Sarung Rok

Selepas Maghrib, Lanang merengek-rengek minta dibelikan sarung. Hatiku tercabik-cabik. Perih. Jangan kata untuk beli sarung, Nang. Buat makan besok pagi saja, Emak masih belum ada. Tahu sendiri Bapak, kalau sudah judi berhari-hari nggak pulang.

"Mak, Lanang mau sarung kaya punya Arsya."

"Iya, Nang. Sabar ya? Besok Emak beliin." Kataku menghiburnya. Semula wajahnya terlihat tenang. Tapi tiba-tiba tangisnya pecah.

"Lanang juga mau shalat pake sarung, Ma. Malu pake celana kolor terus. Kan, Lanang sudah besar." Katanya di sela-sela isak tangis. Aku bertambah miris.

"Iya, Nang. Entar Emak beliin. Sekarang, Lanang makan terus shalat Isya' di Masjid ya? Minta sama Allah biar dibeliin sarung." Aku harus tegar. Nggak boleh cengeng. Harus bisa memotivasi Lanang.

"Iya, Mak? Asyiiik, dibeliin sarung. Asyiiik, terimakasih, Mak." Katanya bersemangat. Hatiku menjadi sedikit lega.

*

Waaah, mesti buru-buru nih. Lanang pulang shalat di Masjid harus sudah jadi. Biar Lanang senang punya sarung.

"Nah, udah jadi. Alhamdulillah. Semoga Lanang suka." Ucapku penuh harap sembari memandangi sarung mungil itu. Di sisi batinku yang lain, sangat berharap semoga Lanang nggak tahu kalau sarung ini kubuat dari rok yang baru kupakai sekali waktu lebaran.

*

"Gimana? Lanang suka?"

"Iyaaa, Mak. Bagus ya, Mak? Terimakasih, Emak Sayang. Sudah membuatkan sarung untuk Lanang." Ungkapnya, mengembangkan senyum bahagia di hatiku. Ah, Lanang.

*

Lanang sudah di rumah waktu aku pulang belanja di warung. Wajahnya tertunduk lemas. Aku menjadi khawatir. Mendekatinya dengan perasaan penuh kasih sayang.

"Kenapa, Nang? Lho, kok sarungnya dilipet gitu? Nggak dipake?" Tanyaku yang langsung mendapat jawaban gelengan kepala.

"Nang? Ada apa?"

"Kata Bapak ini bukan sarung tapi roknya Emak."

Runtuh! Hatiku remuk. Kenapa tega sekali Bapak melakukan itu? Padahal Lanang sangat menyukainya.

The End

Tweet

Postingan terkait:

Ditulis Sakura Sizuoka — Rabu, 21 Januari 2015 — 2 Comments — Roncean Cerita