamah manusia dan begitu pintu dibuka, kepengapan begitu kental terasa. Hatinya panas. Hingga seluruh darah yang mengalir dalam tubuhnya pun memanas. Kecemburuan dan kemarahan memeluki hatinya. Dia merasa benar-benar telah didustai. Cintanya telah dilukai. Sakura benar-benar merasa kecewa. Lebih dari itu! Rasanya, dia ingin sekali lenyap! Hilang dari muka bumi ini. Sekarang juga. Kini, tak ada gunanya lagi hidup!

"Mas Wijaya? Benar kah? Setega itu kah?" Bisiknya lirih, sembari meremas-remas kertas kado yang membungkus kiriman dari Mas Wijaya. Dia ingat, tadi tukang pos itu mengatakan, "Ada surat, Miss. Sepertinya, undangan kawinan. Dari Indonesia," sambil mengangsurkan kiriman itu. Dan, betapa terkejutnya Sakura saat melihat nama pengirim yang tertera di sana. Wijaya, Kediri, Indonesia.

"Jadi, Mas Wijaya ...? Yaa Rabb, mengapa Mas Wijaya setega itu sama Sakura? Mengapa Mas Wijaya berkhianat? Ingkar? Dusta? Apa salah Sakura, Mas? Apa ...?" Tanyanya lirih. Lemas. Seluruh isi hatinya bergetar. Gemetar jiwa dan raganya.

"Apakah ini yang dinamakan jodoh itu di tangan Allaah? Apakah ini yang dinamakan takdir itu, Mas?" Tanya Sakura lagi, kali ini, gerimis pun tak bisa lagi dicegahnya. Jiwanya yang sedari tadi diselimuti awan gelap pun mencurahkan air hujan yang sangat deras. Sederas-derasnya. Diremasnya kiriman itu kuat-kuat. Seolah ingin diremukkannya. Seolah ingin dilumatkannya. Biarkan remuk! Biarkan hancur.

Brrraaakkk ...!

Dilemparkannya kiriman dari Mas Wijaya itu ke dinding, namun akhirnya jatuh dan mengenai lantai kayu di kamarnya. Ada sedikit kepuasan membongkah di sudut kecil hatinya.

Jika benar ini takdir, mengapa begitu pahit terasa?

Jika benar ini kehendak Allaah, mengapa begitu sakit?

Apakah Allaah hendak menyakitiku?

Apakah Allaah selama ini hanya mempermainkanku?

Tanya hatinya ... Dan terus bertanya, tanpa mampu dirinya menemukan sehelai jawaban pun. Tidak mampu, sebab hatinya telah diselimuti kabut pekat. Pekat. Bernama patah hati.

Patah!

Remuk!

Lenyap!

Hilang!

Hapus!

Kini, nanti, esok, lusa dan nanti, tidak ada lagi nama Mas Wijaya dalam hidupnya. Mas Wijaya sudah mati. Mati!

***

"Ndhuk, ada pesan dari Mas Wijaya. Mas Wijaya bingung, kenapa tiba-tiba semua kontaknya kamu delcont? Kamu blokir? Ada apa to, Ndhuk?" Mama masuk ke kamar Sakura. Sakura bergeming di atas kursi rodanya. Tak sepatah kata pun sanggup ia ucapkan. Sungguh! Hatinya kini telah remuk menjadi debu!

"Ndhuk?" Mama mendekat dengan sabar, mengusap kepalanya lembut penuh kasih sayang. "Ada apa? Kalian bertengkar? Kenapa? Sudah mau menikah kok bertengkar? Kalau ada masalah ...," Mama tidak melanjutkan kata-katanya. Sebab, dilihatnya Sakura mulai menangis. Tangis yang tidak biasa. Mama duduk di sisi tempat tidur, artinya kini mereka bersisihan. Dirangkulnya Sakura dari samping kirinya.

Hati Mama berdebar-debar tidak karuan. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Ada apa ini? Yaa Allaah. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Gendhuk dan calon suaminya. Aamiin. Pintanya dalam hati. Dihelanya napas panjang sambil mengusap-usap bahu Sakura. Dibiarkannya putri semata wayangnya itu meluahkan seluruh perasaannya. Semoga dengan menangis, beban di hatinya akan menjadi ringan.

