Benang Takdir

Setiap kita, seperti layaknya layang-layang, pasti terikat oleh benang takdir. Dialah yang akan membuat kita terbang melayang di ketinggian angkasa atau terjatuh dan meluncur ke daratan. Benang takdir. Aku sangat mempercayainya, meski kadang harus berlinangan air mata oleh setiap kejutan yang dipintalkannya.


"Umi, Alika mau itu," celotehnya.

"Iya, Sayang. Alika mau apa?" Tanyaku, sembari mendekat.

"Itu, Umi," katanya sambil menunjuk sesuatu di kolong tempat tidur. Aku penasaran. Kulongok ke sana dan seketika jantungku serasa tak berdetak. Allahu Akbar, apa itu? Tanya hatiku. Kotak apa itu? Kenapa selama ini aku nggak tahu ada kotak di sana? Abi juga nggak pernah ngasih tahu. Apa ya? Batinku berkecamuk.

"Oh, iya, Alika Sayang. Umi ambil yaaa? Sebentar ya?" Kataku menahan semua perasaan dan debar di dada yang menyerupai gelombang pasang.


*

Kalau saja Allah tak menguatkan, yakin takkan sanggup menghadapi semua ini. Kenyataan yang Allah hadirkan. Semacam tirai rahasia yang tersingkap. Abi ... Nggak nyangka sama sekali. Abi begitu tega melakukan ini. Bahkan, sudah sama dengan usia Alika. Tiga tahun. Ya, Allah, episode seperti apa yang tengah Kau hadirkan ini?

"Umi nangis?"

"Enggak, Sayang,"

"Itu, nangis. Alika nakal ya sama Umi?"

"Enggak, Sayang. Alika kan anak shalihah. Sayang, cuci kaki-tangan, sikat gigi terus wudhu yuk? Bentar lagi, Abi pulang lho." Kataku mengalihkan. Alhamdulillah, Alika menurut. Meski aku tahu dia penasaran. Tapi, nggak mungkin aku ngasih tahu Alika tentang kenyataan pahit ini.

"Okeee, Umi Sayang." Celotehnya, menghiburku. Mimiknya yang lucu begitu menggemaskan.

*

Alika gelisah. Tidak seperti biasanya. Tidurnya tidak tenang. Mungkin, karena aku juga sedang gelisah. Ini wajar, hubungan psikologis anak dan ibu. Ah, bagaimana aku tidak gelisah? Abi jahat!


"Assalamu'alaykum, Permata Hati dan Bidadari Surga Abi," ucap Abi dari balik pintu. Kutinggalkan Alika di kamar. Semoga nggak kebangun lagi. Bisik hatiku, sembari menyalakan kipas angin. Panas sekali malam ini.

"'Alaykumusalam, Bi," kataku berusaha untuk tetap tenang. Aku harus tenang. Agar bisa klarifikasi dengan baik. Intinya, aku nggak mau ribut.

"Maaf, Sayang. Abi terlambat pulang," ucapnya terbalut rasa bersalah. Aku hanya mengangguk saja. Menutup pintu dan mengikuti Abi menuju ruang makan.

"Makan, Bi,"

"Sudah. Eh, ada yang nraktir tadi. Temen kantor," katanya dengan pandangan tertunduk. Aneh! Biasanya sekenyang apapun, Abi selalu makan. Meski hanya sekedar menjaga perasaanku semata.

"Oh, minum apa, Bi? Aku buatin kopi?"

"Emmm, nggak usah. Eh, udah tadi,"

"Oh, iyaaa ... Lupa, kalau Abi udah makan. Makan dimana, Bi? Sama siapa?" Entah dari mana ide itu? Biasanya aku mirip kerbau yang dicucuk hidung di depan Abi. Tiba-tiba semacam "motor" menggerakkan lisanku.

"Sama ...,"

"Hem?" Tanyaku, menelisik.

Diam.
Terdiam kami dalam posisi masing-masing. Sungguh, air mataku sudah menyembul di pelupuk. Sekuat mungkin kutahankan agar tak merembes. Aku harus bicara dan tak suka ada air mata.

"Abi?"

"Iya, em, Sayang?"

"Salamku untuk Reihana dan Sabila," kataku sedikit tersendat. Ada semacam jarum menusuki waktu mengucapkan itu. Aaah, nyeri sekali.

Abi sontak berdiri, berusaha merangkulku namun aku menghindar. Aku sedang tak ingin bermesraan. Bagiku itu akan menjadi hambar! Karena hatiku sudah terlanjur memar.

"Stop, Bi. Jangan rangkul, jangan! Abi jangan deketin aku! Jangan! Aku bisa sendiri. Aku bisa sendiri. Abi ... Kenapa mendustai aku? Abi tega menduakan aku! Abi jahat! Abi khianat! Abi nggak jujur sama aku, sama Alika. Kenapa, Bi? Kenapa?" Emosiku menggelegak! Meledak! Tak terkendali. Lalu, saat Abi hendak mengatakan sesuatu, aku justru berlari menuju kamar. Tangisku pecah. Berhamburan. Aku tahu, Abi menyusulku. Tapi sungguh, aku tak peduli. Bahkan, aku hanya ingin segera pergi. Pergi! Jauh!

Buku nikah Abi dan Reihana, Akta Kelahiran Sabila tergambar jelas di mataku.

Aku kalap.
Dengan menahan segala sakit dan perih, memasukkan semua pakaianku dan Alika ke koper. Yang terlintas dalam benakku hanya satu. Pergi!

"Umi, tolong dengarkan penjelasan Abi," ucapnya, tepat di saat aku menggendong Alika.

"Nggak perlu, Bi! Nggak ada yang pelru dijelaskan lagi! Aku udah tahu semuanya. Maaf, aku harus pergi. Alika biar sama aku,"

"Umi, please ... Ini nggak seperti yang kamu bayangkan, Mi!"

"Oh yaaa? Lalu apa? Sandirwara? Khayalan? Apa?"

Plaaak!
Tamparan itu tiba-tiba mendarat di pipiku. Aku terhenyak. Sakit lahir dan batin. Luruhlah air mata itu. Luruh, menghanyutkanku dalam samudera duka. Sejujurnya aku tak bisa berucap apapun selain menangis.

"Ini Reihana. Gadis korban perkosaan, dia hamil dan tak ada seorangpun yang mau jadi suaminya. Jadi, aku terpaksa, Mi. Demi masa depan mereka. Reihana dan Sabila. Anaknya."

"Iya, bagus, Bi! Kenapa Bi nggak nikahin semua korban perkosaan di negeri ini, Bi? Kenapa?" Tanyaku masih dengan gelegak amarah.

"Kamu mau tahu? Karena Reihana ini hafidzah ... Dia hanya korban, Mi! Aku mohon ikhlasmu." Biskiknya sambil mendekapku.

Hafidzah?
Negeri macam apa yang aku agung-agungkan ini?
Sehingga Hafidzah pun bisa menjadi korban perkosaan?
Apakah seorang Hafidzhah juga mengumbar aurat sehingga memancing nafsu setan?
Pemerkosa?

Oooh, Reihana.
Jujur, aku bingung. Haruskah aku menerimamu? Jikapun tidak, Abi sudah menikahimu. Tegakah aku membiarkanmu menderita bersama Sabila?

The End

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Benang Takdir"

Posting Komentar