Melati Jiwa

Jika perlu, aku akan menegaskannya lagi-cinta ini takkan pernah surut-meski kerikil dan bebatuan menghujani. Langkah hati takkan pernah berhenti. Sedetikpun. Meski onak dan duri menghadang di setiap tikungan tajam. Karena bagiku, hanya bersamalah kebahagiaan sejati.



"Love,"



"Hemmm,"



Desah napasnya menghanyutkanku dalam aliran bening kasih suci ini. Inilah hanyut yang tak mengundang kecemasan. Aku menikmatinya. Sampai hati meneriakkan, "Hanyutlah,"



"Udah dong, nangisnya. Entar cantiknya ilang loh,"



"Ah, Mas. Mulai deh gombalnya keluar," ucapnya dengan suara yang serak-serak seksi. Air mata disusutnya dengan tisu.



"Gitu dooong. Entar kalo love-ku ilang cantiknya, terus cakepku masih utuh kan nggak seru jadinya," kataku menghibur. Aku tahu, ini situasi yang sangat sulit. Orang tuanya sama sekali nggak menyetujui hubungan kami. Alasannya sih klasik gitu. Karena aku belum punya kerjaan mapan.



"Aaah, Mas," manjanya sembari menutup wajahnya dengan telapak tangan. Aku tahu, dia sedang merajuk. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Cinta ini tak direstui. Tak ada jalan untuk kami melangkah. Melatipun harus tumbuh di antara semak belukar.



Melati Jiwaku,



Saat kuncupmu mekar esok hari

Maka hanya akan ada

Aku di sampingmu

Saling mencinta

Suci



Yogyakarta, 2 Desember 2015



Aku masih ingat puisi yang kami tulis di pohon alpukat itu. Puisi yang menggambarkan isi hati kami. Lalu, membiarkannya bersemayam di hati.



"Love, maafkan aku, ya? Gara-gara aku, kamu harus menderita. Tak seharusnya kamu mendapat perlakuan yang menyakitkan ini, Love. Tapi, jujur ... Aku sampai nggak tahu harus berbuat apa,"



"Maaas, aku nggak mau menikah dengan selainmu. Sungguh, lebih baik nggak nikah sama sekali, Mas," ucapnya.



Plaaak ...!

Tiba-tiba Ayahnya datang, tanpa ampun menampar pipi gembil putih mulus itu. Sebisa mungkin aku mencegah, tapi gagal total. Dengan sangat terpaksa aku harus menyaksikan peristiwa menyakitkan itu.



"Pergi kamu! Jangan ganggu Melati lagi! Tidak sudi aku punya mantu miskin dan pengangguran kaya kamu! Pulang!" Serapah Ayahnya.



Entahlah ... Aku menjelma robot yang dikendalikan remote controll. Melangkah pergi, membawa hati yang sudah tak utuh lagi.

---#---

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Melati Jiwa"