Saat Mutia Harus Memilih

Bismillaah

Saat Mutia Harus Memilih

A story by Sakura Sizuoka

Matematika. Mata Pelajaran tercinta bagi Mutia. Meski bagi teman-temannya mengatakan, Matematika itu Mata Pelajaran Pembunuh Bayaran. Buktinya, (kata mereka lagi), Matematika berhasil membuat otak kita demam. Sangking demamnya, kadang-kadang harus menggunakan kompres membolos saat Mata Pelajaran itu ada di depan mata. Ya, begitulah. Matematika. Jadi, di kelasnya, Mutia menjadi satu-satunya siswa yang mencintai Matematika. Tak heran, kalau Miss Angkie sangat menyayangi dan bangga terhadap prestasi gemilang yang dicapainya. Wajar juga, kalau Miss Angkie menjadikan Mutia sebagai Anak Emas. Itu, tentu saja, membuat siswa yang lain kebat-kebit. Tercepit cemburu yang menyakitkan. Tapi, mau bagaimana lagi. Kenyataannya, Matematika hanya membuat mereka rontok!

"Mut, ajarin dong. Nyontek deh!" Angel menyikutnya, sambil melebarkan matanya. Tanda memohon. Mutia tetap kalem di tempat duduknya. Bergeming. Fokus. "Ssst! Muuut," Angel kelabakan. Mutia menoleh ke arahnya dan menggeleng perlahan.

Mutia memang sangat disiplin dalam hidupnya. Jujur dan bertanggung jawab, juga dijadikannya prinsip utamanya. Jadi, disiplin, jujur dan bertanggung jawab dijadikan motto hidupnya.

Angel memberengut dan kembali menekuri lembar jawaban yang masih kosong melompong. Tak satu angka pun tertulis di sana. Angel terjebak otak macet!

"Ayo, waktunya lima menit lagi!" Ujar Miss Angkie tegas. Semua terlonjak. Tepatnya, gemetar ples bergetar yang artinya merinding ketakutan. Bagaimana tidak? Mereka belum selesai mengerjakan. Kecuali Mutia tentu saja. Ia terlihat fokus memeriksa kembali semua jawabannya. Senyum simpul melengkung di wajahnya. Manis.

Lima menit berlalu, Miss Angkie memnita semua siswa mengumpulkan pekerjaannya. Kini, kelas menjadi ribut. Banyak suara frustasi terdengar memelas.

"Huuuh, aku belum selesai nih!"

"Yaaah, masa udah habis sih waktunya?"

"Hemmm, nyerah deh!"

"Oh my God!"

Miss Angkie berdiri berwibawa di samping mejanya. Tangannya bersedekap dan pandangan tegasnya beredar ke seluruh ruangan. "Silakan, dikumpulkan. Mutia, kamu sudah selesai? Silakan dikumpulkan,"

Mutia beranjak dari tempat duduknya, "Alhamdulillaah sudah, Miss." Berjalan mantap menuju meja Miss Angkie. "Silakan, Miss. Mutia menunggu koreksiannya." Ujarnya santun.

"Ehem! Ini yang Miss banggakan dari Mutia. Mutia selalu minta dikoreksi. Dan mutia selalu belajar dari kesalahannya. Kalian paham?"

"Paaahaaam, Miss."

"Yaaah, jangan hanya paham tentang Mutia saja dong. Kalian harus rajin belajar, agar kalian bisa seperti Mutia. Setiap kita diberikan pemahaman oleh Tuhan. Kalau Mutia bisa, kenapa kalian tidak? Ayo cepat dikumpulkan!" Tegas Miss Angkie dengan nada cenderung galak, dan sontak kelas menjadi lebih gemuruh!

***

"Mutia, kamu harus ambil kesempatan ini. Miss yakin, kamu bisa. Kamu akan menang. Dan, kalau kamu menang, kamu akan mendapatkan beasiswa itu. Kamu bisa masuk ke universitas mana saja yang kamu mau. UI, UNY, UGM, UIN, mana saja. Ayolah, Mutia. Apa lagi yang kamu pikirkan?" Miss Mutia menepuk pundak Mutia lembut. Tepukan motivasi.

"Mutia mengerti, Miss. Mutia akan bahagia jika itu benar-benar terjadi. Tapi ...," Mutia menahan buliran bening yang nyaris mengguliri wajah manisnya. Kini, wajahnya bersemu merah. Kesedihan kental tercampur di sana.

Miss Angkie menghela napas panjang. "Mutia. Tapi? Miss boleh tahu ...?" Miss Angki mengangsurkan sekotak tissue untuk Mutia. Kini, air matanya berjatuhan deras, tak terbendung lgi. Dalam benaknya, berkelebatan wajah Ayah. Ayah yang lumpuh. Ayah yang sangat tergantung pada perawatan dan penjagaannya. Ayah yang .... "Mutia?" Miss Angkie menggenggam erat jemarinya.

"Enggg, Mutia. Enggg, Bapak, Miss. Bapak harus sama siapa, saat Mutia ikut olimpiade nanti? Tidak ada yang menjaga Bapak. Mutia tidak bisa meninggalkan Bapak di rumah sendiri Miss. Bapak, Bapak ...," Mutia tercekat. Tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Hanya air mata yang semakin deras mengalir. Hujan.

"Mutia, boleh Miss tahu, ada apa dengan Bapak?" Miss Angkie terhanyut suasana. Perasaannya merasuk ke dalam air mata Mutia. Sedih, haru dan harapan bergulung-gulung di benaknya. Dahsyat!

