Dan Kau Pun Menghilang

Bismillaah

Dan Kau Pun Menghilang

A story by Sakura Sizuoka

Jadi, tidak? Jadi, tidak? Jaaadiii, tiiidaaak? Sinar menjadi ragu. Sesaat, keraguan itu menggulung-gulung hatinya. Segenap perasaannya pun ikut tergulung di dalamnya. Pahit. Getir. Asin. Asam. Manis. Semua bergumul menjadi satu, dalam ceruk suci terdalamnya. Dipandanginya pintu rumah bercat cokelat dengan gagang pintu besi ukir besar itu dengan mata yang hangat. Air mata mulai mengembun di pelupuk cantiknya. Bulu matanya yang lentik dikerjap-kerjapkannya. Seolah hendak menahan embunan bening itu agar tidak mengguliri wajah ayunya.

Sinar tertegun. Kerudung lebarnya menari-nari bersama angin senja. Sinar tersenyum tipis, hendak menghentikan gulungan keraguan yang dahsyat di hatinya itu. Namun, apa daya? Sinar hanya kuasa berdiri mematung di sana, di depan pagar rumah Mas Karang. Kini dirasakannya, kakinya menjadi goyah. Rasanya, tak kuasa lagi melangkah. Ya, melangkah, mendekati bel yang terpasang di tembok sisi pagar dan menekannya kuat-kuat. Lalu, menunggu seseorang membukakan pintu untuknya dan mempersilakannya masuk. Ah! Apa benar seperti itu? Benar kah, akan ada yang membukakannya pintu? Benar kah, akan ada yang mempersilakannya masuk? Ah! Tentu tidak. Tidak ada. Itu hanya secuil harapan yang kini bernaung di langit-langit jiwanya.

"Allaah, Sinar tidak sanggup. Lebih baik, Sinar pulang saja." Bisiknya lirih, sembari menggenggam erat tali tas sekolahnya. Erat. Seolah ingin membagi semua perasaannya pada tali tas Masha kesayangannya. Sinar membalikkan badan. Menghelpa napas panjang dan kini keputusaannya pun menjadi bulat dan utuh. Pulang.

Mas Karang hanyalah masa silamnya. Mungkin, akan menjadi masa silamnya. Atau, masa depannya. Sinar tidak tahu. Yang Sinar tahu, Mas Karang tidak seperti dulu lagi. Mas Karang menjauhinya dan tidak pernah bertegur sapa lagi dengannya. Bahkan, semua pesannya di BBM dan di WA pun, tidak pernah mendapatkan balasan dari Mas Karang.

Mungkin, Mas Karang sudah tidak mencintainya lagi?

Mungkin, Mas Karang sudah menemukan cintanya yang lain?

Mungkin, Mas Karang sudah melupakannya? Cintanya? Dan semua yang pernah ada dan terjadi selama ini? Tapi, mengapa? Ada apa? Apakah mungkin, seorang ikhwan shalih seperti Mas Karang berkhianat? Ingkar? Dusta? Ah! Itu tidak mungkin! Tapi, mengapa Mas Karang begini? Diam dan dingin? Atau, itu hanya perasaanku saja? Aaah, aku tidak tahu! Aku bingung! Tidak seharusnya Mas Karang begini. Bukan kah berbicara akan menjadi jembatan untuk menemukan solusi? Begitu kan, kata Mas Karang dulu? Saat membangun komitmen bersamaku? Atau, bangunan komitmen itu kini telah runtuh ...?

Sinar melangkah gontai. Dikuatkannya hatinya. Sekilas diliriknya pintu pagar rumah Mas Karang. Tak ada siapa pun di sana. Tak seorang pun.

Sinar melangkah perlahan menuju rumah. Bayangan Mas Karang berkelebatan di benaknya. Satu per satu. Senyumnya. Tawanya. Candanya. Tatapan matanya. Semuanya. Dan, itu, semua itu menjelma cutter tajam yang mengiris-iris tipis hatinya. Sinar lelah! Bendungan di matanya jebol! Air matanya pun tumpah. Di sepanjang jalan menujur rumahnya, Sinar berurai air mata. Sedih dan kecewa. Namun, rasa cinta yang begitu besar, mendekapnya dengan sangat kuat. Erat. Hangat. Sinar semakin menangis. Menangis. Hingga sampailah ia di rumah tepat di saat Adzan Maghrib berkumandang dan disambut oleh Bunda yang sudah digulung resah. Khawatir akan keselamataannya.

