Di Atas Pusara Ibu

Bismillaah

Di Atas Pusara Ibu

A story by Sakura Sizuoka

Yayan hanya bisa diam membisu. Tak sepatah kata pun sanggup diucapkannya. Pandangannya menerawang menembus langit-langit ruang perawatan Cempaka Putih di Rumah Sakit Cinta Sesama. Ia merasakan sebuah gelombang duka yang begitu besar, menggulung jiwa dan raganya. Lalu, tanpa ampun lagi menyeret-nyeret tubuhnya hingga kandas di dasar lautan kehidupan. Kandas!

Tiada lagi harapan. Tutur hatinya, lirih. Lemah. Tak berdaya.

Semua sudah terlanjur terjadi. Andai aku mendengarkan apa kata Ibu. Mungkin, ini takkan pernah terjadi. Tambah hatinya lagi. Kian lirih.

Andai malam itu, aku tidak keluar rumah. Andai, aku tidak menemuinya. Andai, aku tidak meminumnya. Andai, aku tidak menuruti semua keinginannya. Pastilah takkan seperti ini. Jerit hatinya penuh sesal. Jerit yang sarat akan kepedihan.

Seharusnya, aku mendengarkan Ibu. Seharusnya, aku tidak melawan Ibu. Seharusnya, aku tidak menjadi anak durhaka yang selalu membangkang pada semua yang Ibu nasihatkan. Seharusnya, aku patuhi Ibu. Seharusnya ... Aku sadar sedari dulu kalau Mas Ayyas itu bukan lelaki yang baik! Dia, lelaki yang rusak! Perusak! Hatinya kian menjerit-jerit. Yayan geragapan. Dadanya berdebar-debar sakit. Keringat dingin mengembun rata di sekujur tubuhnya, mendekapkan dingin. Bayangan Mas Ayyas pada kejadian malam menjelang pagi itu berkelebatan ngeri dalam benaknya. Menyayatkan luka yang kian menganga. Luka yang teramat dalam di hatinya. Dan kini, luka yang berdarah-darah itu telah dibaluri nanah!

"Embun Beningku, ayolah. Mendekatlah, kita nikmati malam ini," Mas Ayyas menarik tangan Yayan hingga jatuh ke dalam pelukannya. "Aku kan sayang sama kamu, ayolah. Masa sih kamu nggak percaya sama aku? Ayolah ...," bisik Mas Ayyas erotis. Yayan bergidik ngeri!

Ingin sekali ia berlari pulang. Meninggalkan Mas Ayyas yang sudah setengah mabuk dan mengamankan diri. Namun, apalah daya? Tubuhnya limbung. Kepalanya pusing sekali dan kini, ambruklah ia dalam pelukan Mas Ayyas. "Yayan mau pulang, Mas." Ucapnya lirih. Lirih sekali. "Yayan sudah janji sama ibu." Imbuhnya setelah muntah. Muntah karena pengaruh minuman keras yang tadi direguknya bersama Mas Ayyas. "Anterin Yayan, Mas. Kasihan Ibu. Ibu pasti sudah menunggu." Pintanya sebisa mungkin.

Namun, Mas Ayyas hanya diam. Tanpa suara diciuminya pipi Yayan penuh nafsu. "Embun Beningku. Nggak usah takut. Aku akan jaga kamu. Oke? Hahahaha."

Yayan terkesiap. Ha? Mas Ayyas? Mabuk ya? Batinnya penuh tanya. Ketakutan dan kekhawatiran mulai merambati hatinya. Dikerjap-kerjapkannya mata bulat beningnya yang indah, namun perih. Perih sekali. Yayan berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dan berlari, namun yang terjadi hanyalah sebuah kebodohan. Kini, tubuhnya telah berada dalam kuasa Mas Ayyas. Ya, syaithan telah merajai hati Mas Ayyas dan terjadilah itu. Peristiwa yang meninggalkan luka mendalam bagi jiwa dan raga Yayan. Sepanjang hidupnya.

Yayan menelan ludahnya yang terasa seperti brotowali. Lalu, dirasakannya sesuatu yang aneh. Jadi, aku di rumah sakit? Aku kenapa? Infus? Selang oksigen? Bajuku? Mana bajuku? Mas Ayyas ....

"Aaaa, tolooongggg ...! Aku mau pulaaanggg ...!" Jeritnya, histeris. Itu membuat Suster dan Dokter Jaga berlarian menuju ruangannya.

Belum sempat Yayan melompat dari brankar, Suster sudah berhasil menyuntikkan suntikan penenang untuknya. Suster dan Dokter menjadi sangat lega. Begitu juga Mbak Azka. Kepanikannya menjadi sirna seketika.

