Bismillaah
In Your Love A mini story by Sakura Sizuoka
Ummm, jadi, Kakak itu sudah menikah? Maksudku, sudah beristri? Eh, sama saja kan? Duuuh, aku kalau lagi kaget begini, sukanya ribet! Ya, maaf aja kalau menulis ceritanya juga jadi ribet. Eh, tapi istrinya Kakak itu sudah meninggal. Belum lama sih katanya, baru setahun atau berapa bulan gituh. Nah, duda ya namanya?
Aku, baru saja dikasih tahu Kakak, pas lagi inboxan. Iyaaa, benar! Kami kan ketemunya di facebook. senyum Dari chatting di inbox, semua berjalan natural. Jangan kaget gitu dooong, please! Aku, yang mengawali hubungan ini. Ummm, maksudku, aku yang pertama kali mengatakan kalau aku jatuh cinta sama Kakak. Menurut kalian aku ini tipe cewek seperti apa sih? Berani dengan jujur dan terbuka mengungkapkan perasaan cinta ke cowok?
Wait, sebelum sama Kakak, aku belum pernah jatuh cinta loh! Serius, nih! Yaaah, at first, aku tidak tahu kalau aku jatuh cinta. Hanya merasa kangeeen, teruuus. Tidak chatting sehari, serasa mati! Pesan tidak direply, rasanya mau bunuh diri! Teruuus, suka ngelacak-ngelacak kronologinya gituh. Sukkkaa, deh sama status-status Kakak di facebook. Syar'I bangeeet. (Ini fakta, bukan memuji).
Dari situlah, aku jatuh cinta! Parah ya? Sampai terkikik gitu! Yaaa, pasti setiap kita suka sama orang lain, ada hal yang menyebabkannya kan? Masa tidak? Terus, bagaimana? Asal suka gituh? Kan, tidak mungkin!
Any way, akhirnya, aku jujur sama Kakak ... I love you!
Itu, aku telepon tengah malam waktu Indonsia loh, dan Kakak sepertinya sudah ngantuk berat! Penembakan yang tepat! Sasaran menyerah tanpa syarat!
Iyeees, Kakak menerima cintaku. Blak-blakan, Kakak cerita semuanya. Termasuk, tentang istrinya yang sudah meninggal itu.
"Apa Adik ndak akan menyesal mencintai Kakak? Kakak ini dhaif lho. Faqir. Nggak ada seujung kukunya orang tua Adik. Dan Kakak juga udah pernah menikah. Apa Adik udah mikirin ini baik-baik?" Yaelaaah, sudah Kak. Sudah baik-baik dan benar-benar. Yang penting, Kakak mau ya menikah sama Mahya? Maksa banget tidak sih aku?
Kaget, tahu Kakak sudah menikah? Jelas laaah, hanya saja, itu tidak mempengaruhi rasa cintaku sama Kakak. Aku minta foto Mbak, dan segera dikasih sama Kakak. Manis. Shalihah. Semoga meninggalnya husnul khatimah. Aamiin.
"Ummm, mahya sudah memikirkan semuanya, Kak. In syaa Allaah, tidak masalah! Bagi Mahya yang terpenting dalam hidup ini adalah iman dan taqwa kita kepada Allaah, bukan harta dan tahta!" Cieeeh, sok dewasa banget ya, aku? Padahal umurku juga belum genap delapan belas tahun! Eh, kalau mau nikah kan harus mendewasakan diri? Iya tidak sih? Hehe.
"Oke, kalau memang udah dipikirkan. Tapi, bagaimana dengan keluarga Adik? Apa bisa menerima keadaan Kakak yang seperti ini? Sudah miskin, duda, tua lagi," ini yang aku suka dari Kakak. Bersahaja dan apa adanya. Tidak satu hal pun ditutupinya dariku. Bukankah itu pribadi yang keren?
"Ummm, soal Bunda, nanti biar Mahya yang mencerahkan, Kak." Cieeeh, mencerahkan. Memangnya Bunda sedang mendung? Hihi.
Okeee, akhirnya, kami sepakat untuk menikah! Tidak berpacaran dan akan segera menikah. Kakak akan mengkhitbahku sesegera mungkin, setelah aku bebricara dengan Bunda. Alhamdulillaah, ucapin selamat dong? Masa diem gituh!
