Suamimu Kekasih Hatiku

Bismillaah

Suamimu Kekasih Hatiku

A story by Sakura Sizuoka

Namira mendadak lemas. Darahnya terpompa dengan sangat cepat, hingga dadanya berbunyi DUG, DUG, DUG! Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Entah bagaimana wajahnya kini? Pucat pasi? Atau merah padam? Namira tidak tahu. Yang ia tahu hanya satu hal, jadi, ternyata yang selama ini diketahuinya sebagai Imam Cinta-nya Auniqa itu Kak Firdaus? Ya, Kak Firdaus! Seseorang yang hingga detik ini mengisi hatinya dengan setia. Sangat dicintainya. Menguasai istana kasih sayang dalam hatinya. Bertahta di atas singgsana cinta yang begitu megah di bangunnya dalam jiwa. Namira menelan ludah. Pahit. Sepahit kenyataan yang kini tergelar di hadapannya. Sakit!

"Ra, kamu ndak pa-apa, kan?" Suara Auniqa mengejutkannya. Namira geragapan. Dipaksakannya tersenyum. Senyum nyeri yang tipis. Tipis sekali. Setipis hatinya yang setelah terrajang oleh pisau tajam bernama kenyataan. "Kok kamu pucet banget, Ra?" Imbuh Auniqa penuh perhatian. Namira mati suri! Sungguh, ia hanya bisa menunduk. Tak sanggup sedikit pun mengangkat wajahnya. Kak Firdaus ...? Mengapa begitu kejamnya diri Kakak? Mengapa Kakak begitu tega melalukan semua ini, Kak? Mengapa Kakak tidak berbicara sama Namira, waktu itu? Mengapa Kakak meninggalkan Namira begitu saja dan sekarang, setelah tujuh tahun berlalu, Kakak sudah menikah sama Auniqa? Tanpa sepatah kata pun untuk Namira? Kakak tahu? Selama ini, Namira menunggu Kakak dan satu hal lagi Kak, Auniqa itu sahabat dekat Namira, Kak. Ini, menyakitkan. Mematikan.

Hati Namira terus meracau. Tak bisa dihentikannya. Meracau yang menyekap jiwanya dalam ruang gelap bernama remuk hati! Mirip seperti dirinya saat sedang demam tinggi. Sekuat tenaga, diangkatnya wajah ayunya dan kini bibirnya bergetar. "Enggg, aku, aku nggak pa-pa kok, A. Aku, hanya kurang tidur aja. Semalam aku lembur ngerjain tesis," tuturnya lirih. Nyaris tak terdengar. Auniqa terlihat panik. Diusapnya perut buncitnya sembari mengangsurkan segelas air putih untuk Namira. "Kamu minum dulu, Ra. Duuuh, sori ya? Aku ndak tahu kalo kamu lagi capek banget gini. Tahu gitu, kita ketemuannya bisa lain kali. Iya kan, Mas?" Auniqa meminta pendapat Kak Firdaus yang duduk bergeming di sebelahnya. Kak Firdaus mengangguk sambil tersenyum. Senyum seorang pecundang!

Ya, Kak Firdaus mendadak gamang. Diam-diam, merutuki kebodohan dan kesalahan besar yang telah dilakukannya pada Namira. Ya, Namira. Gadis ayu yang dulu pernah mengisi hari-harinya sepenuh cinta. Gadis cerdas yang dulu membuat dirinya jatuh cinta setengah mati. Gadis lugu dan baik hati yang dulu ingin dinikahinya segera setelah lulus SMA. Ya, menikah. Karena Namira itu sosok idaman hatinya. Ah! Andai saja, tidak ada pepatah bobot, bibit dan bebet bagi orang Jawa. Pastilah saat ini yang menjadi isterinya itu Namira. Bukan Auniqa. Astaghfirullaahaladhiim. Yaa Allaah. Mikir apa sih aku? Kenyataannya, yang menjadi isteriku itu Auniqa. Bukan Namira. Dan bukan salahku juga kalau aku meninggalkan Namira. Orang tuanya nggak menyetujui hubungan kami. Mereka bahkan mengancamku ... Dan, andai Auniqa nggak hamil. Mungkin, aku masih sendiri sekarang ini. Dan, walaupun mungkin aku nggak bisa menikahi Namira, setidaknya aku nggak menyakitinya seperti ini. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!

