Karena Aku Memahami Cinta Kalian

Bismillaah

Karena Aku Memahami Cinta Kalian

A story by Sakura Sizuoka

Siapa yang sanggup menentang takdir Allaah? Siapa pula yang sanggup melakukan penolakan, perlawanan atau apa saja terhadap kehendak-Nya? Tidak ada! Tidak sesuatu pun. Tidak seorang pun. Takdir Allaah mutlak adanya. Sedangkan manusia, hanya harus bisa menerima, menghadapi dan menjalani semua yang telah menjadi kehendak, pilihan dan keputusan Allaah dengan ikhlas dan lapang dada. Karena, semua itu adalah yang terbaik untuknya. Ya, Allaah Paham semua yang terbaik bagi hamba-Nya. Termasuk aku.

Kiranya inilah kesimpulan yang kini membongkah di hati Aorta. Dimana, bongkahan itu telah berhasil meneguhkan hatinya pada status barunya yang baru sebelas hari disandangnya. Takdir Allaah, bahwa kemudian ia menjadi wanita shalihah kedua dalam Bahtera Surga Ustadz Daffi. Sejujurnya, yang menjadi pertimbangan Aorta saat itu hanya satu, menggapai ridha Allaah. Menjadi wanita shalihah bagi Ustadz Daffi sekaligus menjadi madu yang ridha berbagi cinta dan kasih sayang bersama Ustadzah Yasmin. Ya, pada akhirnya, Aorta hanya mengaharapkan ridha Allaah semata. Jika dengan menjadi wanita shalihah kedua Ustadz Daffi dan menjadi madu yang baik untuk Ustadzah Yasmin adalah jalan menuju ridha Allaah, mengapa tidak? See, so far so good. Dan semoga Allaah selalu menjaga. Aamiin.

Sore itu, Aorta baru saja pulang sekolah. Kelelahan nampak menggelayuti wajahnya. Wajah ayunya itu kini tampak sedikit pucat dan berkeringat. Aorta memasukkan Maroon, motor kesayangannya di garasi. Setelah suara mesin Maroon off, samar-samar didengarnya obrolan dari ruang tamu. Ayah, Bunda dan suara ikhwan yang sepertinya tidak asing ditelinganya.

Siapa?

Ada apa?

Sepertinya serius sekali?

Perlahan, Aorta meninggalkan garasi dan betapa tercekat hatinya. Baru disadarinya satu hal, itu, yang parkir di bawah pohon matoa itu mobilnya Ustadz Daffi. Ustadz Daffi? Ada apa ya? Apa aku masih belum benar mengerjakan PR menulis Arab-nya? Oooh, mungkin di kalimat terakhir itu. Kemarin, aku agak tergesa. Tapi, mengapa harus ke rumah? Apa tidak berlebihan? Dan, oh, ya. Itu suara Ustadzah Yasmin? Benar kah? Ada apakah?

Hatinya resah. Aorta menggigit bibirnya keras-keras. Terbayang kedua wajah shalih-shalihah itu lekat di benaknya. Ustadz Daffi dan Ustdzah Yasmin. Tiba-tiba, jauh di lubuk hati terdalamnya muncul keinginan kuat untuk menikah. Menikah? Buahaha. Bahkan, ia masih harus menyelesaikan sekolahnya. Baru semester lima dan akan memerlukan perjuangan ekstra untuk menuju garis finish. Segera ditepisnya keinginan naif itu. Tapi, siapa juga yang tidak ingin memiliki rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah dan baarakah seperti rumah tangga Ustdadz Daffi dan Ustadzah Yasmin? Tentu semua ingin. Termasuk aku.

"Aorta, sudah pulang?" Suara Bunda mengejutkannya. "Kok bengong di situ? Sini, masuk sini. Ada Ustadz Daffi dan Ustadzah Yasmin," tambah Bunda tambah mengejutkannya. Jadi benar? Eh, maksudku yang bertamu itu Ustadz Daffi dan Ustadzah Yasmin. Ada apa? Tanya di hati Aorta semakin membesar.

