Surat Cinta Sakura

Bismillaah

Surat Cinta Sakura

A story by Sakura Sizuoka

"Wi, tunggu!" Rumy setengah menjerit dari dalam kelas. Ia, kaget sendiri dengan suaranya. Keras banget? Tanya hatinya. Sebenarnya sih, nggak bermaksud teriak gitu. Toh, tanpa berteriak pun Wijaya psti bisa mendengar suaranya. Dia belum terlalu jauh berjalan. Tapi, kok bisa ya? Celoteh hatinya, heran. Ah, sudahlah! Wis kebacut. Sudah terlanjur. Rumy mengambil amplop biru muda dari dalam kotak pensilnya yang bergambar Winnie the Pooh.

Merasa dipanggil dengan teriakan tidak sopan, Wijaya menjadi jengah. Menghentikan langkah dan membalikkan badan menghadap ke arah Rumy. Saatnya memasang wajah kesal. Ada-ada aja si Rumy. Aku cuma di sini kok segitunya manggilnya? Sergah hatinya. Semakin kesal. Terlebih saat melihat Rumy malah termangu di tempat duduknya, bukannya merasa ditunggui.

"Woooi, Rum! Ada apa? Teriak-teriak. Aku masih denger lho!" Wijaya berjalan mendekat. Rumy geragapan. Seolah baru saja tersadar dari lamunan yang dalam dan panjang. "Malah ngelamun!" Imbuh Wijaya. Kini wajahnya memerah. Semakin geram.

"Eh, enggg, oh, sorry Wi. Emmm, ini ada titipan." Rumy gugup. Dengan canggung diulurkannya amplop biru muda itu kepada Wijaya. Tiba-tiba saja, hatinya digulung rasa tidak enak. Sungguh! Sebab, ia tahu betul isi surat itu. Surat, yang mungkin akan menyebabkan keretakan sebuah persahabatan. Oh, semoga tidak. Harap hati kecilnya. "Dari Sakura," tambahnya dengan bibir bergetar. Dan, demi menyelamatkan dunia eh semuaanya eh dirinya sendiri tepaatnya, Rumy segera pamit dan cepat-cepat berjalan meinggalkan kelas. Dengan hati berdebar-debar, Rumy setengah berlari menuju kost.

Wijaya tergugu. Tidak sempat dijawabnya pamitan Rumy. Kini, di tangannya ada surat. Surat istimewa. Bayangkan saja, ini surat dari Sakura lho. Haduh, hatinya porak poranda. Luluh lantak! Siapa sih yang tidak mengenal Sakura? Sakura yang bunga kampus. Bintang kampus. Akhwat Aktifis Dakwah Kampus yang banyak digandrungi cowok-cowok dan tentu banyak ikhwan yang ingin melamarnya dan menjadikannya isteri.

"Apa aku ndak lagi mimpi to? Sakura ngirimi aku surat? Duh Gusti. Gek apa isine?" Apa isinya? Wijaya penasaran. Tepatnya, saat ini yang ada di dalam hatinya adalah pergumulan tiga rasa. Kaget, bahagia, dan penasaran. Dan, pergumulan itu kini telah menghasilkan senyum tersipu bahagia yang berhasil mengubah air mukanya. Sumringah! Semua rasa kesal yang tadi kental membumbui perasannya, telah sirna. Berganti bunga-bunga indah, mekar di sepanjang lorong hatinya. Berwarna-warni.

"Hihi. Akhirnya! Pucuk dicinta ulam pun tiba!" Bisiknya, sembari memasukkan amplop itu ke dalam saku celananya. Ia, akan membacanya setelah sampai di kost nanti. Bergegas, Wijaya berjalan menuju tempat parkir sepeda.

***

Ruangan menjadi sunyi. Senyap. Hanya suara jarum jam di dinding yang berdetak-detak merdu. Seolah ingin menyanyikan melodi indah, untuk membuat semua orang yang ada di sana tersenyum bahagia atau bahkan ikut menyanyi bersamanya.

Sakura melap darah mimisannya dengan sapu tangan merah jambu. Dihelanya napas panjang untuk meredakan sakit yang berdenyut-denyut di dada kirinya. Rumy mengangsurkan segelas air putih kepadanya. Tanganya dingin dan bergetar.

"Minum, Ra. Kamu tenang ya? Sebentar aku nyari taxi dulu. Permisi, Dok." Ujar Rumy dengan suara yang dibuatnya menjadi setenang mungkin, meski sesungguhnya hatinya kacau balau. Senyum tipis berhasil dilengkungkannya di wajah manisnya.