Sinar tidak menyadari itu. Sinar hanya bisa menangis dan menangis. Langkahnya tersaruk-saruk.

"Dik, cepatlah selesai sekolah. Mas menunggumu," suara Mas Karang lembut, waktu itu. Terngiang kembali di pendengaran jiwa Sinar. "Nanti, ngambil S2-nya setelah nikah aja, gimana?" Imbuhnya, penuh harap. Ada sebongkah doa kudus di dalamnya. Sinar menepisnya. Ia tidak ingin suara itu merasuki jiwanya lagi. Peeergiii! Teriak hatinya.

Namun, apa daya? Bisikan lembut Mas Karang kembali terngiang. "Mas berjanji, akan membahagiakanmu, Dik. Mas terima dirimu apa adanya. Janji ya Dik, sama Mas? Kamu sehat selalu dan cepat selesai sekolah," Sinar mengusap air matanya yang semakin melinang. Dipercepatnya langkahnya, sebisa mungkin. Meski pening mulai menyerang kepalanya. "Kita akan melangkah bersama menuju ridha Rabb. Oke, Dik? Kita akan menikah. Membangun rumah surga yang kita impikan. Jadilah Bidadari Surga Mas, Dik."

Bunda mendekatinya, kecemasan kental terlihat dalam sorot mata teduhnya. "Yaa Allaah, Sinar. Alhamdulillaah. Kamu sudah pulang." Bunda membukakan pintu pagar dengan suara parau. Mungkin perasaan Bunda pun menjadi sangat kacau. "Lho Sinar? Ada apa? Kamu kenapa? Kok nangis gini, ayo cepet masuk!" Bunda menggandeng tangannya. Sinar bergeming. Tak kuasa mengucap sepatah kata jua. Hanya air mata yang berbicara.

"Sinar?" Bunda merangkulnya dari samping. "Kamu kenapa? Kenapa baru pulang? Sudah ditunggu lho dari tadi." Ungkap Bunda bersahaja. Nada bicaranya terdengar bahagia.

Di tunggu?

Siapa?

Hati Sinar bertanya-tanya. Disekanya air matanya dan kini, Sinar berusaha menenangkan diri. Setidaknya, jangan sampai ada teman yang tahu kalau ia pulang terlambat dalam keadaan menangis begini. Bisa kacau!

"Kamu mandi dulu ya? Ganti baju terus shalat maghrib," Bunda mengajaknya masuk lewat pintu samping. Loh? Kenapa? Batin Sinar. Kok lewat sini? "Setelah itu, kamu ke ruang keluarga. Ada yang mau Mama bicarakan." Ucap Bunda mantap. Sinar terkesiap.

Ruang keluarga?

Bicara?

Ada apa?

Siapa?

***

Sinar merapikan kerudung kesayangannya. Merah tulip. Diperhatikannya dirinya di dalam kaca. Hihi. Manis. Tapi, kalau lagi nangis? Manis tidak ya? Bisik hatinya, menggodai dirinya sendiri. Geli saja rasanya, mengingat kejadian tadi. Malu juga. Bisa-bisanya, bersikap separah itu. Hanya gara-gara ikhwan? No! Tidak boleh! Tidak boleh lagi, maskudnya! Sergah hatinya, menguatkan.

Sinar tersenyum, anggun. Ditatapnya bayangan matanya di kaca, lekat-lekat. "Muslimah shalihah tidak boleh cengeng! Tidak boleh menangisi dunia. Termasuk Mas Karang. Lepaskan! Jika Mas Karang memang ditakdirnkan untuknya, ia takkan kemana-mana. Tersenyum dan temui Bunda. Finish!"