"I, iya, Bunda," ucapnya gugup dan lirih. Lalu, berjalan menuju ruang tamu dengan jantung yang berdebur. Sejujurnya, ia selalu begitu. Setiap kali bertemu atau berada di dekat Ustadz Daffi. Tidak tahu mengapa. Mungkin, karena Beliau salah seorang idolanya di Rumah Tahfidz. Entahlah!

***

Malam ini, Aorta tidur sama Bunda. Kedatangan Ustadz Daffi dan Ustadzah Yasmin tadi sore, cukup memporak porandakan hatinya. Jiwanya dan raganya. Semuanya. Di satu sisi, Aorta ingin menikah muda. Ini, cita-citanya sejak dulu. Di sisi yang lain, sebenarnya ia tidak ingin menjadi wanita kedua. Bukan karena kisah-kisah yang pernah di dengarnya tentang menjadi madu selama ini, namun sanggup kah ia menjadi wanita shalihah dan madu yang ridha berbagi cinta dan kasih sayang? Itu masalah utamanya.

Jangan ditanya soal cinta. Sebab, hati ini milik Allaah. Jika Allaah telah menamamkannya dalam hati seorang hamba, maka tidak akan ada yang bisa mencerabut akarnya. Ia akan terus tumbuh, berkembang berbuah. Ya, begitulah. Cinta yang halal di hadapan Allaah.

"Bunda," bisiknya lirih, setelah menutupkan selimut sampai ke lehernya.

"Aorta," Bunda menimpali dengan lirih dan lembut. "Jadi, bagaimana? Ayah dan Bunda mempercayaimu. Kamu bisa mengambil keputusan yang tepat. Yang terbaik. Untukmu," Bunda tersendat. Air mata berdesakan keluar dari pelupuknya. Namun, ditahannya sekuat tenaga. Janganlah aku menangis di depan Aorta. Beban di hatinya sudah cukup berat, batinnya.

"Emmm," Aorta mendekap erat gulingnya. "Aorta ...," hanya itu yang sanggup diucapkannya. Selebihnya, hanya air mata yang berbicara.

"Jangan paksakan hatimu, Aorta. Jangan kamu menerima khitbah Ustadz Daffi hanya karena kamu sungkan! Itu tidak baik. Ayah tidak ingin kamu menyesal," Ayah yang baru saja masuk ke kamar menimpali. Ayah duduk di tepian ranjang. Bunda keluar dari selimut dan duduk di samping Aorta.

"Bunda juga tidak ingin kamu bersedih, Aorta. Masih ada waktu untuk memberikan jawaban kepada Ustadz Daffi. Ayah dan Bunda bisa silaturrahim dan menyampaikan apa pun yang menjadi keputusanmu," Bunda mengusap lembut pipi Aorta yang basah oleh linangan air mata. "Sudah, jangan nangis. Kita ada Allaah, kan? Kita mohon petunjuk-Nya," Bunda menambahkan. Itulah Bunda, wanita berhati mulia dan tegar. Sabar dan bijak dalam menghadapi setiap permasalahn yang ada.

"Ya, Ayah setuju sama Bunda. Kita mohon petunjuk Allaah. Semoga Allaah memberikan keputusan yang terbaik," ucap Ayah mantap.

"Aamiin," jawab Aorta dan Bunda hampir bersamaan.

Sunyi, setelah itu. Hanya desir angin malam dan rintik gerimis yang menghiasi. Suasana syahdu itu, memelukkan romansa di hati Aorta. Allaah, pilihkan keputusan terbaik untukku.

***

"Mereka sudah datang," bisik Bunda sembari membenarkan letaak kerudung Aorta. "Cantik. Anggun," bisik Bunda lagi dengan wajah berbinar. "Pengantin teranggun yang pernah Bunda lihat," tambah Bunda lagi, kali ini dengan keharuan menyeruak ke dalam dadanya. Sebentar lagi, Aorta akan menjadi "milik" Ustadz Daffi.