"Mas?" Auniqa menyikutnya gemas. "Kok diem aja?"

"Eh. Iya, Dik." Hanya itu yang sanggup diucapkan Kak Firdaus. Hanya itu. Sebab, kini hatinya tengah bergulat. Antara cinta jujur dan tulus yang sampai detik ini masih bersemayam dalam hatinya untuk Namira dan fakta. Fakta, Auniqa lah yang kini telah halal menjadi isterinya. Fakta itu jualah yang mampu membuatnya berdiri tegar, "Kamu ndak usah maksain diri gitu, Ra. Santai aja kan? Kita bisa ketemuan lain kali. Kalau kami ke Yogya lagi. Atau kamu sering ke Jakarta kan? Boleh lho mampir ...," Kak Firdaus jengah! Jengah pada dirinya sendiri. Sejak kapan ia menjadi manusia munafik seperti ini? Sejak kapan? Padahal, jauh di lubuk hatinya, cinta itu masih menggebu-gebu.

Senyap! Namira bergeming dalam sakitnya. Sungguh, ingin sekali ia menangis. Menjerit. Berlari. Atau mati sekalian, agar tidak lagi bisa menatap Kak Firdaus. Tak bisa lagi menatap Auniqa. Tak bisa lagi melihat kebahagiaan mereka yang terbangun di atas luka hatinya yang kini semakin menganga. Berdarah-darah! "Sori, A. Kak. Kayaknya aku harus pulang deh. Ada tamu mendadak. Aku, aku, turut berbahagia atas pernikahan kalian. Aku juga ikut senang, sebentar lagi akan lahir buah hati kalian. Aku pamit, A. Sori." Namira bangkit dari tempat duduknya dan kini, tak ada pilihan lain di hatinya, kecuali pulang. Ditatapnya wajah Auniqa yang terlihat penuh dengan tanya. Kecewa. Atau apalah artinya, mata sayu yang menatapnya penuh sayang itu. Dahinya berkerut, seolah ingin tahu apa yang tengah terjadi padanya. "Beneran, A. Aku harus pulang. Sori ya? Aku telpon kamu kapan-kapan. Assalamu'alaykum," Namira berjalan cepat. Keluar. Meninggalkan Auniqa dan kak Firdaus yang hanya sempat didengarnya menjawab salamnya dengan nada kaku. Selamat tinggal, Waroeng Steak and Shake! Selamat tinggal, Kak Firdaus. Selamat tinggal, Auniqa! Selamat tinggal masa lalu ....

***

Namira menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang. Malioboro sudah agak sepi. Diputarnya lagu-lagu favoritnya. Pelarian. Ia melarikan diri dari kenyataan dengan menghanyutkan diri ke dalam syair-syair melow kesayangannya.

Someone like you-nya Adele, How Can I Not Love You-nya Joy Enriquez, Falling In To You-nya Celline Dion, Because Of You-nya Kelly Clarkson ....

Namira hanyut dan semakin hanyut. Kandas. Tak urung, air matanya pun mengalir deras. Melinang. Membanjiri hatinya yang kian terluka.

Bayangan Kak Firdaus di masa lalunya bermunculan di benaknya. Menari-nari lembut dan indah. Senyum manisnya. Sorot mata teduhnya. Cara menatapnya yang dalam dan tulus. Lembut. Namira semakin sakit. Hantinya porak poranda. Terlebih, saat bayangan mereka berdua muncul bersamaan.

Sore itu, sepulang dari sekolah, Kak Firdaus sudah menunggunya di depan pintu gerbang. Kak Firdaus sudah berjanji akan mengajaknya bermain di Taman Sari.

