Pengakuan Hati Kak Arsya

Bismillaah

Pengakuan Hati Kak Arsya

A story by Sakura Sizuoka

Kak Arsya baru saja pulang kerja. Sudah jam satu dini hari. Beginilah pekerjaan sehari-hari Kak Arsya. Setelah pulang kuliah, Kak Arsya langsung berkerja di Warnet Azmi sampai jam dua belas malam. Dibutuhkan satu jam perjalanan untuk sampai di rumah. Kak Arsya tersenyum simpul sembari memasukkan sepeda ontel kesayangannya ke garasi. Lelah yang tadi bergelayut, lenyap seketika. Terutama, setelah sikat gigi dan mengambil air wudhu. Terasa kedamaian merambati jiwa daan raganya.

Abah dan Mama sudah tidur. Begitu juga dengan Salwa dan Hafsa. Kedua adiknya yang masih kecil-kecil itu terlihat damai dalam tidurnya. Salwa, berumur delapan tahun dan sudah kelas tiga SD. Sedangkan Hafsa, baru berumur tiga tahun. Rambut keriwilnya terlihat lucu menutupi sebagian wajahnya. Kak Arsya menghela napas panjang. Syukur dan bahagia memenuhi hatinya. Alhamdulillaah, meski hanya bertemu pada saat tidur seperti ini dan saat bangun tidur setiap pagi, itu sungguh membahagiakan hatinya.

Jauh di lubuk hatinya, Kak Arsya bertekad untuk segera menyelesaikan kulianya. Ya, meski harus berjuang mati-matian untuk bisa meraih gelar sarjana, namun Kak Arysa tidak pernah surut asa. Ia yakin, Allaah senantiasa menjaganya dan memudahkan setiap langkah dan perjuangannya.

Kak Arsya membetulkan letak selimut Salwa sebelum akhirnya masuk ke kamarnya yang terletak di depan kamar Salwa dan Hafsa. Diliriknya sekilas kamar Kak Marwah yang pintunya tertutup rapat. Anak kuncinya tergantung bersama gantungan kunci kelinci kesayangan Kak Marwah. Sekarang, kamar itu kosong. Tidak ada yang menempati lagi. Sejak menikah beberapa bulan yang lalu, Kak Marwah tinggal bersama Kak Hazmi. Ya, begitulah selayaknya bagi wanita yang telah menikah. Mengikut dan berbakti kepada suaminya adalaah fitrah. Sunnatullaah.

Kak Arsya merebahkan tubuh lelahnya di ranjang. Kantuk telah hilang dengan sempurna.

"Jam setengah dua? Apa sebaiknya aku shalat saja ya? Tanggung mau tidur," bisiknya sambil menyalakan HP. Tujuannya untuk memastikan alarm alert-nya on. Jadi, bisa bangun tepat pada waktunya. Artinya, waktu shalat malam. Kak Arysa biasa men-setting-nya di angka 2:30 AM.

Betapa terkejutnya Kak Arsya, ketika HP telah dinyalakan dan mejadi aktif kembali. Begitu banyak PM masuk. Di WA juga banyak pesan. Siapa ya? Ada apa? Biasanya HP ini sunyi. Batin Kak Arsya dengan hati berdebar-debar. Entahlah! Kak Arsya merasa ada peristiwa besar yang telaah terjadi.

Tiba-tiba, bayangan wajahnya muncul dengan sempurna di benaknya. Wajah ayu, sederhana dan bersahaja yang pernah memesona jiwanya. Senyum indah yang merekah di wajah ayu itu pun melengkung-lengkung bak pelangi selepas gerimis saat senja. Kak Asrya memejamkan mata, sekuat mungkin mengusir bayangan itu. Ia, tidak mau mengingatnya lagi.

Bukan karena bayangan itu bersalah kepadanya. Bukan! Tetapi, bayangan itu adalah milik seorang akhwat shalihah yang tidak mampu direngkuhnya. Akhwat shalihah yang telah membuatnya remuk hati karena telah menolak pernyataan cintanya. Ya. Begitulah.

Kak Arysa menghela napas panjang. Perlahan, dibukanya matanya yang terasa perih. Keringat dingin mengalir dari keningnya. Dingin. Satu pesan dibacanya dan cukup mewakili puluhan pesan yang lain, sebenarnya, karena semua pesan yang masuk di HP-nya memberinya berita yang sama.

Utswah telah menghadap Rabb.

Innalillaahi wainna ilaihi raaji'uun.

Kak Arysa ingin menjerit sekeras-kerasnya, hingga suaranya menembus langit. Hingga semua duka yang mendera menguap bersama udara malam yang dingin menusuk tulang. Hingga semua rasa remuknya sirna bersama desir angin yang menyemilirkan nada-nada hiburan baginya. Ingin sekali Kak Arsya menjerit memanggili namanya, "Uuutswaaah ...!"

Namun, Kak Arsya tak kuasa. Tubuhnya lunglai. Jiwanya mengembara. Jauh. Jauh sekali, menuju masa silam. Masa silamnya bersama Utswah. Meskipun tidak bisa dikatakan bahw mereka telah menjalin cinta. Sebab, dalam hidupnya, tetap tidak ada toleransi untuk yang namanya pacaran. Senyum tipis Utswah terasa benar-benar mengiris-iris hatinya. Setipis keripik kentang!

"Utswah, mengapa secepat ini kamu pergi? Mengapa, Utswah? Bahkan, Kakak belum sempat meminta maaf padamu ...," tanyanya lirih, di sela-sela isak tangisnya.