"Bunda, Aorta mohon restu. Ayah, Aorta mohon restu. Aorta mohon maaf ...," Aorta tersendat. Tak sanggup melanjutkan kata-katnya.

Ayah berdeham, mengusir air mata yang nyaris menetes. "Aorta, Ayah merestuimu. Tak perlu mohon maaf, Aorta. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Jadilah istri yang shalihah. Kelak, jadilah ibu yang pandai mendidik anak-anak kalian," Ayah mengecup kening Aorta. Tak urung, air mata pun tumpah.

"Aorta, maafkan Bunda, Sayang. Semoga Allaah meridhaimu," Bunda memeluk Aorta dan kini keduanya hanya bisa berlinang air mata. Air mata haru dan bahagia.

***

Ruangan menjadi senyap. Semua orang bergeming dalam gelombang haru dan bahagia. Baru saja, Ustadz Daffi menunaikan aqad nikah. Alhamdulillaah, Allaah memudahkan. Semua berjalan lancar.

Ustadzah Yasmin yang duduk dibelakangnya pun sontak bersujud penuh syukur. Alhamdulillaah. Yaa Rabb ridhailah kami. Jadikanlah kami keluarga sakinah mawaddah warrahmah baarakah. Amanahkanlah kepada kami, keturunan yang shalih dan shalihah, Rabb. Jika aku harus menimang anak cinta Mas Daffi dan Aorta, aku ikhlas. Meskipun tidak terlahir dari rahimku, aku berjanji, tetap akan menerima dan mencintai mereka seperti anak-anak yang terlahir dari rahimku. Sebab, mereka akan Engkau lahirkan dari rahim hatiku. Aku yakin, Rabb, Aorta wanita shalihah. Ia, akan menjadi madarasah bagi keturunan Mas Daffi. Aamiin.

Aorta mengemasi air matanya. Diciumnya punggung tangan Ustadz Daffi dengan sepenuh bakti dan cinta. Ustadz Daffi mengecupkan ridha dan cinta di keningnya. Sungguh, peristiwa indah yang membahagiakan. Mengharukan setiap pasang mata yang menyaksikannya. Masya Allaah.

"Ustadzah," Aorta merangkul Ustadzah Yasmin. Sesaat mereka berpelukan erat dan hanyut dalam suasana sakral itu.

"Panggil Mbak Yasmin, ya? Sekarang bukan Ustadzah lagi. Sebab, kita sama-sama menjadi wanita shalihahnya Mas Daffi," ucap Ustadzah Yasmin. Terdengar begitu bahagia.

"Baik, Ustadzah. Emmm, Mbak Yasmin." Hanya itu yang sanggup diucapkan Aorta. Bismillaah, bisik hatinya. Sementara Ustadz Daffi mendekat dan merangkul mereka bersamaan. Sontak, semua yang hadir semakin hanyut dalam keharuan. Kebahagiaan.

***

"Aorta, kamu nggak makan?" Ustadzah Yasmin mendekatinya yang sedang mengerjakan tugas Mata Kuliah Sastra Moderen. Derit kursi rodanya menyentuhkan sesuatu yang berbeda. Belas kasih. Ya, Aorta sangat menyayangi Ustadzah Yasmin. Bahkan, rasa sayang itu muncul dan tumbuh semenjak mengenal Beliau di Rumah Tahfidz. Aorta senang sekali menyetor hafalannya kepada Ustadzah Yasmin. Kedekatan pun mulai terjalin setelah enam bulan Aorta belajar menghafal Al-Qur'an di sana. Ustadzah Yasmin sangat menyayanginya. Kerap kali, memberikan kado untuknya. Buku, novel, kerudung, dan masih banyak lagi.

"Aorta?" Ustadzah semakin mendekat dan Aorta terkejut. Oh, rupanya dia melamun.

"Ya, Ust eh Mbak?" Aorta gugup sembari mengemasi buku-bukunya.

