Keputusan Aura

Bismillaah

Keputusan Aura

A story by Sakura Sizuoka

Ahad terakhir di Bulan Desember. Pagi menjelang terang. Seusai shalat shubuh tadi, Ayah mengajak Aura jogging. Sudah lama sekali mereka tidak jogging bersama. Kesibukan masing-masinglah yang membuat acara jogging kecintaan terlewatkan begitu saja. Jangankan jogging bersama, duduk dan mengobrol santai seperti dulu pun tidak ada waktu lagi. Ayah super sibuk dengan perusahaan warisan Eyang, sementara Aura super sibuk dengan study-nya. Jadi, ya begitulah! Mereka bertemu hanya pada waktu makan pagi saja. Itu pun, pasti dalam keadaan tergesa-gesa.

Nah, hari ini klop! Baik Ayah maupun Aura sama-sama longgar waktu untuk bersama. Akhirnya, Ayah mengajak Aura jogging. Tadinya, Aura kurang respons. Tapi, setelah ditimbang-timbangnya, akhirnya mengacungkan kedua jempolnya dengan wajah berseri tanda oke.

Taman Bunga Mekar, ramai disinggahi para jogger. Taman bunga ini memang indah dan asri. Selain letaknya yang strategis---di pusat kota---memang tanaman hias dan bunganya tergolong banyak dan beraneka rupa. Penataannya juga indah. Ada puluhan bangku kayu yang nyaman untuk dijadikan tempat mengobrol bagi para pengunjung. Ada beberapa tenda payung juga, untuk yang mau makan/minum di sana. Pokoknya te-o-pe deh!

"Duduk dulu, yuk?" Ayah mendahului duduk. Memilih bangku kayu yang terletak di antara puluhan pot anggrek yang ditata melingkari bangku. "Sini, Ra. Kita ngobrol dulu. Ayah rindu." Imbuhnya sambil menepuk-nepuk bangku di sebelahnya. "Eh, agak basah. Ayah lap dulu." Ayah mengambil anduk kecil yang tersampir di lehernya. "Nah, silakan Tuan Putri. Haha."

"Makasih, Yah." Aura menyahut pendek sambil menghempaskan dirinya di sana. Senyaman mungkin duduk di samping Ayah. Napasnya masih naik turun. "Aura juga rindu." Jujurnya sembari melap keringat yang memantul dingin di dahinya.

"Yah, kita memang harus saling merindukan, Aura." Ayah menghela napas panjang. "Oh ya, sekolah kamu gimana? Oke? Kapan wisuda?" Ayah merapikan kerudung Aura yang agak menceng di pipi kirinya.

"Ya, Ayah. Alhamdulillah. Semua oke. Pekan depan, Aura ujian. In syaa Allaah bisa ikut wisuda yang Februari, Ayah. Mohon doanya." Aura tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Rasanya, ia sangat bahagia. Toganya nanti, akan menjadi kado terindah untuk Ayah dan Bunda. Sayang, Bunda tidak bisa menyaksikan hari bahagianya nanti.

Tiba-tiba, perih yang teramat sangat merambati perasaan Aura. Wajah Bunda yang pucat dan tirus, dalam genggaman ketakutan terbayang jelas dalam benaknya. Nyaris, air matanya tumpah. Nyaris, air mata duka itu berlinangan kembali. Bunda, Aura sayang Bunda. Loves Bunda so much. How ever Bunda's condition. You're my angel. Bisik hatinya.

"Alhamdulillah." Ayah menepuk-nepuk mantap pundak Aura, membuat Aura terkejut. "Ayah bangga sama kamu. Sangat bangga!" Tambah Ayah sebelum gelak tawanya pecah, membuat Taman Bunga Mekar menjadi terhiasi bahagia. "Ayah pasti doakan kamu. Yang terbaik." Ayah berdiri. Tegak. Memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana olah raganya. Mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendesah berat. "Aura ...," kalimat itu menggantung, membuat Aura terhenyak. Bayangan Bunda yang khas, memudar di benaknya. Aura kembali ke alam sadar. Ayah memanggilnya?

Aura berdiri. Menjajari Ayah. "Ya, Ayah?" Diikutinya gaya berdiri Ayah. Memasukkan kedua tangannya ke dalam kanting celana olah raganya. "Ada apa?" Ada apa? Pertanyaan apa yang tadi kulontarkan? Ada apa? Bukankah semua tahu, Bunda sakit? Bukankah semua tahu, Bunda dalam proses penyembuhan? Bukankah semua tahu, kepergian Kak Sukma lima tahun yang lalu, telah melukiskan kehidupan baru dalam jiwa Bunda? Jiwa mereka? Bukankah semua tahu, kecelekaan yang dialami Kak Sukma telah menggoreskan luka yang teramat dalam bagi jiwa Bunda? Jiwa mereka? Ah! "Ummm, Ayah ...,"