Sakura memang sensitif. Terutama, semenjak dioperasi klep jantungnya beberapa bulan yang lalu. Perasaannya menjadi sangat labil. Sebagai ibu, Mama hanya harus bisa menerima dan menjaganya. Menjaga perasaannya. Menjaga suasana hatinya dan semuanya. Mama hanya menginginkan Sakura tetap berbahagia dengan segala keterbatasan yang Allaah ujikan padanya saat ini. Itulah mengapa, Mama hanya bisa bersikap sabar dan sabar dalam menghadapi Sakura.

Saat Sakura sedang labil, Mama memilih diam dan menemaninya. Saat Sakura sedang ingin curhat, Mama memilih untuk menjadi pendengar yang baik dan bijak. Saat Sakura sedang ingin menyendiri, Mama memilih untuk menjadi pengamat dalam diam. Dalam semua pilihannya itu, hanya satu keinginan Mama. Membuat Sakura berbahagia. Hanya satu lantunan doa dalam hati Mama, Sakura senantiasa dalam naungan kasih sayang Allaah.

"Gendhuk Honey," boleh Mama menghapus air matamu? Lanjut Mama dalam hati. Boleh Mama menggantikan kesedihanmu? Dengan apa, Ndhuk, Mama bisa menggantikannya? Dengan air mata Mama? Dengan apa, Ndhuk? Bisa kamu mengatakannya? Gendhuk tahu nggak? Diammu seperti ini, mengiris-iris hati Mama. Terlebih air mata kepiluanmu itu. "Mau cerita sama Mama?" Hanya itu akhirnya yang bisa diucapkan Mama. Kini, Mama menciumi pipi tirus dan pucat Sakura. Sakura mengangguk lemah. Itu, membuat Mama tersenyum senang.

"Sini, Mama lap dulu mimisannya ya? Gendhuk sakit? Gendhuk kenapa? Cerita ya, sama Mama?" Dengan sabar Mama membersihkan dagu, bibir dan telapak tangan Sakura yang sudah berlumur darah mimisannya dengan tisu basah.

"Mas Wijaya sudah mati, Mama." Ujar Sakura lirih di sela isak tangisnya. Itu, membuat jantung Mama berbunyi dug! Nyaris berhenti berdetak. Mati gimana? Orang tadi masih ngirim pesan di BBM kok. Sanggah hatinya. Diingat-ingatnya pesan Mas Wijaya di BBM-nya. Ramah. Baik. Sopan. Seperti biasa. Masa sih mati? Maksudnya?

---

Assalamu'alaykum, Ma. Apa kabar? Bagaimana dengan Dik Sakura? Semoga selalu dikaruniai kesehatan dan kebahagiaan oleh Allaah. Aamiin. Oh ya, Ma. Maaf sebelumnya. Minta tolong ditanyakan sama Dik Sakura ya, Ma? Kenapa kontak Wijaya diblokir sama Dik Sakura dan Dik Sakura juga men-delete contact BBM Wijaya, Ma. Terima kasih sebelumnya, Ma dan Wijaya menunggu kabar dari Mama. Salam untuk Dik Sakura, Ma. Wassalamu'alaykum.

---

Sakura terbatuk, membuat Mama terkesiap. Dikuasainya lagi dirinya yang tadi mengembara ke BBM, dimana pesan Mas Wijaya masih tersimpan dengan baik di sana.

"Ndhuk?" Mama melap jemari Sakura dengan sesabar mungkin. Meski sesungguhnya, ingin sekali mendesak Sakura untuk segera mengatakan apa yang dimaksudnya dengan Mas Wijaya sudah mati. Meninggal? Mati ... Apanya? Kenapa? Ada apa?

"Mulai sekarang, tidak ada lagi Mas Wijaya dalam hidup Sakura, Ma. Mas Wijaya jahat! Dia tega mengkhianati Sakura. Mendustai hati dan cinta Sakura. Mengingkari semua janji kami selama ini. Mas ... Wijaya ... Sudah ... Mati, Ma." Mendadak suara Sakura tersendat, tubuhnya melemas dan akhirnya lunglai tak sadarkan diri. Mama menjerit histeris dibuatnya.

