Sejumput Kebenaran Tentang Zalfa

Bismillaah

Sejumput Kebenaran Tentang Zalfa

A story by Sakura Sizuoka

Anggit ternganga. Wajahnya menjadi pias. Bersemu merah bata dan kini, tersaput pucat. Tidak menyangka sama sekali, Zalfa yang selama ini mereka anggap bersalah, bahkan mereka fitnah ternyata ....

"Zalfa?" Anggit tergagap. "Kamu ...?" Anggit semakin gugup hingga tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Itu benar Zalfa, kan? Zalfa yang kata Mas Andre udah jadi kimcil gara-gara perusahaan papinya bangkrut? Tapi, kenapa pakaiannya serapat ini? Pakai cadar lagi! Atau ini hanya kedok saja! Dasaaar ...!

"Asslamu'alaykum, Mbak, Mas. Iya, ini Zalfa. Afwan, tidak memberi tahu dulu kalau mau silaturrahiim. Mbak dan Mas apa kabar?" Zalfa menyalami Anggit yang benaknya masih melayang-layang entah kini sampai di mana. "Mbak?" Zalfa mengguncangkan lembut pergelangan tangan Angit.

"Eh, oh, enggg, iya. Zalfa, a ayo, masuk." Anggit semakin geragapan. "Sebentar ya, Adik-adik? Mbak ada tamu. Diteruskan dulu belajarnya ya?" Anggit membagikan lembar soal untuk murid-murid lesnya. Semua mengangguk mengerti.

"Terima kasih, Mak. Zalfa cuma sebentar kok." Zalfa tetap berdiri anggun di tempatnya. "Sebenarnya, Zalfa ada perlu sama Mak dan Mas Andre."

Sungguh, Anggit rasanya mati kaku. Bagaimana tidak? In bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Terutama kalau sampai Zalfa menempuh jalur hukum untuk membersihkan namanya. Ya Allaah, aku harus gimana? Tanya hatinya. Namun, dengan bibir bergetar menjawab, "Oh, iya. Ayo ma-masuk du-lu. Kita bicara di dalam."

"Terima kasih, Mbak." Zalfa mengikuti Anggit masuk ke ruang tamu. Aroma pembersih lantai, tercium harum. Zalfa tersenyum santun dan duduk sopan di sofa. Dalam hati terdalamnya, Zalfa banyak dzikrullah. Memohon kekuatan Allaah, semoga tabayyun-nya berjalan dengan mudah dan lancar. Aamiin.

"Sebentar ya, Zalfa? Mbak panggil Mas Andre dulu." Anggit meninggalkan Zalfa sendiri di ruang tamu. Meski agak berjauhan jaraknya dengan saung yang digunakan untuk sanggar belajar, dapat didengarkan gelak tawa dan canda murid-murid Anggit. Zalfa tersenyum. Senyum bahagia. Akirnya, saat indah yang ditunggunya selama ini pun didatangkan Allaa. Saat untuk membuktikan kebenaran. Bahwa dirinya tidak seperti yang semua orang tuduhkan selama ini.

***

"Dik, Mas serius mencintai kamu. Mas akan lakukan apa saja untuk bisa mendapatkanmu. Sungguh! Percayalah, Dik. Mas sungguh-sungguh mencintaimu," Mas Andre menatap wajah Zalfa yang terus menunduk sedari tadi. Dalam. Lama.

Ditatap seperti itu, Zalfa menjadi jengah. "Afwan, Mas. Zalfa harus masuk ke rumah. Papi sedang tidak enak badan. Lagian kan, kita tidak boleh berdua seperti ini."

Andre marah. Murka. Bagaimana tidak? Sudah bersusah payah mencintai, mengejar-ngejar cinta Zalfa dan kini yang didapatkannya hanya penolakan yang begitu menyakitkan. Sia-sia sudah perjuangannya selama ini.

"Jadi, kamu menolak cintaku, Dik?" Andre setengah berteriak. Wajahnya merah padam. "Baik, baik, Dik. Semoga kamu nggak menyesal!"

"Afwan, Mas. Allaah melarang kita pacaran." Zalfa menanggapi dengan kalem. Kini Zalfa berdiri dan bersiap masuk ke dalam rumah. "Afwan, zalfa tidak bisa,"

"Dasar, cewek murahan! Sok suci kamu, Zalfa! Lihat saja, kamu akan menyesal!" Mas Andre kalap, memaki-maki Zalfa, menendang kursi yang terdekat dengannya dan pergi. Mengendari motor selayaknya pebalap.