"Ayah pikir, Teguh itu lelaki yang baik, Aura. Dan Ayah tahu, Teguh sangat mencintaimu. Kamu tahu, ia menunggumu lulus S1 dan akan segera melamarmu. Ayah tidak bisa menolaknya, Aura. Teguh terlalu baik." Ayah bertutur jujur dan seketika itu juga menjelma petir di pagi hari cerah di hati Aura. Kak Teguh? Device Manager-nya Ayah? Apa ini tidak salah? Apa ini mimpi? Apa ini sandiwara? Ah! Apa ini? "Ayah tidak tahu, harus mengatakan apa lagi padanya. Setelah banyak hal yang Ayah lakukan seperti yang kamu tahu." Ayah menambahkan dan kini tatapannya lurus ke arah Aura. Dalam, mereka saling menatap. Ayah memang tidak memaksanya untuk menikah dengan Teguh. Ayah tidak menjodohkannya. Tapi, Teguh sendiri yang bersikukuh hendak menikahinya. Bahkan, beredia menunggunya lulus sekolah dan kini kelulusan itu sudah berada di depan mata. "Ayah tidak memaksamu, tapi tolong kamu pertimbangkan." Tegas Ayah sebelum akhirnya berjalan perlahan, pulang.

Teguh. Di mata Aura, teguh memang baik. Cerdas. Berwawasan luas. Dan, satu lagi, Teguh mampu membuatnya sekarat saat mereka berhadapan. Tapi, apakah Teguh sanggup menerima keadaan Bunda? Seutuhnya?

"Ayah, tunggu!" Aura berlari mengejar Ayah yang sudah puluhan meter berada di hadapannya. Napasnya naik turun. Jantungnya berdegup-degup kencang. Bukan karena berlari, tetapi karena terlalu banyak hal yang menyinggahi hatinya. Menginjak-injaknya hingga menjerit-jerit sakit.

Bunda

Ayah

Teguh

Tiga sosok itu menuhi ruang hatinya. Hanya satu yang diajukannya sebagai syarat untuk Teguh, "Ayah," ujarnya setelah sukses menjajari Ayah. "Aura oke saja,"

"Oke saja? Maksudnya? Yang jelas dong, Aura. Ini menyangkut hidup seseorang. Teguh." Ayah terus berjalan. Seolah tak ada lagi kesempatan darinya untuk Aura mengelak, menolak atau yang sejenisnya.

"Ayah, Aura oke menikah sama Kak Teguh. Asal, Kak Teguh bisa menerima Bunda seutuhnya." Tegas Aura di antara napasnya yang terengah-engah. Lelah.

Ayah menepuk bahunya mantap. "Kalau soal itu, tenang saja. Ayah jamin, Teguh bukan hanya bisa menerima Bunda. Tapi, sangat bisa!"

Kelegaan mewarnai wajah Aura. Bismillaah.

***

"Kak, Aura mohon, Kak. Jangan kurung Bunda di kamar. Kasihan Bunda, Kak." Aura bersimpuh di kaki Teguh. Itu terjadi, bukan baru sekali dua kali. Sudah sering kali terjadi. Setiap ada pertemuan dengan karyawan dan staf perusahaan di rumah, Teguh selalu mengurung Bunda di kamar. Teguh malu, jika semua orang melihatnya memiliki ibu mertua yang ingatannya terganngu. Meracau dan menganggap semua laki-laki muda yang hadir sebagai sukma. "Mohon, Kak. Biar Aura jagain Bunda. Aura janji, Kak. Bunda tidak akan mengganggu acara Kakak."

"Apaaa? Janjiii? Dasar bodoh! Berapa kali kamu janji, Ra? Berapa kali juga kamu ingkari, Ra? Dasar perempuan sinting! Sama kayak ibunya!" Teguh meledak-ledak. Dikuncinya kamar Bunda dengan kasar. "Udah sana! Kamu mandi kek, dandan yang cantik! Kampungan!" Makinya setelah memasukkan kunci kamar Bunda ke saku jasnya.

Aura menangis sejadi-jadinya, di depan kamar Bunda. Hatinya remuk redam. Marah. Sesal. Bingung dan lelah. Bergumul jadi satu di hatinya.

Aura marah dengan Ayah! Keputusan Ayah!

Aura menyesal menyanggupi menikah dengan Kak Teguh yang ternyata bukan hanya jahat!

Aura menyesal sudah mempercayai Kak Teguh!

Ya Allaah, bebaskanlah Aura dan Bunda dari kekejaman Kak Teguh

Dan sekarang, Ayah tidak bisa berbuat apa-apa lagi kan untuk Bunda? Untuk Aura?

Apa pun ... Semoga Ayah tenang di sisi Allaah

Aura semakin luruh. Berkeping-keping. Berserakan. Hatinya tidak karuan. Ingin sekali membebaskan Bunda. Merawat Bunda di tempat yang membuat Bunda aman dan nyaman. Namun, apalah daya ...?

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Keputusan Aura"

Posting Komentar