Dengan panik, Mama mengguncang-guncangkan tubuh Sakura. Tidak ada respons sama sekali. Sekuat mungkin, Mama memindahkan Sakura ke tempat tidur dan segera menghubungi dokter. Hati Mama berdebar-debar tak karuan. Bayangan Mas Wijaya, suaranya di telepon, semua pesan-pesannya berkelebat satu per satu. Menyesakkan dada Mama. Jadi, Mas Wijaya ...?

***

"Ya Allaah, kenapa perasaanku nggak enak begini ya? Ada dengan Dik Sakura?" Mas Wijaya berbisik lirih. Jantungnya berdebur-debur. Pikirannya melayang-layang ke Eropa, tempat Allaah menjaga Dik Sakuranya tercinta. Wanita Shalihah yang sebentar lagi akan menjadi makmumnya. Akan menjadi Bidadari Surganya. "Anehnya, mengapa tiba-tiba Dik Sakura memblokir kontakku? BBM-ku juga di-delcont. Apa salahku? Ah, mungkin BBM-nya sedang error. Semoga saja. Dan, semoga Mama segera mengirimiku kabar yang baik. Aamiin.

Mas Wijaya berjuang sekuat tenaga untuk tetap bersabar dan berprasangka baik terhadap Sakura. Hati kecilnya yakin sekali, Dik Sakuranya tidak akan mungkin melakukan hal itu. Tidak mungkin!

Autumn Leaves, nada panggil kesayangannya, terlantun merdu. Di layar HP-nya tertera nama Mama Belanda. Mas Wijaya segera mengangkatnya dengan perasaan gembira. Pasti Mama akan memberinya kabar gembira. Kabar, bahwa HP Dik Sakura error. Bisik hatinya.

Namun, inilah hidup. Terkadang, tidak selalu sejalan dengan apa yang menjadi keinginan dan keyakinan hatinya. Bukannya memberikan kaba gembira, Mama justru memarahinya babis-habisan dan itu membuatnya remuk. Hancur.

"Wijaya! Mama tahu, Gendhuk memang nggak sempurna. Gendhuk memang banyak kekurangan. Tapi bukan berarti kamu bisa berbuat seenak kamu sendiri! Semau kamu sendiri! Puas kamu, sudah membuat Gendhuk sakit seperti ini? Kalau hanya untuk berkhianat, kenapa harus terjalin cinta selama ini? Benar, jodo itu di tangan Allaah. Tapi, manusia juga harus berikhtiar to?" Ucap Mama, bagaikan petir di siang hari. Dan, belum sempat Mas Wijaya menyahut sedikit pun, Mama sudah mengakhiri teleponnya. Glek! Dan, kini Mas Wijaya hanya bisa runtuh di kamarnya yang sunyi. Sepi. Air mata bergulir dari pelupuk matanya.

Ada apa, Dik?

Apa yang terjadi?

Mas di sini tulus mencintaimu

Mas di sini bersetia menantimu

Mas nggak pernah pergi, Dik

Mas selalu ada di hatimu

Mas ....

***

Sakura baru saja bangun tidur. Terbangun tepatnya, karena ini masih dini hari. Diliriknya jam weker Hello Kitty yang terletak di meja belajar. 1:25 AM.

Sakura berusaha duduk dan menyandarkan diri di kepala tempat tidur. Kepalanya masih pening. Pening sekali. Perutnya seperti kemasukan mixer. Seeerrr, seeerrr, seeerrr menimbulkan sensai mual yang luar biasa. Ah, tidak sempat lagi mengambil kaleng muntahnya. Dimuntahkannya semua isi perutnya di sana, di sisi tempat tidur.

Kini, matanya terasa berkunang-kunang. Dipejamkannya sesaat untuk meredakan pening yang menimbulkan denyut-denyut sakit di kepalanya. Ah, Mas Wijaya. Mengapa Mas setega ini sama Sakura, Mas? Mengapa harus begini akhirnya? Sakura tidak menyangka ....

Saat mata terbuka, pas di sudut sana dilihatnya kiriman dari Mas Wijaya. Bungkusnya telah terkoyak. Dikernyitkan dahinya. Benda itu? Mengapa masih di sini? Mengapa tidak pergi saja ke Kediri, Indonesia? Mengapa semua seolah bekerjasama untuk menyakitiku seperti ini? Tanya hatinya, merintih perih.

