Tetes Bening Itu Kamu

Panas!

Taman indah di tepian kolam renang ini menjelma ruang sidang yang sempit dan menegangkan. Menempatkanku pada satu posisi, terdakwa. Duduk di atas kursi dengan wajah pucat, berkeringat dan penat dengan duka yang mendera. Bersiap mendapatkan keputusan apapun dari hakim. Termasuk jika harus mendapat hukuman seumur hidup. Dadaku kembang kempis memahan rasa yang kian bergejolak. Mengendalikan emosi yang nyaris berkobar menjilati semua yang ada. Mama, Papa dan Mas Angger.



Mereka tampak kontras denganku. Duduk dengan santai dan tenang, penuh dengan senyum kemenangan. Seolah yakin, aku akan benar-benar mengalah dengan situasi ini. Padahal, tidak! Tidak akan pernah. Bagiku, Maheswari adalah wanita sempurna lahir dan batin yang akan menjadi pasangan jiwaku. Kesempurnaan memang bukan pakaian bagi manusia, hanya Allah Yang Maha Sempurna. Tapi, setidaknya Maheswari menjadi sempurna di hatiku. Cantik, shalihah dan yang pasti mencintaiku dengan ketulusan tingkat tinggi. Aku memahaminya, lebih dari lelaki manapun di dunia ini. MAHESWARI. Wanita berhati lembut dan penuh kasih sayang. Berparas ayu, berkulit putih susu, begitu indah bak mawar merah merekah dalam balutan hijabnya. Bodohnya aku, kalau sampai mengabaikan kehadirannya.



Aku sudah membuat komitmen paling penting dalam hidup ini dengan Maheswari. Menerima dirinya apa adanya. Semua kekurangan dan kelebihannya, dengan segenap jiwa dan ragaku. Sepenuh hati. Sejak hati ini memproklamirkan diri untuk menjadi kekasih sejatinya, aku tak pernah memprioritaskan soal fisik. Meski dia cantik, putih, perawakannya tinggi semampai, hidungnya mancung, bibirnya merah dan seksi, matanya indah, ditambah dengan kedua lesung pipit di pipinya ... Bukan karena semua itu juga aku mencintainya. Jujur, aku mencintainya karena Allah. Tulus. Bahkan, setelah tahu kalau sesungguhnya Allah menjadikan Maheswari seorang hamba yang istimewa-dia menyandang tuna wicara-tak sedikitpun hatiku beringsut, apalagi mundur. Justru aku semakin mencintainya. Menyayanginya. Aku ikhlas menjadi juru bicara baginya, sepanjang hayat. Menjadi penerjemah bahasa isyaratnya. Aku ikhlas.



"Galih, Papa nanya sama kamu!" Papa membuyarkan jiwaku yang tengah bersemayam dalam mimpi dan cita-citaku bersama Maheswari. Aku tersentak kaget. Sebisa mungkin, bersikap santun dan tenang. Tak mau menjadi antagonis dalam menyikapi masalah ini.



"Iya, Pa. Aku ..."



"Mbok kamu tuh yang sopan to, Galih. Papa tuh kan udah capek ngurusin kita, kerja keras, banting tulang. Masak kamu udah segede ini ditanya malah diam saja." Mama menyahut dengan sikap keibuannya. Wajahnya sedikit memerah, mungkin Mama mengkhawatirkanku. Atau, takut terjadi keributan lagi antara aku dan Papa. Kulihat Mas Angger sibuk dengan Badai, anak pertamanya.



"Em, iya, Ma. Aku jawab kok," kataku kalem. Bagaimanapun, Mama itu pahlawanku. Satu-satunya orang di rumah ini yang mengerti dan memhamiku. Jadi, terus terang, aku lebih bisa mendengarkan Mama dibandingkan Papa yang egois dan suka memaksakan kehendaknya-bagiku, Papa itu diktator yang tidak kunjung insaf-kepada siapa saja. Terutama aku. Padahal, aku paling tidak suka dipaksa.



"Apa?" Papa membentakku, sembari meletakkan cangkir kopinya yang sudah kosong dengan kasar. Badai dan Mas Angger berhenti cekikikan waktu itu terjadi. Bagaimana tidak? Kolaborasi cangkir kopi Papa dan meja kaca jelas menimbulkan suara aneh yang mengagetkan.



"Aku, tetap memilih Maheswari dan tetap akan menikahinya. Apapun yang terjadi,"



"Galih!"



"Ya, Pa?"



"Kamu ini sudah gila?" Papa mulai murka. Wajahnya merah padam. Badai terlihat ketakutan. Mas Angger lalu mengajaknya masuk. Menggandengnya tangan mungilnya. Sebelum beranjak, Mas Angger menatapku dalam. Sayang sekali, tatapan itu masih gagal untuk kuterjemahkan. Apakah Mas Angger akan mendukungku? Atau tetap mengamalkan prinsip GNB-Gerakan Non Blok-yang selama ini dipegangnya dengan kuat? Satu yang membuatku tenang sorot matanya teduh, artinya oke.

"Memilih, Pa. Bukan gila," jawabku membela diri. Mama memberikan kode untuk diam. Diam? Mana bisa? Bayangan Maheswari duduk manis di hadapanku. Tatapan matanya menyiratkan harapan. Senyum manisnya melukiskan kelapangan dadanya. Siapa yang akan bisa diam kalau begitu? Atau aku satu-satunya yang melakukannya? Bahkan, aku tak peduli andai memang hanya aku yang punya sikap begitu. Bagiku, Maheswari bukan hanya sekedar sempurna tetapi juga istimewa.

to be continued

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Tetes Bening Itu Kamu"

Posting Komentar