Sebelum menutup telepon, aku sempat bilang sama Kakak, "Mahya akan mencintai Kakak seperti Mbak mencintai Kakak. Meski tidak bisa sebaik Kakak, in syaa Allaah, Mahya akan belajar dan terus belajar untuk menjadi (minimal) seperti Kakak dan berusaha sebisa mungkin untuk menjadi (lebih) baik," dan Kakak berucap syukur. Aku dengar desah napasnya bercampur isak tangis. Haru mungkin, dan aku juga membiarkan air mataku melinang bahagia!
Kusimpan foto Mbak baik-baik. Akan kucetak besok, sama foto Kakak, dan fotoku. Yaaah, bagaimanapun Mbak kan pernah menjadi bagian dari hidup Kakak. Aku, harus bisa menerima hal itu! Harus! Karena aku cinta Kakak, maka harus bisa menerima semuanya. Tanpa keccuali!
Gituuuh, ceritanya. Buuut, what ever laaah, yang penting, aku cinta! Lagian, Mbak kan sudah meninggal. Jadi, aku pikir tidak masalah kan? Duuuh, aku kalau sudah cinta, takkan mudah untuk berpaling loh. Beneran! Tapi, kalian tahu tidak? Ini, maksudku Kakak itu, cinta pertama dan terakhirku! Serius nih, kok malah tertawa gitu sih? Aku tidak lagi bercanda nih!
Emang cinta itu salah ya? Emang cinta itu harus sama ya? (Status dan umurnya?) Tidak kan? Emang cinta itu kita yang menentukan ya?
Sepertinya tidak deh! Buktinya, banyaaak baaangeeet tuuuh, yang berpacaran puluhan tahun lamanya, eh, tudak jadi menikah. Terus, ada banyaaak juga yang tidak kenal sama sekali, eh begitu kenal langsung deh nikah. (Ya, tidak langsung nikah saat kenalan siiih. Kalian mengerti maksudku kan?) Teruuus, ada juga yang dipaksa-paksain nikah, eh akhirnya berpisah juga. Padahal sudah belasan tahun bersama dalam rumah tangga! (Ini, fakta yang sering kudengar dari berita infotainment)
So, benar kan, kalau cinta itu bukan kita yang menentukan? Atau kita? Eh. Jadi bingung.
Jadi, masalahnya adalah Bunda menentang dan tidak menyetujui hubunganku sama Kakak. Sama sekali tidak merestui cinta kami. Mati-matian aku memberikan penjelasan sama Bunda, tapi sepertinya Bunda tetap teguh pendirian.
"Eling, Ndhuk! Inget! Kamu ini keturunan Ningrat! Masa mau nikah sama siapa itu namanya? Wanto? Insyaf Nduk! Sadar! Apa yang membuatmu makanthil-kanthil sama dia tu apa? Miskinnya? Dudanya? Umurnya yang sama dengan umurnya Paklikmu? Duh, Bunda nggak nyangka, Ndhuk, Ndhuk. Tega kamu nyakitin hati Bunda ...!" Seeediiih. Reeemuuuk! Bunda kalau sudah begitu, tidak bisa diganggu gugat lagi! Hikaaa.
***
"Jadi, Kak. Bunda tidak menyetujui kita. Bunda, melarang Mahya berhubungan sama Kakak. Bunda ....," aku tidak bisa melanjutkan. Hanya air mata yang berderai menceritakan rasa sakit dan remuk di hati ini. Harus kah, cintaku yang bahkan belum berkembang layu dan mati? "Sudah, Dik. Ndak usah nangis. Ndak apa-apa. Bunda hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Adik. Kakak sadar diri dan yaaah, sudah jangan sedih!" Kakak baik banget kan? Kakak bahkan tidak tersinggung dengan semua ucapan Bunda. Padahal, kuceritakan semuanya. Tanpa sensor!
Itu, komunikasi terakhirku sama Kakak. Bunda melarangku berhubungan dengannya. Menghapus nomer HP Kakak, memblokir akun Kakak, men-delete contact PIN Kakak. Menghapus Kakak dari hidupku! Jujur, aku hanya ingin segera lenyap dari kehidupan ini!
***
Aku sakit. Mungkin, karena sedih yang berkepanjangan. Kehilangan selera makan dan tidak bisa tidur nyenyak selama berbulan-bulan. Bunda membawaku ke Dokter dan kata Dokter, aku harus dirawat. Demamku tinggi!
