Sore Itu Di Amsterdam

hati-semerah-darah.jpg

Bismillaah

Sore Itu Di Amsterdam

A story by Sakura Sizuokaa

Air matamu bergulir. Kau menangis, aku tahu itu. Sebab, niqabmu menjadi basah. Oh, kebodohan paling bodoh yang pernah kulakukan seumur hidupku. Sudah membuatmu menangis. Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin, kau menjadi wanitaku sepanjang masa. Menemaniku hingga akhir hayatku. Itu saja!

"Noudry?" Aku membuka suara lagi. Sebenarnya, sedari tadi aku yang berbicara. Kamu diam saja. Apa kau sedang tak ingin bersuara? "Jadi, bagaimana?" Aku sungguh tidak sabar. Aku ingin segera menyuntingmu, bunga terindah di Amsterdam.

"Afwan." Afwan? Apa itu? Siapa? "Noudry tidak bisa." Ha? Itu jawabanmu? Setegas itu? Seyakin itu?

"Oh. Well, kenapa? Bisa diberi penjelasan?" Aku marah. Kecewa. Kesal. Namun kutahankan atas rasa cinta yang menggelora ini.

Kau diam. Lagi? Ah!

"Noudry?" Aku setengah berteriak. Oh, maaf. Aku tidak sabar. Hanya itu!

"Ya. Afwan. Maaf. Noudry tidak bisa. Tuhan Noudry melarang Noudry untuk berpacaran. Bahkan, berdua denganmu seperti ini, Tuhan Noudry melarang. Afwan. Noudry harus pulang." Jelasmu lembut dan sopan dalam isak tangis. Oh? Tuhanmu melarangmu berpacaran? Berduaan? Tuhan seperti apa yang kau sembah itu, Noudry?

"Boleh aku bertemu Tuhanmu?" Tanyaku. Entah kenapa, hatiku bergelenyar. Aneh! Aku tahu Tuhan itu ada. Meskipun aku tidak pernah menyembah dan berbakti padanya. Tapi, kali ini aku merasa dekat dengannya. Tuhan itu. Tuhanmu? Mungkin.

"Tentu boleh, Meneer." Jawabmu masih dengan nada lembut yang semakin membuatku terhanyut. "Silakan, tapi aku harus segera pulang." Tegasmu dan kulihat kau setengah berlari meninggalkanku.

Aku bergeming.

Mematung di bangku kayu. Tuhan Noudry. Tuhan yang melarangnya untuk berpacaran dan berduaan. Oh, baik sekali Tuhan Noudry itu. Dimana aku bisa menemuinya? Gereja? Masjid? Pure? Wihara? Kelenteng? Di mana?

"Noudry!" Panggilku dengan berteriak. Aku berlari setelahnya. Mengejarmu. Kulihat kau terus berjalan. Ah! Kau keras kepala juga. Apa itu karena Tuhanmu itu? Kau baik sekali, Noudry.

"Noudry, pertemukan aku dengan Tuhanmu. Mohon," aku menjajarimu yang semakin cepat melangkahkan kaki. "Noudry?"

"Ya, Meneer. Apa kau sungguh-sungguh?" Kau menghentikan langkah.

"Ya. Aku sungguh-sungguh." Kataku dan saat itu, kulihat matamu seindah dasar samudera.

"Temui Ustadz At-Taqi. Beliau yang akan mengantarmu bertemu Tuhanku." Katamu dengan jelas. Dan aku mengingatnya dengan jelas pula.

Aku mengangguk. Oke. Kuminta alamat tinggalnya dan setelah itu, kau kembali meninggalkanku. Di Amsterdam. Kau tahu? Sore ini, akan menjadi sore terindah yang pernah ada dalam hidupku.

"Tunggu, Noudry. Jadi agama apa yang diberikan Tuhanmu untukmu? Dan aku?" Tanyaku menyusulmu.

Kali ini sangat bahagia, kau berhenti dan menjawab, "Islam."

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sore Itu Di Amsterdam"

Posting Komentar