Ada apa dengan Mutia?

Ada apa dengan bapaknya?

Ada apa sebenarnya?

Siapa Mutia yang sebenarnya?

Anak berprestasi dan diberikannya Gelar Bintang Sekolah setiap tahun ini, siapa?

Kehidupan seperti apa yang sebenarnya diberikan Tuhan kepadanya?

Oh, sungguh luar biasa ....

"Mutia, bisa cerita sama Miss? Boleh Miss tahu? Semoga Miss bisa membantu." Miss Angkie memeluk Mutia hangat. Erat. Ia, entah kenapa, begitu menyayangi Mutia. Bukan hanya karena prestasinya semata, tapi juga karena kepribadiannya yang istimewa. Baik. Jujur. Disiplin dan bertanggung jawab. Jarang didapatinya pada remaja seusia Mutia.

"Ba - paaak, Bapak ...," Mutia sesenggukan.

"Bapak ...?"

"Lum, lummmm, puh, Miss," Mutia tergagap dan setelahnya hanya napasnya yang memburu yang terdengar bergulat dengan air mata yang tak terlerai. Air mata Miss Angkie pun berjatuhan.

*

Malam semakin larut. Semua yang hadir di Auditorium SMU N 1 Yogyakarta terdiam. MC baru saja menyampaikan berita besar. Ya, berita besar tentang pemenang Olimpiade Matematika Nasional 2017. Miss Angkie menggenggam erat jemari Mutia. Seolah hendak memberikan spirit terbesarnya. Mutia menunduk. Dalam kepasrahan hatinya, ia hanya mampu tawakkal 'Alallaah. Diliriknya Bapak yang duduk di sebelahnya.

Bapak menatapnya lama, lembut dan dalam. "Mutia, serahkan hasil akhirnya sama Allaah. Allaah Tahu yang terbaik untuk Mutia," bisik Bapak. Mutia mengangguk. Mantap.

Alhamdulillaah. Allaah, terima kasih. Engkau Maha Baik. Atas kebaikan-Mu, Miss Angkie membelikan kursi roda untuk Bapak, hingga Bapak bisa mendampingi Mutia selama mengikuti olimpiade ini. Mutia bisa tetap menjaga dan merawat Bapak. Terima kasih, Allaah, Engkau Maha Baik. Mutia sayang Bapak. Saaayaaang sekaaaliii, Allaah. Sampai kapan pun.

"Dan, pemenangnya adalah ...," MC sengaja menghentikan kalimatnya. Membuat semua jantung milik yang hadir menjadi dag-dig-dug tak karuan. Terutama Mutia. Jujur, ia takut mengecewakan Miss Angkie dan Bapak. Meski tahu, Miss Angkie dan Bapak takkan menuntut apa pun darinya kecuali perjuangan yang sungguh-sungguh dan tulus. Yaa Allaah ....

"Ia adalah siswi yang rajin belajar. Bukan hanya rajin belajar, sisi ini memegang erat motto hidupnya: Disiplin, jujur dan bertanggung jawab. Ia, selalu bersemangat menjalani hari-harinya. Tidak pernah mengeluh. Tidak pernah surut asa. Dan, ia adalah siswi yang begitu besar kepada Sang Ayah ...," Mc berhenti lagi. Mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Menghela napas panjang dan melanjutkan kembali kata-kata misterinya.

Miss Angkie mengeratkan genggamannya di jemari Mutia. Ia yakin, Mutia lah siswi yang dimaksud Sang MC. Mutia semakin menunduk. Semakin pasrah. Bapak menepuk-nepuk punggungnya. Memberikan spirit cinta.

"Dengan penghargaan yang setinggi-tingginya, kami mohon, Ananda Mutia Nada Nadiva Qalbu untuk bersedia naik ke atas pentas ...! Kepada orang tua atau wali Ananda, kami mohon untuk berkenan mendampingi."

Tepuk tangan riuh terdengar. Yel-yel dari SMUN 1 Bantul pun terdengar mendominasi. Hingar bingar terdengar membahagiakan. Mengharukan.

Mutia, Bintang Dunia!

Mutia, cantik, cerdas, shalihah!

Mutia, Kusuma Bangsa!

Piala Kemenangan sudah berada di tangan. Mutia duduk bersimpuh di samping kursi roda Bapak. Ya, bersimpuh. Meski itu di atas pentas dan meski itu adalah saat kemenangannya, Mutia tetap bersimpuh di samping kursi roda Bapak. Mutia tidak ingin berdiri tegak, sementara Bapak duduk di kursi roda, kecuali saat mendorongnya. Kecuali saat "membawa" Bapak berjalan. Menyadari itu, panitia pun menyusulkan kursi untuknya.

"Silakan, Ananda Mutia, disampaikan sepatah dua patah kata untuk kemenangan Ananda," Sang MC membuka suara, melanjutkan acara setelah terjeda oleh hening beberapa saat lamanya.

"Bismillaah. Alhamdulillaah dan terima kasih, Mutia haturkan kepada Miss Angkie dan keluarga besar SMUN 1 Bantul. Tanpa kalian, Mutia tidak akan ada di sini. Terima kasih yang tiada tara, Mutia haturkan untuk Bapak tercinta. Terima kasih, Bapak. Sudah mengajarkan Mutia untuk menjadi anak yang tangguh ...,"

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Saat Mutia Harus Memilih"

Posting Komentar