"Silakan, Mbak." Dokter menimpalinya, santun. "Jadi, Mbak Sakura harus banyak istirahat. Jangan terlambat minum obatnya ya? Semoga lekas sembuh. Oh ya, kalau bisa segera hubungi keluarga ya? Beritahukan yang sebenarnya. Saya yakin, Mbak Sakura akan segera sembuh," Dokter menyemangatinya panjang lebar dan ditimpalinya dengan anggukan sopan. Anggukan yang kalau diterjemahkan akan menjadi, "In syaa Allaah, Dokter. Bismillaah."

***

"Jadi, Sakura sakit, My?" Tanya Kak Nabil cemas. "Sakit apa? Terus bagaimanana keadaannya?" Kak Nabil benar-benar cemas. Ditatapnya mata Rumy, dalam. Tajam.

Rumy tak kuasa menjawab, sepatah kata pun. Hanya air mata yang berbicara. Ditelungkupkannya wajah ayunya di atas meja. Kak Nabil jadi bertambah cemas, melihat Rumy menangis seperti ini. Terlebih, ia tahu betul, adik semata wayangnya ini tidak akan menumpahkan air mata jika tidak ada peristiwa besar yang menjadi penyebabnya.

Diusapnya lembut kepala Rumy, "My. Kamu tenangkan diri dulu ya? Istirahat nanti, Kakak tunggu di kantin. Jaga diri kamu baik-baik ya? Ini, contoh makalah yang kamu butuhin." Dengan hati tidak karuan, bergelenyar berdesar-desar, Kak Nabil meninggalkan kelas Rumy. Sebentar lagi, jam pertama akan dimulai.

"Kak!" Dengan suara serak Rumy memanggil Kak Nabil. Disekanya air matanya. Sembab. Perih.

"My?" Kak Nabil kembali mendekati Rumy. Kini mereka duduk berhadapan, persis seperti tadi. Kali ini, mereka bertatapan begitu dekat. "Katakan sama Kakak."

"Sakura, Sa-ku-ra," Rumy tergagap. Wajahnya pucat. Nampak kepanikan menyinggahi hatinya. Terutama rasa sayang yang besar, memenuhi hatinya. Terpancar dari sorot matanya. Sakura, sahabat terdekat dan terbaiknya.

"My? Seberat itu kah? Tolong kasih tahu Kakak," Kak Nabil semakin cemas. Rasanya ingin sekali dicengkeramnya bahu Rumy, dan memaksanya bercerita. Tapi, jelas itu tidak akan dilakukannya.

"Kakak baca ini," Rumy mengangsurkan hasil diagnosa Dokter lengkap dengan hasil pemeriksaan kesehatan Sakura semalam. "Jaga ya, kak?" Pintanya penuh harap. Tatapan matanya benar-benar memohon dan kin air matanya melinang lagi.

Kak Nabil tergetar. Diterimanya amplop cokelat besar itu dengan jantung berdegup kencang. Ia mengangguk, mengabulkan permohonan Rumy.

***

Wijaya terkejut setengah mati. Hatinya menjerit sakit. Diremasnya surat dari Sakura itu sekuat mungkin. Ingin sekali Wijaya melumatkannya. Lenyap sudah, pepatah pucuk dcinta ulam pun tiba yang tadi pagi dipegang teguh oleh hatinya. Sirna sudah lonjakan-lonjakan bahagia yang tadi pagi memenuhi hatinya. Senyum bahagia itu memudar. Hambar.

Bagaimana tidak?

Sakura yang selama ini dicintainya dalam diam, menampiknya! Bahkan, dalam suratnya, Sakura menuliskan:

Afwan, Kak. Mungkin, hidup Sakura tidak akan lama lagi. Semoga, Allaah memberikan cinta terbaik untuk Kakak.

Dan, bagian inilah yang kini menyayat-nyayat hatinya. Hingga lumat! Sakura kenapa? Sakit? Sakit apa? Separah itu kah? Aaah, kenapa semua jadi begini?

Wijaya meremas surt itu lagi. Hatinya semakin terluka. Bukan saja karena Sakura telah menampik cintanya, tetapi berita bahwa sebenarnya Sakura tengah berjuang melawan sakit, itu justru yang menggores-gores hatinya. Hancur.

