Katamu Sebelum Pergi

heart-on-snow.jpg

Bismillaah

Katamu Sebelum Pergi

A story by Sakura Sizuoka

Saat itu masih di musim semi. Aku memenuhi undanganmu. Itu mengingatkanku pada hari lahirmu. Rinai, 14 Juni 1994. Oh, jadi kau mengundangku untuk merayakannya, Rinai? Baiklah aku akan datang.

Benar, aku datang. Kau terlihat sangat mempesona dengan setelan gamis dan kerudung hitam polos, lengkap dengan niqab menutupi wajahmu. Entahlah, bagaimana bisa aku mengambil kesimpulan tentang ragamu, Rinai. Kau selalu terlihat begitu anggun. Ma syaa Allaah. Astaghfirullahaladhim. Terkadang aku merasa berdosa saat mengagumimu. Allaahu Akbar.

Kau sedang duduk di kursi rodamu, saat aku masuk di ruang tamu. Terlihat sedikit terkejut dengan kehadiranku. "Wa'alaykumussalam, Kak." Jawabmu sedikit gugup. Itu, membuatku terjalari kegugupan.

"Rinai," kataku dan hanya itu yang sanggup kuucapkan. Lalu, derit kursi rodamu menyadarkanku akan sesuatu. Aku harus memberikannya. Kado untukmu. Kalung mutiara yang sudah lama kusimpan untukmu. Semoga kau menyukainya. Bukan karena itu mutiara, tetapi karena itu pemberianku.

"Kakak." Katamu semakin gugup. Hatiku mengkerut. Apa kita hanya berdua saja di ruang tamu ini? Di rumah ini? Oh, tidak! Itu dosa!

"Rinai." Sahutku dan entahlah, rasanya ku menjadi gagu. "Mommy?" Aku menanyakan mamamu. Untuk menyembuhkan penyakit gugupku. Ini sudah semakin parah.

"Ada, Kak. Sebentar lagi turun." Jelasmu dan aku menjadi kaku. Suaramu sungguh merdu, Rinai. Semerdu nama lengkapmu. Rinai Salju.

"Oh, iya." Jawabku lugu. Selugu orang yang tersesat di negeri antah berantah selama berminggu-minggu di atas titik kepasrahan yang beku.

Benar, tak lama setelah itu, Mamamu turun. Bersama kedua adik kecilmu. Mereka lucu. Aku menyapa mereka seramah yang aku bisa.

"Rinai ingin sekali Nak Bumi datang. Maafkan jika sudah merepotkan," Mamamu berujar sembari memberikan kode mempersilakanku duduk. Aku menurut.

"Oh, iya. Tidak merepotkan kok, Tante. Saya senang." Aku memilih duduk di kursi yang terletak di sudut ruangan. Kau memperhatikanku? Aku tidak tahu, tapi kurasa begitu.

Acara yang meriah. Sederhana namun mampu mencipta bahagia yang luar biasa. Kau membaca Surah Maryam sampais selesai dengan tartil. Kau tahu? Aku terhanyut mesra di dalamnya. Bukan karena suaramu yang merdu, tapi karena kedalaman maknanya. Ah! Andai kau halal bagiku. Betapa beruntung dan bahagianya aku. Dikaruniai istri seorang hafidzah.

"Rinai," ucapku setelah acara berakhir. Mamamu sudah mendoakanmu, begitu juga kau. Sudah melantunkan doa terindahmu untuk harapan dan masa depanmu.

"Ya, Kak?" Sahutmu antusias.

"Kakak ada ini untukmu," aku kikuk. Kuletakkan kotak kecil yang sudah kubungkus dengan kertas kado bercorak tulip merah kesukaanmu di meja. "Semoga kamu suka." Tambahku dan jujur, aku semakin kikuk.

"Thaaanks, Kak. Rinai suka, Rinai suka." Lonjakmu. Ah! Andai kau tidak harus dibantu kursi roda, Rinai. Aku membayangkan kau akan segera mengambil kado itu dan membukanya dengan wajah berseri-seri. Oh. Maafkan aku, Rinai. Tentu keadaanmu yang sekarang ini, ketentuan terbaik dari Allah.

"Alhamdulillaah," bisikku. Sungguh, aku berbisik. Rasanya suaraku bersembunyi di kerongkongan. "Kakak pamit dulu ya?"

Kau mengangguk. Aku berdiri dan saat itulah kulihat tubuhmu melemas? Entahlah, yang jelas, tiba-tiba kau terkulai. Tersandar di sandaran kursi roda dan tak sadarkan diri.

