Pilihan Hati 10

Entah bagaimana kejadiannya, aku agak lupa. Silet itu tak ada dalam genggamanku lagi, yang ada hanya aku dalam linangan air mata. Dalam pelukan Nara aku menumpahkan semuanya. Angin pagi menyemilirkan kesejukan. Menikamku dengan kemesraannya yang kian liar dan menjadi brutal. Carut marut hatiku dalam setiap hembusannya.

Mulutku seperti terkancing. Tak sepatah katapun bisa kuucapkan. Hingga hangat mentari mengingatkanku pada satu hal, Epi masih hidup. Sinar mentari menjadi utusan setia Allah untuk memenadarkan cahaya kasih-Nya. Tergagap aku seolah menyadari sesuatu. Mas Alif?

Tangisku meledak. Kini lebih menyerupai amarah. Masih dalam pelukan Nara aku melecutkan segala rasa. Lepaskan, lepaskan! Bebaskan jiwamu dari derita yang mendera. Semalam itu aku singgah di neraka! Mas Alif yang mengajakku ke sana. Padahal selama ini aku sangat mempercayainya. Selalu berpikir dan meyakini Mas Alif tidak mungkin melakukannya. Mas Alif orang yang baik. Dia mencintaiku dan tidak mungkin akan menjerumuskanku. Menyesatkanku.

Tapi, kenyataannya? Semalam itu? Oooh, Allah. Ampunilah dosa ini. Ampunilah hamba-Mu yang tidak tahu diri ini. Ampunilah Epi-Mu yang telah khianat dan durhaka ini ya, Allah.

"Epi! Jawab Bapak! Setan apa yang sudah merasuki kamu? Bapak bekerja keras untuk kamu. Untuk kamu tuh jadi orang. Bukan malah begini balasan yang kamu berikan! Lihat Mamakmu! Dia berjuang mati-matian untuk membahagiakan kamu. Tapi," Amarah Bapak meledak membuatku menggigil ketakutan. Dalam dekapan Ibu semua ingatanku tentang Mas Alif memudar. Lenyap! Sampai sesuatu memulihkannya. Mas Alif memintaku untuk menjadi isterinya segera. Meski aku maih sekolah, Mas Alif tak mau tahu. Dia bahkan menakut-nakutiku ... Aku bisa saja hamil dan akan menghancurkan semuanya.

"I ... Iya, Pak. Epi, Epi ... Eh, oooh,"

"Ngomong! Kamu bisa ngomong nggak? Sejak kapan kamu gagu?" Bapak membentakku. Hampir saja menamparku lagi. Untung Mamak berhasil mencegahnya.

"Pak, sabar, Pak. Kasihan Epi. Biar dia tenang dulu, Pak. Ayo, Pi. Ikut Mamak ke kamar."

"Aaah, terseraaah! Kamu urusi saja anakmu sendiri!" Sergah Bapak.

Mamak memapahku menuju kamar. Aku tahu dan sangat paham, ketegarannya tak perlu dipertanyakan lagi. Mamak memang wonder womanku.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pilihan Hati 10"

Posting Komentar