Sepatu Mas Hazmi

Bismillaah

Sepatu Mas Hazmi

A story by Sakura Sizuoka

Matahari baru saja bersemayam di balik cakrawala. Cahaya jingga yang tadi merona indah, kini telah diselimuti gelap. Sayup sampai, adzan pun berkumandang syahdu dari mushalla. Mas Hazmi terkesiap. Darah dalam jantungnya berdesir merdu. Ditutupnya Mushaf Qur'an dan menyudahi tilawah kali ini. Tertunduk khusyu', Mas Hazmi menjawab adzan. Jauh di lubuk hati terdalamnya, ia memohon kepada Rabb, agar permasalahan berat yang sedang merundungnya segerai selesai dengan baik. Dengan benar. Dan semoga Rabb memberikan hikmah kepada dirinya dan terutama kepada Levie sekeluarga. Semoga fitnah ini segera menemukan muaranya dan Allaah membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Bukan dia yang melakukannya. Bukan! Ia hanyalah korban fitnah!

"Haz," suara Bapak dari kamar. Bapak sedang tidak enak badan. Sudah beberapa hari ini sebenarnya, sejak Mas Hazmi difitnah oleh Om Juno, Papanya Levie. Tentu Bapak sangat kaget dan sedih. Bapak percaya, Mas Hazmi tidak bersalah. Namun, berita yang sudah membuat gempar kampung halaman dan mungkin seantero negeri ini, tentu membuat Bapak shocked. Akhirnya, Bapak sakit.

"Inggih, Pak." Mas Hazmi menyahut sembari mengusap air mata yang mengaliri pipinya. "Sebentar, Pak." Mas Hazmi meletakkan Mushaf Qur'annya di meja dan segera ke kamar Bapak. "Inggih, Pak?" Ucapnya santun sesampainya di kamar Bapak. Mas Hazmi duduk di tepian ranjang Bapak.

"Sini, Le. Bapak pingin nanya sesuatu sama kamu," Bapak memiringkan Badan. Dahinya mengerenyit, menahan sakit. Duh, Mas Hazmi semakin sedih. Gara-gara fitnah kejam itu, Bapak jadi sakit. Astaghfirullaahaladhiim. Aku mikir apa sih? Innalillaahi wa Innailahi raji'uun. Syafakallaah nggih, Pak? Batinnya.

Mas Hazmi membenarkan letak selimut Bapak. Dingin sekali malam ini. "Inggih, Pak? Nanya apa nggih, Pak?"

"Itu lho le. Tuduhan itu. Kamu beneran ndak nyuri to, Le? Kamu ndak ngelakuin itu to, Le?" Bapak tergetar. Matanya berkaca-kaca. Wajahnya bersemu merah. Ah, Mas Hazmi remuk melihatnya.

"Demi Allaah, Pak. Hazmi ndak ngelakuin itu. Na'uudzubillaahimin dzaalik, Pak." Mas Hazmi menjawab santun sambil memijat kaki Bapak. Bapak terdiam. Tadinya memasang ekspresi seolah mau menyampaikan sesuaatu, tapi tidak jadi. Hanya menghela napas panjang dan menepuk-nepuk pundak Mas Hazmi. Tepukan sayang. "Hazmi shalat maghrib dulu nggih, Pak? Sudah adzan dari tadi. Bapak mau shalat bareng Hazmi?"

"Ndak, Le. Bapak sendiri aja. Kamu shalat dulu aja." Bapak mengusap wajahnya yang semakin merah. Mas Hazmi beranjak menuju kamarnya.

Sebenarnya, ingin sekali ia shalat di mushalla. Ingin sekali tilawah di sana, sampai waktu iysa' tiba. Tapi ... Ah! Mengapa fitnah itu begitu kejam? Mengapa Om Juno memfitnahnya? Tega sekali! Mengapa Om Juno tidak langsung melaporkannya ke polisi saja? Mengapa harus begini? Ini namanya pencemaran nama baik. Sampai orang sekampung mengucilkanku. Sampai aku ndak "berani" keluar rumah. Mereka akan menghinaku mati-matian. Memaki. Atau apa saja. Ini sungguh menyakitkan. Sangat! Aku ndak maling kok. Aku ndak salah apa-apa. Aku, hanya tukang tamannya Om Juno. Dan, sore itu aku disuruh Levie, anaknya Om Juno, memindahkan pot tanaman hias ke kamarnya! Tapi, bisa apa aku? Bisa apa aku yang ndak punya apa-apa ini melawan Om Juno yang milyarder? Yaa Allaah. Batinnya melas.

"Gusti ora sare," bisiknya lirih sebelum akhirnya shalat dengan sepenuh pasrah. Pasrah kepada Allaah Yang Memiliki hidup dan kehidupan.

***

"Tapi, Pa. Levie tahu persis. Bukan Mas Hazmi yang melakukannya. Pas Mas Hazmi selesai natain pot di kamar Levie, kotak itu masih ada kok." Levie bersuara tegas. Ditatapnya mata Om Juno tajam.

Om Juno risih ditatap setajam itu oleh Levie. Anak semata wayangnya yang kini sudah beranjak dewasa. "Kalo gitu, siapa dong yang ngambil?"

"Ya, Levie juga gak tahu, Pa. Tapi yang pasti dan yang penting, bukan Mas Hazmi. Lagian, Papa tahu kan, Mas Hazmi itu rajin beribadah? Ya, masa sih nyuri?" Levie duduk di sofa empuk berwarna maroon itu dengan gerakan menghempaskan diri. Ia kesal sekali sama Papa. Main tuduh saja.