"Kamu pasti sembuh, Sakura. Dan Mas akan menantimu. Kita tidak akan pacaran, Sakura. Mas akan meng-khitbah-Mu. Kita akan menikah. Mas mohon. Sakit apa pun yang kamu derita, lekaslah sembuh," bisiknya lirih. Berharap, Sakura dapat mendengar bisikannya. Berharap, bisikannya itu bisa membakar semangat Sakura untuk sembuh. Untuk sehat.

Wijaya melemparkan surat itu ke tempat sampah. Plung! Dan, bersamaan dengan itu, hatinya semakin terluka. Diambilnya HP dari saku bajunya. Bernit hendak menelepon Sakura. Ia hanya ingin memastikan, Sakura baik-baik saja.

"Wa'alaykumussalam, Sakura?" Suaranya parau. Di seberang sunyi. "Ini Mas. Mas sudah banyak surat kamu. Mas bisa mengerti. Mas hanya berharap, kamu cepaat sembuh ya? Kamu tetap semangat ya?"

"Maaf, ini bukan Sakura. Saya temannya. Sakura di rumah sakit, Kak."

"Innalillaah ... Di rumah sakit? ... Rumah sakit mana ya, Mbak? ... Oh ya, saya ke sana. ... Terima kasih ...,"

***

"Innalillaahi ...," Kak Nabil lemas. Pandangannya terpaku pada hasil dignosa Dokter. "Sakura ...," gumamnya lirih. Dikemasinya lembaran-lembaran itu dan dimasukkannya kembali ke dalam amplop. "Ishbir, Sakura. Allaah merahmatimu." Tambahnya lagi dan kali ini, air matanya ikut berbicara. Sedih, cemas dan harapan bergumul jadi satu dalam benaknya.

"Allaah, jaga Sakura. Aamiin," Kak Nabil menyimpan amplop itu dalam laci meja belajarnya. Hatinya semakin berdesar-desar. Semacam nyeri merambati ulu hatinya.

Bayangan Sakura berkelebat-kelebat dalam benaknya. Sakura yang selalu menundukkan wajahnya. Bersikap sopan. Bertutur santun.

"Yakin, Sakura. Semoga Allaah memberikan yang terbaik. Kakak doakan." Imbuhnya mantap. Dihelanya napas panjang dan dihembuskannya perlahan. Lega. Kepasrahan mendekap hatinya.

"Kaaak! Kaaak! Kaaak Naaabiiil!" Suara histeris Rumy mengejutkannya.

"My, ucap salam dulu dong. Kenapa sih teriak-teri ...." Kak Nabil menghentikan bicaranya. Tidak biasanya Rumy sepanik ini. Apalagi, Rumy memberinya isyarat untuk mengantarkannya ke suatu tempat penting. Darurat. Rumy mengangsurkan kunci sepeda motornya. "Sa-ku-ra, Kak." Ucapnya tergagap. Terengah-engah.

"Oh. Kenapa Sakura?" Kak Nabil tergetar. Diterimanya kunci itu dan segera beranjak dari tempat duduknya.

***

Wijaya berlari menuju ruang ICU. Tidak dipedulikannya puluhan pasang mata yang memperhatikannya. Baginya, memastikan bahwa Sakura baik-baik saja, itu jauh lebih penting dari apa pun yang ada di dunia ini. Napasnya memburu seirama dengan degup jantungnya yang semakin kencang.

Nah, itu ruangannya. Bisik hatinya. Lho? Nabil sama Rumy sudah di sana?

"Wi!" Rumy memanggilnya sembari melambaikan tangan. Memberinya kode untuk secepat mungkin sampai di sana. "Sini!" Teriak Rumy, serak. Tangisnya tiada henti melinang.

Wijaya mempercepat larinya. Hosh, hosh, hosh!

"Gimana, Rum? Sakura?" Tanyanya nyaris menggelepar. Ternyata untuk berlari maraton dari pelataran parkir sampaai di ruang ICU butuh tenaga ekstra. "Bil?"

"Kita berdoa saja. Banyak berdoa," Kak Nabil menyahut. Rumy mengambil tisu yang tadi diselipkannya di saku jaket Kak Nabil. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Terlebih, saat Wijaya menatap matanya. Ia teringat saat Sakura menulis surat itu. Sakura menamakannya Surat Dakwah. Ia ingin menegaskan, Islam tidak membolehkan adanya pacaran, tapi dengan bahasa yang baik. Santun. Sopan. Rumy ingat, Sakura pernah cerita, Wijaya pernah menyatakan cintanya pada Sakura. Dulu. Dulu sekali. Waktu mereka masih di semester satu, sementara Wijaya sudah di semester lima. Dan, Sakura tidak menanggainya. Bagi Sakura, cinta itu hanya satu. Cinta yang halal di hadapan Allaah. "Duduk sini, Wi." Kak Nabil menggeser duduknya. Merapat ke dekat Rumy.