***

Empat puluh hari sudah, Utswah menghadap Rabb. Media sosial pun sudah tidak begitu gencar memberitakannya. Begitulah kehidupan, silih berganti. Datang dan pergi. Tidak ada sesuatu pun yang abadi. Usai berita yang ini, akan hadir berita yang itu. Usai berita yang itu, akan hadir berita yang ini. Begitu seterusnya. Seperti poros yang terus berputar.

Namun, tidak seperti itu yang terjadi pada Kak Arysa. Jauh di lubuk hatinya, bertumbuh pohon penyesalan yang kekar dan tinggi menjulang. Penyesalan, akan kejahatan yang telah diperbuatnya terhadap Utswah. Dulu. Semasa hidupnya. Kini, pohon itu mendesak ubun-ubunnya. Menjebol setiap sel darah yang ada dalam tubuhnya. Penyesalan memaksa dirinya untuk mengakui semua kesalahannya itu.

Arsya bergeming di depan cermin. Memandangi dirinya yang kini kurus sekali. Pipinya tirus, bibirnya kering dan pucat. Jujur, semenjak Utswah meninggal, Kak Arsya kehilangan selera makannya. Kini, pandangannya terpusat pada sorot matanya. Ditatapnya mata itu, hingga tubuhnya bergetar sempurna. Getaran penyesalan, kebencian dan kemarahan yang menggelegak dalam jiwanya.

###

Utswah

###

Iya, Kak Arsya

###

Ada yang ingin Kakak sampaikan

###

Iya kah? Tafadhal, Kak

###

Jadi, begini, Utswah. Tapi, sebelumnya Kakak mohon maaf

###

Iya, Kak. In syaa Allaah

###

Jika Utswah berkenan, Kakak ingin Utswah menjadi Pasangan Jiwa Kakak

Kakak akan menunggu sampi Utswah selesai sekolah

Kakak tunggu

###

Afwan, Kak

###

Utswah menolak Kakak?

Kenapa?

Kurang apa Kakak?

###

Ummm, Utswah ... Tidak ingin bermaksiat kepada Rabb

###

Utswah, dengarkan Kakak

Kita tidak berpacaran

Ta'aruf

Bagaimana?

###

Afwan, Kak Asrya

Utswah tidak bisa

Salam ukhuwah

###

Menyesal Kakak mengatakan semuaa ini, Utswah!

Mata Kak Arsya perih. Sembab. Chatting-nya bersama Utswah masih jelas terbayang dalam benaknya.

Utswah

Utswah

Utswah

Benar-benar sempurna memenuhi benaknya. Kali ini, Kak Arsya tidak lagi sanggup untuk berdiri. Kak Arsya menyandarkan dirinya di dinding kamar. Akhirnya, karena semakin lunglai, Kak Arsya terduduk di lantai. Hampa. Hancur. Remuk.

"Maafkan Kakak, Utswah. Maafkan Kakak. Sebenarnya, semua pelaku intrik itu Kakak. Kakak sakit hati sama kamu. Remuk hati Kakak. Padahal, sebenarnya Kakak sangat mencintaimu. Entahlah, Utswah. Mengapa cinta bisa membuat Kakak gelap mata. Mengapa cinta bisa membuat hati Kakak menjajdi busuk! Bahkan, Kakak telah tega hati memfitnahmu. Menghasut semua orang untuk mengucilkanmu! Aaah, manusia macam apa Kakak ini, Utswah? Manusia macam apa ...?" Bisikya lirih, pada bayangan Utswah yang menari-nari anggun di benaknya. Air mata berderai tanpa jeda. Air mata duka dan penyelasan.

Kak Arsya terkesiap. Seseorang menepuk bahunya. Keras.

"Arsya? Jadi, selama ini Utswah nggak bersalah? Kamu sudah memfitnahnya? Astaghfirullaahaladhiim. Apa yang ada dalam hati kamu, Arsya? Apa?"

Plaaakkk!!!

Satu tamparan yang keras dan kuat mendarat di pipi Kak Arsya, membuatnya meringis kesakitan. Kak Marwan mencengkeram kerah baju Kak Arsya dan mengtakan, "Utswah sudah meninggal dan kamu harus bertanggung jawab atas kejahatan yang sudah kamu perbuat, Arsya! Bertanggung jawab di hadapan Allaah dan keluarganya!" Geram Kak Marwan melepaskan cengkeramannya dan pergi, meninggalkan Kak Arsya yang hatinya semakin terserpih.

***

Wall di akun facabook-nya dipenuhi ratusan hujatan dari teman-teman. Bully yang sangat menyakitkan dan kecaman-kecaman yang mencekam. Kak Arsya termangu di depan layar laptop-nya. Air mata mengaliri wajahnya. Hangat.

Hatinya berbisik lirih, biarlah, biarlah, ini adalah hasil kejahatan yang telah kuperbuat.

Ditatapnya sekali lagi layar laptop-nya. Satu lagi kiriman. Arsya terkesiap. Ini berbeda. Nadanya ramah dan sopan. Siapa?

Bismillaah

Kami keluarga almarhumah Utswah, dengan ini menyatakan, kami ikhlas dan kami maafkan semua kejahatan Anda. Semoga menjadi amal jariyah bagi almarhumah.

Hanyaa perlu kami tegaskan:

Utswatun Hasanah, tidak seperti yang Anda fitnahkan. Alhamrhumah tidak pernah berbuat dusta dan nista!

Alhamdulillaah

Kak Arsya semakin lunglai. Matanya kian panas. Air matanya kian deras ....

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pengakuan Hati Kak Arsya"

Posting Komentar