Cerita Cinta Manis Paundra

Bismillaah

Cerita Cinta Manis Paundra

A story by Sakura Sizuoka

Paundra mendesah. Napasnya terasa berat dan pelupuk matanya menjadi hangat. Buliran bening mengembang di sana. Sejujurnya, ini sangat berat bagi Paundra.

"Kenapa, Kak? Kenapa Kakak harus pergi? Kakak tahu, Paundra baru saja menyiapkan kado ulang tahun untuk Kakak," bisiknya sembari sekuat mungkin menahan buliran bening di pelupuk matanya itu agar tidak meluncur. Dipeluknya erat Puisi, guling Mickey Mouse kesayangannya. "Kakak tahu kan, Paundra sangat menyayangi Kakak? Kakak juga tahu kan, Paundra terima Kakak apa adanya. Bahkan, Paundra tidak peduli, bagaimana masa lalu Kakak. Paundra juga tidak peduli, bagaimana masa kini Kakak. Masa depan Kakak. Semua tentang Kakak. Paundra tulus mencintai Kakak," hatinya menjerit-jerit. Paundra luruh. Runtuh. Kini, bulir-bulir bening air matanya pun berjatuhan. Tangis itu kian sempurna. Deras. Bak hujan lebat di Bulan Desember.

Benaknya dipenuhi bayangan Kakak. Kakak yang sangat baik. Kakak yang sangat menyayanginya.

"Sayang? Kakak sayang sama Paundra? Kalau Kakak sayang sama Paundra, kenapa Kakak memilih untuk pergi? Meninggalkan Paundra seperti ini ...," Paundra menyeka air matanya. Sakit menggerogoti hatinya. Menggigitinya hingga berdarah.

"Oke, oke. Paundra tidak apa-apa kok. Kalau Kakak mau pergi, silakan saja. Paundra is O.K!" Paundra bangkit dari tempat tidurnya, melemparkan Puisi ke lantai dan berjalan perlahan menuju kaca cermin yang terpasang di lemari pakaiannya. Paundra berdiri di sana, lama. Memandangi bayangan dirinya di cermin.

Paundra terhanyut. Terseret-seret arus kenangan yang tersimpan dengan rapih di hatinya.

"Mawar Merah," Kakak mendekati Paundra yang sedang sibuk mengerjakan tugas antropologi.

"Iya, Kak. What's up?" Paundra tetap menekuri lembaran tugasnya itu. "Duduk, Kak." Lanjutnya, sembari membolak-balik buku tebal berjudul Antropholgy, dahinya berkerut tanda sedang sangat serius.

"Idiiih, yang lagi sibuuuk. Cuek banget nih sama Kakak." Kakak menarik kursi di depan Paundra dan duduk di sana dengan tenang. "Kakak ada surprise nih buat Paundra," lanjutnya penuh semangat. Paundra yang memang sedang serius mengerjakan Mata Kuliah yang baginya sepele dadi gawe itu, bergeming. Melihat keseriusan Paundra, Kakak akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pesan saja. Sebentar lagi, kuliah dimulai.

Kakak mengambil buku memo dan menuliskan sesuatu di sana. Dibacanya sekali lagi lembaran yang sudah terisi penuh oleh pesannya itu, menyobeknya dan menyelipkannya di buku tebal yang sedang ditekuri Paundra.

"Oke, good luck, ya? Kakak ke kelas dulu. Bentar lagi kuliah dimulai," Kakak beranjak dari kursi dan melangkah menjauh. Paundra yang menyadari Kakak tak lagi di hadapannya pun terhenyak.

"Loooh? Kakak? Ke mana sih? Apa tadi katanya? Kuliah? Ini hari apa sih? Kok Kakak ada kuliah pagi? Oh, ini Selasa ya? Pantas saja ...," Paundra mengobrol dengan dirinya sendiri lalu kembali sibuk dengan tugasnya.

Sepuluh menit berlalu, dan Paundra pun merasa sudah benar-benar merdeka. Artinya, tugas sepele dadi gawe itu sudah selesai dikerjakannya.

"Alhamdulillaah," bisiknya penuh semangat. Saat membereskan semua bukunya, Paundra terlongok. Memo? Punya siapa? Eh, dari siapa?

To: Mawar Merah

I LOVE YOU

Please be MY LOVE

FOREVER

From: Kakak

Membaca pesan bahagia itu, Paundra terlonjak-lonjak. Wajahnya bersemu merah. Matanya berbinar-binar.