"Kamu nggak makan? Sudah jam dua, kamu nggak lapar?" Ustadzah tersenyum manis. Penuh kasih.

"Oh, sebentar, Mbak. Aorta menyelesaikan ini dulu," ujarnya santun. "Tapi, sudah selesai kok, Mbak. Tinggal diperiksa lagi nanti," tambahnya dengan tetap santun. "Mbak mau Aorta buatkan the manis?"

"Oh, udah selesai? Alhamdulillaah. Nggak Aorta, Mbak sudah minum tadi. Sekalian menemani Mas Daffi makan siang," Ustadzah Yasmin membenarkan letak kerah gamis Aorta. "Kamu cantik," bisiknya.

"Ma syaa Allaah," Aorta menunduk malu. "Mbak juga cantik,"

"Ah, Aorta! Mbak sudah tua,"

"Tapi, Mbak semakin cantik. Ma syaa Allaah,"

"Ah, Aorta! Kamu pandai sekali menyenangkan hati Mbak." Ustadzah Yasmin mencubit lembut pipinya.

Tiba-tiba, Aorta merasa perutnya diaduk-aduk. Entahlah! Kepalanya pusing dan rasanya mual sekali. Kontan, dipejamkannya mata indahnya dan sekian detik kemudian, Aorta muntah-muntah. Ustadzah menjadi panik dan segera menghubugi Ustadz Daffi yang sedang mengajar di Rumah Tahfidz.

"Mas, cepat pulang, Mas ... Aorta sakit, Mas ... Muntah-muntah ... Hati-hati, Mas ...," suara Ustadzah gemetar. Ia, sama sekali tidak menginginkan hal buruk terjadi pada Aorta. Yaa Allaah, lindungilah Aorta. Aku menyanyanginya. Pinta hatinya. Tulus.

***

Ustadzah Yasmin masih sesenggukan di sofa. Kebahagiaan, keharuan dan perasaan yang entah bergumul di benaknya. Ustadz Daffi dan Aorta membantunya untuk tenang. Aorta mengangsurkan mug berisi the panas kepadanya. Dengan gemetar, diterimanya mug itu dan menyeruput isinya dengan hati yang bergemuruh.

"Diminum, Sayang. Tenang ya? Allaah menenangkanmu," Ustadz Daffi mengusap punggungnya lembut. "Alhamdulillaah, Allaah Maha Baik," tambahnya dengan suara bergetar. Dibantunya Ustadzah Yasmin memegangi mugnya. Terkadang, kalau sudah terlalu lelah, Ustadzah Yasmin tidak bisa memegang sesuatu dengan kuat. Termasuk mug.

"Mas, maafkan aku, Mas," Ustadzah terbata.

"Lho? Kenapa minta maaf, Sayang. Nggak salah kok," Ustadz Daffi meletakkan mug di atas meja. Memandangi wajah Ustadzah Yasmin dengan sorot mata teduhnya yang khas. "Sayang yang tenang ya? Kehamilan Aorta memang anugerah yang teramat indah. Namun, bukan berarti, selama ini Sayang salah. Semua ini sudah berada dalam genggaman kekuasaan Allaah. Bahkan, sejak Allaah menciptakan kita,"

"Iya, Mas. Tapi ...,"

"I love you, Fillaah," Ustadz Daffi mengecup kening Ustadzah Yasmin, sekali lagi dan lagi. Hingga tiada lagi air mata bergulir di pipinya.

Aorta yang sedang sensitif karena hormon kehamilannya sedang tinggi-tingginya, tiba-tiba cemburu. Kecemburuan itu mengaduk-aduk sesisi batinnya. Kepalanya menjadi bertambah pusing dan perutnya mual tak tertahankan. Akhirnya, Aorta hanya bisa setengah berlari ke kamar mandi. Di sana, bukan saja muntah, air matanya luruh. Luruh dalam rasa cemburu yang berkecamuk! Padahal, selama tiga bulan bersama, ia selalu sukses memenej rasa cemburu. Entahlah! Kali ini, semua terasa membludak!