Zalfa menghela napas panjang, "Rabbii, jagalah diri dan hatiku ...,"

***

"Zalfa tidak apa-apa, Papi. Ini musibah dan selayaknya kita mengucapkan innalillaahi wainna ilaihi raji'uun," Zalfa merangkul Papi dari belakang, sepenuh kasih sayang yang dimilikinya. "Zalfa bisa tinggal di Rumah Tahfidz, sekalian menyelesaikan hafalan. Papi tidak perlu bersedih ya?"

"Iya, Sayang. Papi benar-benar minta maaf. Papi nggak nyangka, orang yang selama ini Papi percaya akhirnya mengkhianati Papi. Andai saja ...," Papi tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Hatinya mengkerut. Seperti jaket kulit yang direbus.

"Papi tidak bersalah. Tidak perlu meminta maaf." Zalfa mengeratkan rangkulannya. Dalam hatinya, Zalfa berjanji akan menjadi anak shalihah untuk Papi. Selamanya. Akan dijaganya Papi. Apa pun yang terjadi. Ia akan berkerja keras untuk bisa membantu Papi. Papi tidak boleh jatuh, meskipun dalam keadaan terburuk sekalipun. "Papi tenang ya? Ada Allaah bersama kita. Zalfa akan bantu Papi. Papi mau kan, tinggal di rumah kontrakan dekat Rumah Tahfidz Zalfa? Zalfa bisa merawat dan menjaga Papi sebelum mengajar dan mengaji. Malamnya, Zalfa pulang. Jad, Papi tidak sendiri."

***

"Nggit, aku serius nih. Kamu mau kan nikah sama aku?" Mas Andre menyeruput kopi susu yang disuguhkan Anggit. "Jawab dong. Nggak sabar nih."

"Lhooo? Mas, bukannya selama ini Mas mencintai Zalfa?" Anggit bingung.

"Halah, sudahlah! Mana mau aku nikah sama cewek murahan kayak dia. Dia tuh udah jadi kimcil, Nggit! Udah lama. Sejak Papinya bangkrut! Apa untungnya nikah sama cewek bejat kayak Zalfa? Udah bejat, kere lagi!" Mas Andre meledak-ledak, membuat Anggit percaya. Percaya, bahwa Mas Andre benar-benar ingin menikah dengannya.

***

Tidak tahu bagaimana caranya, semua yang dikatakan Mas Andre kepadanya kemarin sudah tersebar di masyarakat. Sejujurnya, Anggit takut. Takut, kalau semua kata-kata kasar Mas Andre tentang Zalfa itu hanya fitnah. Tuduhan. Mungkin karena Zalfa menolak cinta Mas Andre. Tapi, kalau sudah terlanjur tertangkap telinga masyarakat, siapa yang bisa menghentikan mulut mereka untuk terus menyebarkannya?

Anggit merasa sangat jengah, namun sejujurnya ia takut melawan Mas Andre. Terlebih, kandungannya sudah semakin besar. Jadi, hanya bisa diam. Diam dalam penantian. Menanti kebenaran.

***

"Zalfa, sebentar ya? Mas Andre lagi mandi," suara Anggit mengejutkannya. Membuyarkan lamunannya. Zalfa tersenyum manis. Semanis yang ia punya.

"Oh iya, Mbak. Tidak apa-apa." Zalfa mendesah. "Santai kok, Mbak." Imbuhnya santun.

"Ayo, diminum. Seadanya." Anggit menyuguhkan secangkir teh manis untuknya. "Mas Andre kalau mandi agak lama," terangnya, membuat Zalfa kikuk.

Mereka lalu mengobrol ringan seputar kandungan Anggit yang sudah memasuki usia sembilan bulan, musim hujan yang belum juga datang, dan banyak lagi.

"Sapa to Nggit, tamunya?" Suara Mas Andre dari balik pintu. "Sarungku mana, Nggit?" Tanyanya setengah galak. "Kamu kalo naruk-naruk mesti susah dicarinya!"

"Sebentar ya, Zalfa," Anggit setengah ketakutan beranjak dan berjalan secepat yang ia bisa ke arah Mas Andre.

Zalfa hanya diam. Baginya itu tidak perlu jawaban.

***

Mas Andre gemetar. Tubuhnya bergetar. Lidahnya kelu. Apa yang sanggup dikatannya sekarang? Zalfa adalah mutiara di tengah lautan.

"Mas?" Anggit berurai air mata. "Jadi, semua itu fitnah, Mas? Mas kejam!" Anggit bangkit dari tempat duduknya, dengan susah payah berdiri dan merangkul Zalfa yang kini juga sudah berdiri. Mereka berpelukan dalam linangan air mata.

"Maafkan kami, Zalfa. Maaf," hanya itu yang sanggup diucapkan Anggit, sementara Mas Andre hanya bisa tertunduk malu. Malu yang teramat sangat.

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sejumput Kebenaran Tentang Zalfa"

Posting Komentar