Mamamu dan aku panik. Terutama aku. Lalu, mamamu menelepon doktermu dan aku? Apa yang harus kulakukan?

"Tolong pasangkan ini, Nak Bumi." Pinta mamamu sembari mengangsurkan tabung oksigen mini. Oh iya. Ini wajib. Darurat, pikirku.

Kupasangkan selang lembut itu di hidung mancungmu. Hati-hati namun dengan kecepatan super yang kumiliki. Aku takut terjadi yang buruk padamu. Alhamdulillaah, sukses. Kau mulai bernapas. Lega rasanya. Meski belum siuman tapi kutahu, kau bernapas.

"Bagaimana, Tante? Dokter bisa datang?" Tanyaku semakin panik. Suaraku bergetar. "Atau kita bawa Rinai ke rumah sakit?" Aku diujung kepanikan. Melihat tubuhmu tergolek lunglai dan wajahmu kian memucat.

"Bumi, bisa tolong pindahkah Rinai ke sofa? Dokter akan datang sebentar lagi." Mamamu terlihat tenang---menenangkan diri, tepatnya---sambil meletakkan gagang telepon. "Tante ke atas sebentar." Imbuhnya dan tanpa menunggu detik berlalu, berlari menuju tangga. Kedua adik kecilmu terlihat bingung. Aku berusaha tersenyum ke arah mereka. Senyum paling kecut yang pernah kupunya.

Tanpa menjawab, dan kurasa mamamu tidak membutuhkan jawabanku, kupindahkan tubuhmu ke sofa. Kau tahu? Jantungku berdebur-debur! Seperti ombak berkejaran di lautan lepas sana. Harum aroma napasmu, sunggu menelusup jauh ke dalam relung hatiku. Astaghfirullaahaladhim.

Kugenggam pergelangan tangan kirimu. Oh, tidak! Aku hanya ingin memastikan denyut nadimu. Melemah dan itu membuatku semakin berada di ujunng tertinggi dan termiring kepanikanku. Nyaris menggelinding.

Dokter datang sekitar lima menit dari sejak mamamu selesai menelepon tadi. Dengan sigap, memeriksamu yang masih tak sadarkan diri. "Kita harus segera membawa Rinai ke rumah sakit. Segera!" Ia menegaskan dan aku menjadi bergidik. Merinding sekujur tubuhku.

"Oke, Dokter. Bumi bisa tolong Tante? Kamu temani Rinai, Tante menyusul bersama Nada dan Senandung." Ujar Mamamu getir dengan suara gemetar. Aku mengiyakan dan segera kubantu dokter mengangkat tubuhmu menuju mobilnya. Tepatnya, aku menggendongmu.

Seumur hidup, baru sekali ini aku menyentuh wanita daan itu kau, Rinai. Daan itu karena darurat. Namun, kau tau? Aku terjerat dalam gelombang hasrat! Aku tahu penyebabnya, Rinai. Sebab, aromana napasmu yang begitu harum. Harum. Ia begitu lembut menjalari penciumanku.

Mobil melaju dengan kecepatang sedang---cukup tinggi---di tangan driver. Dokter terdengar sibuk menghubungi pihak rumah sakit. Sementara aku, hanya bisa memejamkan mata. Melantunkan dedoa dalam hatiku.

Allah, berikanlah kekuatan-Mu untuk Rinai. Dia hamba-Mu yang sangat baik.

"Kak," suaramu kah itu? Terdengar lirih sekali. Kubuka mataku untuk meyakinkan.

Oh iya, itu suaramu. Kulihat, matamu terbuka dan kau menatapku? "Rinai?"

"Kak," oh aku senang sekali. Segera kuberi tahu Dokter tentang kabar menyenangkan ini. Dokter yang masih menelepon menghentikan sambungan telepon sejenak dan memastikan kau baik-baik saja.

"Rinai." Ucapku dan hanya itu kata yang kupunya.

"Allaah, Kak." Katamu dan aku mengangguk.

"Allaah," ulangmu dan aku mengangguk.

"Allaah," katamu lagi dan aku mengangguk lagi dan setelah itu aku merasakan jantungku merosot jatuh.

"Dokter!" Bergetar kutepuk pundaknya. "Rinai,"

"Ya, kita sudah sampai." Dokter menjawab dan kurasakan mobil berhenti.

Tepat di saat aku menurunkan kaki kananku, kau menghela napas berat, mendesah dan bersama Asma Allah ... Kau menghadap-Nya. Innalillaahi wainna Ilaihi raji'uun.

---#---

Rotterdam, September 2015

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Katamu Sebelum Pergi"

Posting Komentar