Tapi, sepertinya ada yang aneh. Batinnya. Sejak diterimanya kemarin pagi, dia belum membuka kiriman itu. Dia juga belum tahu apa isinya? Yang dia tahu, kiriman itu berisi surat undangan pernikahan Mas Wijaya. Dan itu diketahuinya dari tukang pos yang mengantarkannya.

Aneh!

Kalau benar itu surat undangan, mengapa bisa setebal itu?

Atau, memang didesign seperti itu?

Hard cover letter?

Tapi ....

*

Sakura gemetar. Jiwa dan raganya bergetar. Haru dan bahagia, memelukinya bersamaan. Dibukanya satu per satu lembaran diary kiriman Mas Wijaya. Air mata haru, syukur dan bahagia pun mengucur. Seolah ikut melantunkan kebahagiaannya. Kedamaian hatinya.

--- Hari pertama musim penghujan

Kediri, 5 Nopember 2015

Assalamu'alaykum, Dik

Apa kabarmu, Dik? Semoga Allaah selalu menjagamu. Semoga Allah selalu mengistiqamahkan hatimu, di atas jalan-Nya yang lurus ini. Islam.

Hanya doa yang Mas punya, Dik. Semoga Allaah meridhai kita, sebagai Sepasang Sayap Cinta yang Allaah tuliskan dalam kitab-Nya. Aamiin.

Salam Mas untuk Mama, Dik. Juga untuk Dedek semua dan keluarga di sana. Maaf, hanya ini yang bisa Mas berikan di hari ulang tahunmu.

Happy milad, Dik.

Baarakallaahu fii umriki.

Aamiin.

Walhamdulillaah.

Wassalamu'alaykum, Dik

Salam,

Mas di Kediri, Indonesia

---

Sakura terhenyak! Jantungnya berlompatan karena kebahagiaan yang menyeruak ke dalam dadanya. Ternyata, ini kado Mas Wijaya untuk hari lahirnya. Alhamdulillaah, Allaahu Akbar.

Jadi? Selama ini ...?

"Astaghfirullaahaladhiim. Rabb, ampuni hamba. Hamba tak pandai mengendalikan diri. Hamba tak pandai memenej prasangka. Ampuni hamba, Rabb. Astaghfirullaahaladhiim. Alladzii laailaaha illa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaihi," bisik Sakura tergetar. Segera diberitahunya Mama, tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka berpelukan dengan linangan air mata kebahagiaan. Keharuan merangkul keduanya. Mama tak kuasa menahan haru, hingga terisak-isak dalam tangisnya.

Terima kasih, Allaah. Engkau telah menjawab tanya hatiku selama ini. Jaga mereka, Rabb. Jaga hati dan cinta mereka. Ridhai mereka Rabb. Bisik hati Mama syahdu.

***

Senja menyapa Sakura dan Mas Wijaya. Keduanya tengah duduk berdua di beranda belakang. Menikmati indahnya taman bunga kecil yang beberapa tahun lalu dibuat Papa. Sakura menyandarkan kepalanya di bahu Mas Wijaya. Berbahagia keduanya, setelah tadi pagi, Mas Wijaya melalukan ijab qabul di hadapan penghulu, para saksi dan semua keluarga dan tamu yang hadir di walimatul 'ursy mereka. Walimatul 'usry yang tergelar sederhana dan bersahaja namun penuh dengan makna dan nuansa sakral itu, mengantarkan mereka menjadi Sepasang Sayap Cinta yang halal. Ya, halal di hadapan Allaah dan sah di hadapan manusia.

"Alhamdulillaah. Terima kasih, Mas." Sakura berucap lembut dan mesra.

"Alhamdulillaah. Sama-sama, Dik," Mas Wijaya mengusap lembut pipi kanan Sakura. "Kita mulai perjalanan ini dengan Bismillaah, Dik. Ingatkan Mas jika Mas lupa. Tegur mas jika Mas bersalah, Dik. Karena Mas bukan makhluk yang sempurna,"

"Terutama Sakura, Mas. Sakura yang berdebu," tuturnya manja, membuat Mas Wijaya gemas. Dicubitnya pipi kiri Sakura, cubitan cinta. Yang dicubit menjerit-jerit manja ....

The End

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Surat Undangan Pernikahan Mas Wijaya"