"Mas, susul Aorta, Mas. Maafkan aku, Mas. Jadi menyita perhatian Mas." Ucap Ustadzah Yasmin parau.

"Iya, Sayang. Sayang baik-baik ya? I love you, Fillaah. Forever." Ustadzah Daffi membisikkan ungkapan cinta itu mesra dan setelahnya, bergegas menyusul Aorta ke kamar mandi. Hatinya terasa plaaasss! Sebab, didengarnya Aorta menangis terisak-isak di sana. Di antara suara muntah-muntah dan batuk-batuk. Yaa Rabb, ampunilah hamba-Mu ini. Sungguh, hamba memohon kekuatan dan bimbingan-Mu, Rabb. Untuk selalu bisa berlaku adil. Adil untuk Aorta dan Yasmin. Aamiin.

***

"Cinta," Ustadz Daffi merangkul Aorta dari belakang. Namun, yang dirangkul tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Bergeming dalam gelungan selimutnya. "Cinta, Mas minta maaf ya? Mas bahagia, Allaah telah menitipkan kebahagiaan dan amanah ini," imbuhnya dengan nada suara selembut dan sehalus mungkin.

Barusan tadi di Rumah tahfidz, sharing dengan Ustadz Syakir tentang bagaimana cara menghadapi dan menjaga perasaan wanita yang sedang mengandung. Ustadz Syakir itu pimpinan Rumah Tahfidz tempatnya mengajar. Dari sanalah, Ustadz Daffi banyak belajar. Dan kini, perasaan bersalah menggelayuti benaknya. Seharunya, tadi itu dia tidak terlalu mesra bersama Yasmin di depan Aorta. Ya, barangkali kecemburuannya membesar karena pengaruh hormon.

"Emmm ... Maaas," Aorta menggenggam erat jemari Ustadz Daffi.

"Ya, Cinta?"

"Maaf yang tadi,"

"Iya, nggak apa-apa. Sekarang sudah mendingan kan?"

"Apanya, Mas?"

"Hihi, cemburunya,"

"Iiih, Mas menyebalkan. Kalau itu siiih, bertumbuh, Maaas." Aorta mencubiti punggung tangan Ustadz Daffi. Saat itulah, akhirnya kebekuan yang tercipta mencair. Keduanya tergelak dalam canda bahagia.

"Yah, itu wajar, Cinta. Tapi, bagaimanapun Cinta harus bisa menerima Mbak Yasmin, kan?" Ustadz Daffi bertanya dengan lirih, selembut mungkin. Senyap. Hanya suara detak jantung mereka yang beradu. Seolah berpacu menuju lautan asmara.

"Iya, kan?" Ustadz Daffi mengulangi pertanyaan intinya sembari memijat punggung Aorta yang katanya lelah. Hihi. Manjanya mulai lagi.

"Iya, Mas," akhirnya Aorta menjawab juga. Meski harus menunggu lama, namun akhirnya Ustadz Daffi menjadi lega. Alhamdulillaah.

***

"Mas, temani Aorta saja. Kasihan dia, Mas. Perutnya sudah semakin besar. Dia pasti sangat membutuhkan Mas. Maksudku, lebih membutuhkan Mas," Ustadzah Yasmin mengangsurkan baju tidur batik kesayangan Ustadz Daffi. "Ya, Mas?" Bujuknya lagi. Sepertinya, bujukannya gagal. Ustadz Daffi hanya mengecup keningnya lalu memapahnya turun dari kursi roda.

"Makasih Mas," ucap Ustadzah mesra. Senyum lebar menghhiasi wajah senjanya yang tetap ayu.

"Sama-sama, Sayang," Ustadz Daffi membantunya berbaring, menyelimutinya dan mematikan lampu kamar.

"Ya, Mas?"

"Apa, Sayang?"