"Terus?"Om Juno menjajarinya. Ada perasaan bersalah yang kini mulai merambati hatinya. Wajah Mas Hazmi terbayang di benaknya. Wajah santun, senyum tulus dan pancaran kebaikan hatinya. Om Juno menghela napas panjang.

"Ya bersihin nama Mas Hazmi dong, Pa. Kasihan kan?" Levie menyandarkan kepalanya di bahu Om Juno. "Lagian ini kan fitnah!" Levie semakin kesal. Ingin sekali rasanya melakukan apa saja untuk meyakinkan Om Juno, kalau Mas Hazmi tidak bersalah. Ia yakin itu.

"Yaaah, masalahnya kan kita belum tahu, Levie. Siapa yang nyuri perhiasan kamu. Itu aja!" Om Juno setengah ragu, "Lagian yang ada di rumah ini kan cuma kita. Sama Hazmi, kan?"

"Mbok Karti? Gak diitung?" Levie sedikit menjauh dari Om Juno. "Mbok Karti malah di sini full time. Bisa aja, kan ...?"

"Tunggu! Sebentar," Om Juno beranjak dari sofa menuju kamar Levie. Pesaran, Levie mengikut di belakangnya.

*

"Assalamu'alaykum," suara seseorang dari depan pintu. Mas Hazmi yang sedang memasak di dapur menjawab dengan suara yang dikeraskan, "Wa'alaykumussalam. Sebentar," lalu, dipastikannya bumbu sup ayam itu pas di lidah Bapak dan mematikan kompor.

"Eh. Bapak. Mari, Pak. Levie ...," Mas Hazmi mempersilakan mereka masuk. Om Juno dan Levie mengikut dengan sopan. Wajah mereka tertunduk malu. "Mari, silakan duduk, Pak. Levie."

"Makasih, Haz," Om Juno menyaputkan senyum tipis di wajah setengah tua tapi tampan miliknya. "Lagi repot ndak?"

"Oh, ndak repot kok, Pak. Sedang mbuat sup ayam kesukaan Bapak," Mas Hazmi sedikit grogi. "Saya buatkan minum dulu nggih, Pak?"

"Enggg, ndak usah, Haz. Kami cuma sebentar." Om Juno menarik tangan Mas Hazmi dan memintanya duduk kembali. Levie tersenyum manis untuknya. Membuat Mas Hazmi menjadi tambah grogi. Maklum, jarang sekali berdekatan dengan perempuan.

"Oh, nggih. Ada perlu apa nggih, Pak?" Mas Hazmi membuka pembicaraan. Ini karena Om Juno seolah ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak tahu kenapa, hanya bisa diam. Begitu pun dengan Levie.

"Enggg, jadi gini, Haz. Enggg," Om Juno gemetar.

"Kami minta maaf, Mas. Papa sudah memfitnah Mas. Kami sudah tahu sekarang, siapa yang nyuri perhiasan Levie."

"Oh ...," Alhamdulillaah, terima kasih, Ya Allaah. Akhirnya kebenaran terungkap juga. Engkau Maha Baik. Bisik hati Mas Hazmi. Bahagia. "Alhamdulillaah," hanya itu yang kemudian sanggup diucapkannya.

"Kami benar-benar mohon maaf, Haz." Om Juno membuka suara. "Masalahnya, sepatu kamu ada di kamar Levie. Jadi, saya pikir kamu yang mengambilnya. Eh, ndak tahunya, Cahyo yang ngambil. Itu, anaknya Mbok Karti."

"O, jadi, sepatu saya ketinggalan di kamar Levie? Saya bingung nyarinya kemana-mana. Alhamdulillaah. Kalau masih hak saya, Allaah pasti kembalikan," Mas Hazmi tergelak senang. "Alhamdulillaah,"

"Jadi, kami dimaafkan kan, Haz?" Om Juno resah. Diusapnya wajahnya yang memerah. Menahan malu. "Saya sangat menyesal melakukannya."

"Tentu, Bapak. Saya maafkan," Mas Hazmi menjawab dengan nada tulus dan bahagia. Baginya, memaafkan adalah jalan taqwa. Memaafkan dengan ikhlas.

"Alhamdulillaah, terima kasih, Haz." Om Juno menyalaminya dan memeluknya erat. "Terima kasih."

"Makasih ya, Mas? Mas masih mau kan kerja di rumah? Tamannya udah berantakan tuh!" Levie menimpali. Wajahnya berbinar-binar. Lega.

"In syaa Allaah. Jika masih dibutuhkan." Mas Hazmi mengangguk santun.

***

Mas Hazmi lega sekali. Begitu juga dengan Bapak. Mereka pun sujud syukur atas kebenaran dan bukti nyata atas kebenaran yang Allaah berikan ini. Om Juno berjanji, akan segera membersihkan namanya. Baik secara lisan maupun tulisan. Haha. Bagi Hazmi, yang terpenting adalah, kebenaran telah datang dan fitnah itu tidak terbukti!

"Alhamdulillaah, Le. Bapak ayem saiki," Bapak tenang sekarang. Ucap Bapak sambil menyeruput kopi hangat buatan Mas Hazmi.

"Inggih, Pak. Alhamdulillaah."

---#---

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Sepatu Mas Hazmi"