"Makasih," Wijaya pias. Berdiri saja sudah sangat cukup baginya. Dilongoknya jendela ruangan tempat Sakura dirawat. Sia-sia. Tidak bisa melihat ke dalam. "Sejak kapan Sakura sakit, Rum?"

"Ketahuannya barusan," lagi-lagi Kak Nabil mewakili Rumy. Diam-diam, Wijaya cemburu. Kenapa Nabil tahu semua tentang Sakura? Apakah mereka ...? Ah! Tidak mungkin. Mereka tidak mungkin pacaran. "Klep jantungnya bocor, Wi."

Glek! Deeerrr!

Bagai disambar petir, Wijaya mendengar keterangan Nabil. Innalillahi. Tubuhnya lemas seketika.

"Apa? Kamu nggak lagi bercanda kan, Bil? Semua ini salah kan, Bil?" Wijaya mendekati Kak Nabil dan duduk di sebelahnya. Mungkin dengan duduk ia akan menjadi lebih tenang.

"Ini kenyataan yang harus di hadapi, Wi. Dan semoga mushibah ini, menjadikan Sakura hamba yang diridhai Allaah." Kak Nabil menepuk-nepuk punggung Wijaya. Menyemangati. Menularkan semangatnya.

Wijaya tersenyum kecut. Hambar. "Aamiin."

Hanya itu yang sanggup diucapkannya. Hanya itu. Selebihnya, hanya lantunan doa dari hati terdalamnya yang sanggup dipersembahkannya untuk Sakura ....

***

"Hooaaa, hooaaa, hoaaa!" Tangis Kimora memecah keheningan malam, membuatnya terjaga. Semenjak Kimora lahir, pendengarannya memang menjadi lebih sensitif. Mudah terbangun, meski sedang tertidur lelap sekalipun.

"Oooh, Sayang. Mata Air Surga Ayah bangun. Popoknya basah ya? Sini Ayah gantikan," ucapnya lembut. Penuh kasih.

"Hoaaaa, hoooaaa, hoooaaaa," Kimora semakin keras menangis. Wijaya gugup. Sebisa mungkin didekap dan ditenangkannya Kimora sepenuh cinta. "Cep, cep, cep. Kimora Sayang haus ya? Mau nenen ya? Sebentar ya? Ayah bangunkan Ibu dulu ya?"

Sakura pun terjaga. Sebelum Wijaya membangunkannya. Nalurinya mengatakan, "Kimora haus. Mau nenen"

"Mas? Kimoraa haus? Ngompol? Pup?" Sakura duduk dan mengucek matanya yang super ngantuk. Senyum manis melengkung di wajah ayunya.

"Sepertinya haus, Dik. Popoknya nggak basah kok," Wijaya meletakkan Kimora di pangkuan Sakura. Duh Gusti, bahagianya. Alhamdulillaah. Bisik hatinya. Dicubitnya ujung hidung Sakura. Cubitan cinta.

"Iiih, sakit, Mas. Mas sukanya usil deh!" Sakura berkelit manja. Sementara Kimora menikmati Kimora telah asyik menikmati ASI-nya.

"Hehe. Mas semakin gemas, Dik sama kamu. Alhamdulillaah. Makasih ya, Dik?" Wijaya mengecup kening Sakura.

"Gitu deeeeh! Makasih untuk apa, Mas?"

"Makasih untuk cintamu. Cinta kita dan satu lagi ...."

"Apa itu, Mas?"

"Anak Cinta kita ini, Dik." Wijaya mencubit pipi sakura dan sontak Sakura pun menjerit-jerit manja. "Saaakiiit, Maaas,"

Kimora terlelap dalam dekapan Sakaura. Sakura mengecup keningnya lembut. Anak Cintanya itu sungguh istimewa baginya. Di hatinya.

***

Inilah hidup. Semua kisah yang terjadi di dalamnya, selalu berada dalam kekuasaan Allaah. Allaah menghendaki Sakura dan Wijaya menjadi Sepasang Jiwa yang halal dan diberkahi-Nya. Sakura, dengan sabar menjalani perawatan dan terapi. Dengan khtiar itu lah, Allaah memberinya kesembuhan dan kesehatan ....

---#---

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Surat Cinta Sakura"