"Ini penenang dosis ringan, Mbak Azka. Pasien bisa tertidur, bisa juga tidak. Tapi, setidaknya, tidak akan melakukan hal-hal yang membayakan. Tolong dijaga ya?" Dokter berbicara dengan Mbak Azka sopan. Senyum bijaknya menebarkan kedamaian bagi seisi ruangan. "Nanti, coba ditawari minum atau makan. Kalau dari analisa dan diagnosa kami, in syaa Allaah pasien akan baik-baik saja. Dalam arti, tidak akan mengalami cidera psikis berat. Kita lihat perkembangannya nanti," tambahnya mantap. Mbak Azka tersenyum senang. Ketakutan yang tadi bergolak dalam jiwanya, seketika lenyap.

Setelah Suster dan Dokter berlalu, Mbak Azka mendekati Yayan dan membenarkan letak selimutnya.

"Yayan, syukurlah kamu sudah sadar." Lonjak Mbak Azka dengan nada gembira. Sedari tadi, Mbak Azka ketiduran di sisi brankarnya. Kalau saja Yayan tidak menjerit histeris tadi, pastilah Mbak Azka masih terlelap dalam tidurnya. Lelah sekali rasanya setelah hampir lima malam tidak tidur. Yayan hanya diam, menatapinya dengan pandangan yang diselimuti kebingungan.

"Alhamdulillah. Gimana? Apa yang kamu rasakan?" Mbak Azka menggenggam jemarinya penuh sayang. Mbak Azka itu, kakak kelasnya. Sejak kecil mereka sudah bersahabat. "Kamu mau minum? Atau, makan?"

Yayan berusaha tersenyum, meski pahit. Perih. Sakit. "Nggak, mbak."

"Oh, kamu mau apa? Istirahat aja ya?" Mbak Azka menepuk-nepuk lututnya tanda simpati. "Aku temani kamu. Besok, aku bisa minta izin nggak masuk sekolah. Lagian, besok kan nggak ada ulangan."

"Ibu mana, Mbak? Aku kangen ...," tanya Yayan lirih, dalam gulungan kerinduan. Kini, air matanya berjatuhan. Ibuuu, maafkan Yayan, Bu. Jerit hatinya. "Pasti Ibu nungguin aku ya, Mbak? Aku udah bilang kalo mau pulang cepet," imbuhnya sesenggukan.

Yayan tidak tahu, kalau Ibu sudah menghadap Sang Khaliq enam hari yang lalu. Beberapa saat setelah mendengar kabar kalau Yayan menjadi korban perkosaan di tanah kosong belakang sekolah. Yayan ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri, di atas tumpukan kardus bekas. Ibu langsung terkena serangan jantung dan meninggal dalam perjalanan dibawa ke rumah sakit. Warga sekitar yang membantunya, sangat prihatin dan ikut berduka cita atas besarnya musibah yang dialami Yayan dan Ibu.

"Udah, Yan. Kamu yang tenang ya? Istirahat yang cukup. Biar kamu cepet sembuh, terusnya pulang deh!" Mbak Azka mengalihkan perhatian Yayan. Ditekannya sekuat mungkin perasaannya untuk tidak menangis depan Yaya. Kata Dokter, Yayan tidak boleh terkena shocked attack lagi. Itu akan sangat membahayakan kesehatan jiwanya. Setelah tidak sadarkan diri selama berhari-hari, Yayan harus dijaga kondisinya agar stabil dan terhindar dari gangguan kejiwaan. Kata Dokter lagi, Yayan ini termasuk korban perkosaan yang kuat. Tidak mengalami trauma yang dapat membayakan keselamatannya.

"Tapi, Mbak. Aku pingin ketemu Ibu. Aku mau minta maaf. Aku, kau, aku ...," Yayan tergagap. Dadanya nyeri sekali teringat sikap dan ucapannya malam itu. Saaakiiit!

"Sssttt, Yayan. Udah, udah. Kamu yang tenang ya? Nanti aku antar kamu pulang. Oke?" Mbak Azka mengusap-usap pundaknya, berusaha membantunya untuk tenang.

Tangis Yayan kian meledak. Ia merasakan, ada sesuatu yang terjadi dengan Ibu. Entah apa! Tapi, sungguh, ia merasakannya. Sepertinya, Ibu dalam kesusahan yang besar. Apa itu karena aku? Ibuuu, maafkan Yayan, Buuu ...! Jerit hatinya. Kini, jiwanya meronta-ronta seiring dengan kian derasnya air matanya.