"Ndhuk, jangan sakit. Bunda sedih banget kamu sakit," yaaah, Bunda sedih Mahya sakit. Tapi, Bunda tidak peduli dengan perasaan Mahya benar-benar mencintai Kakak, Bunda. Tulus. Ikhlas lillaahi ta'ala.
"Janji sama Bunda, untuk cepet sembuh. Ya, Ndhuk?" Janji? Janji bagaimana Bunda? Mahya mau sembuh, kalau Bunda merestui Mahya menikah sama Kakak.
"Nah, Bunda ke bagian administrasi dulu ya? Kamu istirahat dulu. Bunda cuma sebentar kok." Iyaaa, Bunda. Lama juga boleh. Jujur, Mahya, belakangan ini jauh lebih tenang kalau tidak bersama Bunda. Sejak Bunda membuat Mahya tidak bisa berkomunikasi sama Kakak.
***
"Mahya, lihat siapa yang datang!" Suara Bunda ceria. Siapa sih? Aku membuka mata perlahan, penasaran. Whaaat? Oooh, kenapa aku harus membuka mataku? Kenapa? Kalau hanya untuk melihatnya ada di sini, mendingan mata ini terpejam selamanya. Selamanya!
"Salim dong sama Masmu. Lama kan ndak ketemu?" Dia itu Mas Wijaya, yang kata Bunda mau dijodohkan sama aku. Ogaaah! Aku sudah punya cinta. Dan itu Kakak. Sampai mati pun aku tidak mau dijodohkan! Titik.
"Mahya, gimana keadaan kamu? Udah enakan to? Maaf baru bisa nengok. Mas sibuk terus," siapa juga yang minta ditengok! Amit-amit! Pergi saaaanaa, aku mau tidur! Mau mimpi, mimpi nikah sama Kakak.
"Nah, Mahya, kamu sama Masmu dulu ya? Bunda ketemu Dokter dulu sebentar. Katanya, kalau ndak besok ya lusa kamu udah boleh pulang. Tuh kan, Nak Wijaya, Gendhuk langsung sembuh ditengoki panjenengan?" Cuiiiih! Amit-amit. Aku maraaah, duh, pingin rasanya mencopoti jarum infus ini. Dan pingin sekali menendang Mas Wijaya sekeras mungkin agar segera beralalu dari hadapanku.
"Mahya, kamu marah sama Mas? Kamu ndak suka Mas di sini? Mas pulang ya? Mas ...," halaaah, pulang aja! Saaanaaa! EGP!
"Oh ya, kamu jangan salah paham sama Mas. Jujur ya, Mahya. Mas, ke sini ini, hanya untuk menyenangkan hati Bulik. Ndak lebih. Mas juga ndak suka kok dijodohin. Beneran deh!" Haaalaaah, gombal! Bilang ajaaa, kesempatan!
"Kalo ndak percaya, nih kamu liat," Mas Wijaya menunjukkan selembar foto yang ada didompetnya. Itu, foto Mas Wijaya sama ...? "Ini, Mbak westri. Kami saling mencintai. Kalau ndak ada aral melintang, Syawal nanti kami akan menikah. Tapi, kamu jangan bilang-bilang dulu ya sama Bulik, bisa ribet nanti urusannya!" Lega, lega, lega! Setidaknya, Mas Wijaya sudah punya calon istri. Fiiiuuuh, alhamdulillaah. Ini, baru berita gembira membahana sepanjang masa!
"Emmm, iya deh Mas. Selamat ya? Eng, Mahya minta maaf ya, Mas?" Merasa bersalah nih. Sudah jutek banget! Mas Wijaya mengangguk sambil tersenyum simpul.
***
7 Syawal 1436 H. Pukul 10.00 WIB. Gedung Graha Shaba sudah dipenuhi oleh tamu undangan. Hilir mudik. Silih berganti, datang dan pergi. Pesta pernikahan tergelar begitu meriah. Hingar bingar mewarnai gedung yang beraura sakral itu. Musik dan nyanyian Jawa, mengalun merdu menyeruakkan bahagia hingga ke angkasa.
Mahya tertunduk pilu. Ai mata duka terus saja berlinangan. Tidak dipedulikannnya ratusan tamu undangan yang hadir dan menyalaminya dengan penuh kegembiraan. Hatinya remuk redam. Bedarah-darah. Bernanah!
Bunda dan Mas Wijaya telah bekerjasama untuk mendustainya. Untuk mengelabuhinya. Mengatur pe
Belum ada tanggapan untuk "In Your Love"
Posting Komentar