Sinar memandangi dirinya lagi. Bayangan Mas Karang berdiri tegak di belakangnya. Memandanginya dengan sorot mata penuh cinta. Namun, Sinar telah kukuh dengan keputusan hatinya. Ditepiskaannya bayangan Mas Karang dan melangkah mantap menuju ruang keluarga.

***

Sinar tertegun. Hatinya terpeluk kejutan mesra. Sungguh, ia tidak tahu harus bagaimana. "Bunda ...," bisiknya lirih, sembari duduk di samping Bunda. Bunda merangkulnya dari samping.

"Ini, Sinar. Anak saya satu-satunya. Ya, beginilah Sinar apa adanya." Bunda membuka suara. Santun dan ramah. Sinar masih "setengah sadar" antara percaya dan tidak. Mas Karang bersama Ayah dan Ibu duduk di sofa di depannya dengan wajah berbinar-binar. Semuanya tersenyum lebar, kecuali Mas Karang. Wajahnya tertunduk. Sinar menjadi kikuk. Benaknya berkecamuk.

Jadi?

Apa Mas Karang ...?

Ah, tidak mungkin!

Mereka hanya silaturrahim saja

Toh, belakangan ini, Mas Karang sudah berubah

Mungkin, Mas Karang sudah menghapusnya dari pelataran cintanya

Sinar berbincang dengan hatinya, di antara gelenyar lembut yang merambati jiwanya. Ah! Mengapa desar-desar itu semakin nyata.

"O ya, Bu. Alhamdulillaah. Sinar, apa kabar?" Ayah menimpali dengan sangat ramah. Sinar hanya mampu tersenyum, wajahnya masih menunduk.

"Alhamdulillaah," Ayah seolah mengerti arti senyum Sinar. Dan, memang Sinar terlihat baik-baik saja. Semoga selalu baik-baik saja. "Jadi, bagaimana Karang?" Ayah menyenggol Mas Karang dengan sikunya. Yang disenggol mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar. Sumringah. Sinar menjadi bingung. Deg-degan. Tidak karuan.

"Sinar, kamu masuk ke kamar dulu ya?" Pinta Bunda lembut. Tanpa dikomando dua kali, Sinar menurut dan segera melangkah cepat menuju kamar. Kamar tercintanya.

***

Hari masih gelap. Mas Karang sudah terbangun. Alhamdulillaah, bisa istiqamah bangun jam tiga. Disingkapnya selimutnya dengan hati-hati. Takut membuat Sinar terbangun. Tapi, Allaah berkehendak lain. Sinar merasa ada yang menarik selimut tulipnya dan berniat membetulkannya. Matanya menyipit lucu. Senyumnya melengkung manis. "Mas? Sudah bangun? Jam berapa ini?" Sinar berusaha menyandarkan kepalanya di kepala tempat tidur.

"Jam tiga, Dik. Mas mau shalat. Kamu mau ikut, Dik?" Karang merapikan bantal dan gulingnya.

"Iya, Mas. Ikut. Eeeh, sebentar, Mas." Sinar mengingat-ingat sesuatu. "Maaas, tadi kan Sinar belajar. Terus? Kok bisa di sini? Maksud Sinar ...,"

Karang mencubit hidung Sinar gemas. Cubitan cinta. "Iya, Dik. Mas yang gendong kamu ke sini. Habis, kamu ketiduran di meja belajar. Sayang kan, Bidadari Surganya Mas tidur di meja. Nanti bisa sakit badannya. Hehe," Karang mengusap lembut pipi Sinar. Kini, wajah Sinar semakin kemerahan. Malu dan bahagia.

---#---

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Dan Kau Pun Menghilang"

  1. Keren? Kunjunganya gan? Naruto vs genderwo
    desa konoha terganggu dengan serangan genderwo yg tiba-tiba muncul dari sungai niagara, naruto pun langsung menyerang genderwo itu dengan jurus rasenggan dan genderwo itu pun kalah.

    BalasHapus
  2. @Krisnasubehi,
    Wooowww.jurus rasenggan ... In syaa Allaah, mampir:)

    Thanks, ya?

    BalasHapus