***

"Mbak Yayan, bagaimana keadaannya?" Dokter menyapa ramah. "Sudah lebih baik ya? Sudah bisa mandi, sudah bisa jalan-jalan. Makannya? Sudah enak ya?"

"Sudah, Dokter." Yayan menjawab antusias. Ia gembira sekali hari ini. Artinya, sebentar lagi, pasti Dokter mengizinkannya pulang. Dan artinya, ia akan segera bertemu Ibu. Ia berjanji, akan bersimpuh di kaki Ibu. Ia ingin memohon maaf atas semua kesalahan yang telah diperbuatnya selama ini. Ibu pasti senang!

"Baiklah. Bagus. Permisi ya, saya periksa dulu." Dokter meletakkan stetoskop di atas dada kiri Yayan. "Nanti, infusnya bisa dilepas. Tapi, makannya harus bagus ya? Biar cepat sehat. Cepat pulang." Dokter tersenyum simpul. Kini, diperiksanya tekanan darah Yayan. "Semua normal. Tekanan darahnya berapa, Sus? Sudah stabil?"

"110/70, Dok. Cenderung stabil." Suster menjawab dengan santun."

Dokter mengangguk-angguk mantap, kegembiraan tersirat dalam senyum lebarnya. "Oke. Kalau semua baik, besok pagi sudah boleh pulang. Tolong dijadwalkan check up-nya ya, Sus?"

"Baik, Dokter. Segera." Suster mencatat semua hasil pemeriksaan di buku rekam medis Yayan dengan cekatan.

Demi mendapati keadaan Yayan yang seperti ini, Mbak Azka benar-benar bahagia. "Terima kasih, Dokter. Suster," ucapnya santun. Gembira.

Dokter dan Suster mengangguk mantap dengan wajah gembira sebelum akhirnya meninggalkan Yayan dan Azka di ruang perawatan. Ruangan yang tak terasa telah mereka diami selama sebulan lebih. Ya, waktu memang begitu cepat berlalu. Itulah, dan kini, Mbak Azka tengah berjuang menyiapkan kata-kata yang tepat untuk memberitahu Yayan tentang Ibu. Sejujurnya, ia bingung. Bingung sekali.

***

"Assalamu'alaikum. Ibu, Yayan pulang, Bu." Yayan mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat. Tangannya meraih gagang pintu dan mendapatinya tidak dikunci, Yayan membukanya. Dengan bahagia, Yayan memanggil-manggil Ibu.

"Ibu, ini Yayan, Bu. Yayan pu ...," kalimatnya terputus. Kamar Ibu kosong. Ibu tidak ada di kamar? Ibu kemana? Bekerja? Oh iya, tadi itu warungnya tutup kan? Ibu?

Mbak Azka yang sedari tadi hanya bisa mengikutinya ke sana ke mari dalam diam, akhirnya tidak kuat lagi menahan semuanya. Seperti bendungan yang jebol, Mbak Azka menghentikan langkah Yayan dan mendekapnya dengan sangat erat. "Yaaan, udah, Yan! Udah!"

"Mbak? Ada apa, Mbak? Aku mau nyari Ibu. Aku kangen. Aku mau minta maaf, Mbak." Yayan bingung. Ia merasakan dadanya sesak. Sesak oleh dekapan Mbak Azka yang teramat kuat dan erat dan sesak oleh keadaan yang seolah mengatakan, "Ibu nggak ada di rumah."

"Yan. Enggg, kamu yang kuat ya? Kamu yang sabar ya? Ibu, Ibu ...," Mbak Azka gelagepan. Lidahnya kelu. Ia tak sanggup melanjutkan kata-katnya lagi. Batinnya menjerit-jerit sakit. Sebab, ia sangat mengerti, Yayan akan sangat terluka.

"Mbak? Ibu kenapa, Mbak? Ibu kenapa?" Yayan melepaskan diri dari pelukan Mbak Azka. Sebisa mungkin. Sekuat mungkin. Kini mereka saling menatap. Dalam. Masing-masing gemetar. Hati mereka bergetar. Hebat!

"Yan, Ibu sudah mendahului kita. Kamu yang tabah ya? Doakan Ibu, Yan ...," Mbak Azka menguatkan diri untuk mengatakannya. Meski suaranya parau, serak dan nyaris tak terdengar. Yayan bergeming. Kini, bukan sakit lagi. Bukan nyeri lagi. Ini ....

---#---

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Di Atas Pusara Ibu"

  1. Baca sekilas. Nyedihin banget ya, Kak? Hikz. Manda sih gak mau ngelawan Ummi.

    BalasHapus
  2. @Amanda,
    Anak Shalihah, tidak boleh menyakiti Ummi. Okeee, Manda? :) (y) :)

    BalasHapus