Bismillaah
---Sajadah Cinta---
Seperti pelangi yang terlahir selepas gerimis, melengkungkan lukisan tujuh warna indah di angkasa. Seperti fajar, menyemburatkan sinar jingga di ufuk-Nya. Seperti dhuha, mengantarkan mentari meniti lengkungan tangga cinta-Nya. Seperti tengah hari, membiarkan mentari bertahta di atas singgasana angkasa. Terik menyirami bumi dengan hangat kasihnya. Seperti senja, mengantarkan mentari kembali pulang ke persemayaman suci-Nya. Seperti malam, dimana angkasa menjelma panorama indah penuh pesona. Taburan berlian angkasa dan lengkungan sabit di antara tarian kekapas lembut!
Seperti itulah, arti kehadiran Tsun dalam hidup Puri. Betapa rasa syukur dalam balutan kebahagiaan tiada akan pernah usai untuk dilantunkan. Betapa damai nyata memelukinya sepanjang waktu. Betapa semua itu, terasa begitu indah di pelataran kalbu. Baginya, Sajadah Cinta yang tergelar di hadapannya kini, Amanah Suci. Takkan pernah ia menyia-nyiakannya. Bismillaah.
***
"Assalamu'alaykum, Dik. Napa? Ada apa? Mas masih di kantor nih," Tsun mengungkapkan kesibukannya hari itu. Maklum, kampus tempatnya menimba ilmu dulu dan tempatnya mengabdi sekarang ini tengah disibukkan oleh registrasi mahasiswa baru. Belum lagi kegiatan dan program-program rutin lainnya.
"'Alyakumussalam, Mas. Oooh, jadi Mas masih sibuk? Pulang jam berapa, Mas?" Puri sedikit kecewa. Menelan ludah dan menggigit bibir merah alaminya itu, untuk menahan rembesan soca beningnya.
"Iya, Dik. Sebentar kok. Ndak lama. Kamu sudah makan, Dik?" Ya, bagaimana bisa makan? Puri menunggu Tsun tentu saja! Puri menggelengkan kepala, seolah Tsun sedang berada bersamanya. Seolah Tsun melihatnya menggelengkan kepala.
"Halo, Dik? Halo? Dik? Sudah dulu ya, sebentar Mas pulang. Assalamu'alaykum, Dik." Tut, tut, tut ...! Sambungan terputus. Puri tercekat. Padahal, malam ini ada surprise yang telah disimpannya selama sepekan. Surprise yang akan menjadi moment spesial keempat setelah ta'aruf, khitbah dan nikah kemarin. Atau, bisa jadi, ini akan menjadi moment paling spesial!
Tapi, bagaimana lagi? Itu resiko pekerjaan Tsun.
***
Tsun segera mengemasi peralatan kerjanya. Memastikan semuanya aman dan segera pulang. Jalanan sudah agak lengang, jadi sedikit lebih aman untuk menjalankan motornya dengan cepat. Kecepatan standard.
Sesampainya di rumah, Tsun memarkir Si Butut di teras. Menutupinya dengan mantol dan mengetuk pintu dengan perasaan bersalah. Bagaimanapun, tak seharusnya ini terjadi. Harusnya, ia bisa bersikap adil. Adil terhadap urusan rumah dan kantor. Ya Rabb, ampuni hamba-Mu yang dhaif ini. Bisik hatinya. Bayangan wajah Puri menari-nari indah di benaknya. Sayup sampai terdengar Puri menjawab salamnya.
"Mas?" Wajah Puri sembab. Matanya bengkak. Tsun bergetar. Hatinya berdebar kencang. Ini salahku. Astaghfirullaahaladhiim.
"Dik, maafkan Mas, Dik. Mas ....," dipeluknya tubuh Puri erat-erat setelah memastikan pintu terkunci dengan aman. Puri bergeming. Air bening merembes lagi dari soca teduhnya. Lalu, menggerimis tepat di saat Tsun mengecup keningnya.
"Mas nakaaal. Mas bowwwooong. Katanya pulang cepet?" Tangis Puri pecah. Sementara Tsun hanya bisa mengeratkan dekapannya.
Yaa Allaah. Aku sudah membuatnya menangis. Ampuni aku. Bimbing aku, Rabb agar tak lagi mengulangi kesalahan ini. Didik aku, Rabb, agar pandai membahagiakannya. Puri Sekar Kedaton, Wanita Shalihahku.
Sajadah Cinta pun basah oleh aair mata Puri dan air mata hati Tsun. Namun, itulah hidup. Dan itulah cinta. Penuh warna. Ada tangis pun tawa.
"Iyaaa deeeh, Mas ngaku salah. Mas minta maaf ya, Dik? Hemmmm?"
"Tapi Mas janji duluuu. Tidak bowwwong laaagiii. Tidak nakaaal laaagiii," Puri merajuk manja. Khas anak manusia seusianya. Rajukan itu, membuat Tsun semakin gemas padanya. Jadilah, Sajadah Cinta itu gelaran kemesraan. Benar-benar malam yang indah!
The End
Belum ada tanggapan untuk "Serial: Jannah Family"
Posting Komentar