"Mas temani Aorta. Nanti kalau tiba-tiba dia mau melahirkan bagaimana?" Bujukan terakhir. Batinnya. "Kasihan Mas. Yaaah, walapun aku belum pernah hamil, tapi aku bisa merasakannya, Mas. Betapa itu tidak mudah."

"Ya, Mas tahu, Sayang. Tapi, malam ini, waktunya Mas bersama Sayang. Tadi, Mas sudah berpesan kepadanya, kalau ada apa-apa segera hubungi Mas." Ustadz Daffi memeluknya erat, berdoa dan mulai memejamkan mata.

Jauh di lubuk hati Ustadzah Yasmin, lantunan doa-doa indah mengalir lembut. Untuk keluarganya. Untuk Bahtera Surganya. Mereka. Yaa Rabb, ridhailah Mas Daffi. Betapa Mas Daffi seorang imam yang shalih. Aamiin.

***

Di kamarnya, Aorta nervous. Perutnya mulai kontraksi. Ditahankannya sebisa mungkin, sekuat mungkin. Jalan-jalan mengitari tempat tidur, meja belajar, seluruh kamar dan berhenti di saat kontraksi datang. Aorta berusaha sekuat mungkin untuk tetap tenang. Menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Begitu lagi, begitu terus. Dilirknya jam di dinding, sebelas lewat sepuluh menit. Yaa Rabb, paginya masih lama sekali. Bagaimana aku menghubungi Mas Daffi? Sekarang, jadwalnya bersama Mbak Yasmin.

Meneleponnya?

SMS?

WA?

BBM?

Ah, ternyata tidak semudah yang kupikirkan. Tolong aku, Rabb. Ini sakit. Semakin sakit. Aorta berbaring di tempat tidur. Dicengkeramnya guling, bantal, selimut, apa saja yang ada di dekatnya. Allaah, Allaah, Allaah. Ini sakiiit.

Di antara kontraksi yang susul menyusul itu, didengarnya derit kursi roda Ustadzah Yasmin. Semakin lama semakin mendekat.

Tok, tok, tok!

"Aorta, sudah tidur?" Suara Ustadzah terdengar parau. Entahlah, ia ingin sekali menengok Aorta. Meski dengan susah payah, ia ingin sekali memastikan, Aorta baik-baik saja. Tiba-tiba, seluruh tubunya merinding. Didengarnya suara Aorta merintih kesakitan. Oh? Yaa Rabb, Mas Daffi seharusnya mendengarkanku tadi. Rabb, kuatkan, mudahkan.

"Aorta?" Diulanginya lagi mengetuk pintu sembari menekan nomer HP Ustadz Daffi. Tersambung. Tidak diangkat. Diulanginya lagi, dan pintu kamar Aorta pun terbuka. Betapa terkejut dan paniknya Ustdzah Yasmin, mendapati Aorta kesakitan seperti itu.

"Sayang?"

"Mas, Aorta Mas,"

"Kenapa? Ada apa?"

"Kesakitan. Mas cepat ke sini, Mas."

Tertatih, Aorta berjalan menuju tempat tidur dan membaringkan dirinya di sana. Tak urung, akhirnya jerit kesakitan itu terdengar juga. Itu, membuat Ustdzah Yasmin panik. Bingung. Tidak tahu harus bagaimana. Apa yang bisa dilakukannya. Dengan tangan gemetar, menjalankan kursi roda mendekati Aorta.

"Kamu yang kuat, ya? Allaah menguatkanmu, Aorta. Mbak doakan, semoga semuanya lancar dan baik-baik saja." Ucapnya penuh kasih, sembari mengusap-usap punggung Aorta.

"Ma--ka--sih, Mbak," Aorta tersendat. Kontraksi yang ini hebat sekali. Rasanya, tubuhnya menjadi remuk! "Aaa, sakit, Mbak," jeritnya sambil merintih, bertepatan dengan hadirnya Ustadz Daffi yang terdengar sedang menelepon Bidan Annisa.