Cinta?

Benar kah?

Aaah, akhirnya aku mendapatkannya dan cinta itu adalah Kakak. Aaah, akhirnya apa yang aku immpikan selama ini akan menjadi kenyataan. Semoga ini bukan mimpi di kuliah pagi, di saat aku bahkan tidak mengantuk sama sekali.

Paundra bergumam-gumam sendiri, hingga tidak menyadari kelas sudah riuh rendah oleh canda dan tawa teman-temannya.

Paundra geram. Nyaris ditonjoknya kaca cermin yang ada di hadapannya. Pyaaar!!!

Kakak jahat!

Kakak kejam!

Apa arti semua ini, Kak?

Kenapa Kakak harus datang dalam kehidupan Paundra, jika kakak harus pergi tanpa pesan seperti ini?

Kenapaaa, Kaaak ...?

*

"Udah, dipakek aja!" Sergah Silvya, teman dekatnya. "Keburu dateng tamunya!" Silvya memaksa Paundra mengenakan setelan gamis merah mawar dan kerudung bercorak mawar merah dengan warna dasar hitam. "Yang bener dong, nglamun aja!" Silvya geram, mendapati Paundra yang masih terlongong-longong. Gemas!

"Siapa sih tamunya, Sil?" Paundra mengerenyitkan dahinya, tanda bingung. "Kenapa aku harus pakek gamis seindah ini?" Sekali lagi, Paundra melepaskan kerudungnya setelah sekian kalinya dan kali ini membuat Silvya semakin geram. Gemas!

"Iiih, bawel! Udah sini, dipakek aja! Nurut kenapa sih? Aku kan temen baikmu, nggak mungkin lah aku nyesatin kamu. Nyengsarain kamu. Nurut aja kenapa sih? Iiih, udah rapi-rapi malah berantakan lagi. Awas lho ya, kalau diberantakin lagi. Aku pulang nih. Biar kamu sendirian nemuin tamunya!" Silvya mengomel kuadrat. Namun, dengan tulus dan cekatan dipakaikannya lagi kerudung Paundra. Bagaimanapun ia harus membantu Paundra. Kalau bukan dirinya, siapa lagi? Orang tua Paundra sudah meninggal akibat kecelakaan pesawat tujuh bulan yang lalu. Dan kini, saat Kakak hendak datang untuk melamar Paundra, Silvya merasa memiliki tanggung jawab untuk membantunya. Sebisa mungkin. Termasuk membelikan setelan gamis indah dan manis menawan itu tadi siang sepulang kerja.

"Iya, iya. Ih, galak amat!" Paundra berseloroh sambil memandangi dirinya yang kini terlihat lebih anggun dan dewasa di kaca cermin. "Tapi, siapa sih Sil, tamunya? Bikin penasaran aja?"

Silvya bungkam. Diam seribu bahasa. Bukan apa-apa. Ia hanya ingat pesan Kakak. "Ini surprise loh, Sil! Ingat, jangan kasih tahu Paundra."

Bel pintu berdering nyaring. Tanpa sepatah kata pun terucap dari bibirnya, Silvya berlari ke arah pintu depan. Meninggalkan Paundra yang semakin penasaran.

***

"Keputusan akhirnya, Kakak serahkan kepadamu, Paundra. Yang perlu kamu garis bawahi, Kakak hadir saat ini dan berteguh hati untuk melamarmu, bukan karena Kakak sekarang lumpuh. Tapi, sedari dulu, Kakak mencintaimu. Dulu itu, waktu Kakak menuliskan pesan di kertas memo ...," Kakak memberikan penegasan. Ada kaca-kaca air bening di kedua bola matanya. Kakak menghela napas panjang dan berusaha untuk tetap tegar. Kuat! Apa pun hasil akhirnya, Kakak sudah menyerahkannya kepada Allaah. Termasuk jika Paundra menolak lamarannya.

"Jawab dong, Paundra!" Silvya mencubit kecil punggung Paundra. "Biar semua menjadi lega, terutama Kakak." Silvya mencubit punggung Paundra. Kali ini lebih keras dan pedas.

Paundra mendesah berat. Dilihatnya Kakak dengan pandangan sendu. Syahdu. Kursi rodanya. Wajah Kakak yang tetap bercahaya seperti dulu. Bersih. Terawat. Kecamuk berdentuman di hatinya. "Paundra ... Mau menjadi isteri Kakak. Bismillah,"

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Cerita Cinta Manis Paundra"

Posting Komentar