"Kak? Sudah lama ya?" Namira menghampirinya dengan wajah berbinar. Kak Firdaus tersenyum manis. Memikat. Menyihir hati Namira seutuhnya.

"Belum kok. Naik gih!" Kak Firdaus memintanya naik ke boncengan. Tanpa menunggu detik berlalu, Namira melakukannya dengan riang gembira.

"Okeee, Kak. Jadi, kita ke Taman Sari kan?" Namira membenarkan letak kerudungnya yang riuh menari-nari bersama angin.

"Iya, Namira Sayang. Kan, Kakak sudah janji. Lagian, apa sih yang nggak buat Namira?" Kak Firdaus mulai mengayuh sepedanya. Sepeda Jengki kesayangan.

"Hehe. Makaaasiiih, Kak. Namiraaa baaahaaagiiiaaa," Namira mencubit gemas pinggang Kak Firdaus. Tawa pun berderai di antara mereka. Tawa yang melukiskan bahagia pada wajah cinta. Seberseri wajah Kota Yogyakarta.

Kak Firdaus mengayuh sepeda dengan sepenuh cinta. Bahagia. Begitu pun dengan Namira. Sungguh, rasanya tidak pernah ingin waktu itu berakhir. Tidak pernah ingin sore digantikan malam. Tidak pernah ingin matahari terbenam. Ia, ingin sore itu tergelar ribuan tahun lamanya, agar ia bisa berbahagia bersama Kak Firdaus. Menyusuri lorong-lorong, mengelilingi Benteng Air, melihat sunset. Berdua. Bergandengan tangan. Sepenuh cinta.

Mendadak HP-nya merdu mengalunkan Automn Leaves, lagu kesayangannya. Namira mengusap air matanya. Dilihatnya layar HP. Nomor tak dikenal. Sejenak, Namira ragu, mau diangkat atau tidak? Kalau dilihat dari nomernya sih dari luar Yogyakarta. Siapa? Ada apa? Semalam ini menelepon?

Namira menepi. Menghentikan mobilnya di depan Benteng Vrederburg. Diangkatnya juga akhirnya. Takutnya ada yang penting.

"Namira. Kakak minta maaf. Sejujurnya, sampai kapan pun cinta Kakak hanya untuk Namira. Demi Allaah. Kakak menikahi Auniqa hanya karena terpaksa. Auniqa hamil sama pacarnya dan pacarnya itu nggak mau tanggung jawab. Akhirnya, atas dasar kemanusiaan, Kakak menikahinya. Percayalah sama Kakak. Kakak hanya mencintaimu ... Namira ...," klek! Sambungan terputus. Namira bergeming. Dadanya sakit sekali. Remuk. Terserpih lembut. Aaapaaa? Apaaa yang baru saja terjadi? Apa yang baru saja didengarnya? Nyata kah itu? Oooh, cinta ...! Mengapa kau begitu rumiiiit? Mengapa kau menggilingku hingga seremuk ini?

---#---

Hikmah: Say no to pacaran, agar cinta yang kita dapatkan adalah cinta yang halal dan diridhai Allaah. Bukan cinta semu yang mengancurkan .... :)

Postingan terkait:

4 Tanggapan untuk "Suamimu Kekasih Hatiku"

  1. wah bgus

    dtunggu kunbalnya akhi :)

    BalasHapus
  2. @nazjry,
    Thaaanks,

    In syaa Allaah


    Sakura ini akhwat, Kak

    Jadinya ukhti bukan akhi:)

    BalasHapus
  3. Nyos banget, Ra. I like it:)

    BalasHapus
  4. BLOG DWI PURWANTO MWB27 November 2015 pukul 15.19

    DOWNLOAD POP INDO FULL ALBUM | INDIE BAND | DANGDUT | LAGU INDIA | MELAYU | BARAT | KOPLO ORKESAN

    BalasHapus