"Terima kasih, Bu. Kami tunggu," ujarnya terdengar panik dan segera mendekati Aorta. Yaa Rabb, aku titipkan Aorta dan bayi kami pada-Mu. Jaga mereka, Yaa Rabb. Lindungi mereka. Aamiin.

"Cinta, kuat ya? Tahan ya? Sebentar lagi, Bidan datang. Yaa Allaah, lindungilah kami. Sayang, tolong buatkan susu hangat untuk Aorta ya. Eh, maaf. Mas sampai lupa ... Biar Mas yang buatkan, Sayang tolong jaga Aorta ya?" Ingin sekali Utadz Daffi menjilat kembali kata-katanya. Bukan kah Ustadzah Yasmin tidak bisa membuatkan susu untuk Aorta? Bukan kah selama ini, Ustadz Daffi sudah berjanji untuk tidak menyakiti perasaan Ustadzah Yasmin? Dan, mengapa baru saja ia melakukannya?

"Aku bisa, Mas." Ustadzah Yasmin menggerakkan kursi rodanya menuju dapur. "Biar aku yang membuatkan," tambahnya. Hatinya bergelenyar entah seperti apa. Ada nyeri yang menyusup di sana. Mengapa Mas Daffi melakukannya? Apakah lupa, aku tidak bisa? Ah, aku bisa. Aku bisa. Harus bisa.

"Susul Mbak Yasmiiin, Maaas," Aorta mengerang, merintih, mengaduh. Ah, itu berat sekali.

"Tapi, Cinta?"

"Susuuul, Maaas. Aaa ...!" Aorta tak sanggup lagi menahan kontraksi yang semakin kuat. Napasnya terengah-engah, keringat dingin membanjiri tubuhnya, dicengkeramnya lengan Ustadz Daffi.

"Aorta, tenang. Tenang. Atur napas. Tenang. Tenang. Mbak Yasmin bisa kok," sejujurnya Ustadz Daffi bingung. Sampai tidak bisa berpikir apa yang seharusnya dilakukan.

Bel berdering nyaring. Itu, Bidan Annisa. Alhamdulillaah, semua menjadi lega. Ustadz Daffi berlari membukakan pintu. Dan, perjuangan pun bermula.

Dengan sekuat tenaga dan dengan memohon pertolongan Allaah, Aorta mengejan dan terus mengejan. Sekuat mungkin. Sebisa mungkin. Hingga saat jam dinding berdentang tiga kali, lahirlah bayi laki-laki yang montok, sehat dan tampan dengan selamat. Syukur pun melangit, menembus kabut di kegelapan. Tangis nyaring dan gagah itu memecah kesunyian, menghadirkan bahagia tiada tara. Alhamdulillaah. Ahlan wassahlan wa baarakallaahu lakuma.

"Mbak Yasmin mana, Mas?" Aorta yang masih lemas menanyakanya sembari mendekap bayi mereka dengan penuh cinta dan bahagia.

Subhanallaah. Iya, ya? Ada apa dengan Ustadzah Yasmin? Kenapa tidak ke kamar Aorta lagi?

Ustadz Daffi lemas seketika saat mendapati Ustadzah Yasmin tergeletak tanpa daya di lantai dapur. Di antara pecahan mug merah maroon dan genangan susu. Kursi rodanya terletak setengah meter darinya. Darah segar mengalir dari hidung dan telinganya. Innalillaahi ....

---#---

Postingan terkait:

3 Tanggapan untuk "Karena Aku Memahami Cinta Kalian"

  1. No, walaupun poligami itu tidak dilarang tapi ku pikir itu pasti akan membuat hati seorang wanita remuk. Walaupun istri atau calon istri kedua mengatakan mau berbagi suami, tapi wanita tetaplah wanita. Karena hati wanita lebih istimewa, jadi gampang remuk dan hancur.

    Tapi aku suka ceritanya :)

    BalasHapus
  2. :) Kak, @MyWapBlogPedia,

    BalasHapus
  3. Wois! Seru nyakitinnya No:-(

    BalasHapus