Pusara Hafidzah

Pusara Hafidzah
A story by Sakura Sizuoka


AMSTERDAM. Sanggup kah diriku memijakkan kaki di sana? Kota yang dipenuhi roncean kenangan bersamanya. Kenangan yang merekatkan cinta suci ini pada pelataran hatiku. Kenangan yang memintalkan renda-renda harapan akan masa depan, dunia dan akhirat. Yaaa, kenangan yang diwarnai lukisan-lukisan hari-hari kami. Dimana, di setiap lembaran hari itu, kami menyemaikan benih-benih cinta yang Allaah tanamkan pada taman hati.

***

"Assalamu'alaykum," ucapku santun. Ini, pertama kalinya aku menemui akhwat, selama tinggal di sini. Itu juga karena aku ikut tergabung dalam kepanitiaan Seminar Pendidikan pekan depan. Seminar yang diadakan oleh anak-anak S1 Psikologi, sebenarnya. Tapi, yang mengambil program S2 sepertiku juga boleh ikut bergabung. Jadi, takkan kusia-siakan kesempatan indah ini. Pada prinsipnya, banyak-banyak berbuat kebaikan. Itu saja. Kupikir, menjadi panitia dalam seminar itu, sangat baik. Aku bisa mengambil banyak peran, seperti yang kau tahu. Apalagi, aku dimasukkan ke dalam Seksi Humas. Jelas, memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk kusumbangkan. Bismillaah.

Yang akan kutemui ini, ketua panitia seminar itu. Semoga dipertemukan dengan kemanfaatn dan keberkahan. Jadi, tidak sia-sia aku bersepeda empat belas KM dari apartement ke sini. Oh iya, benar! Tidak ada yang sia-sia dalam hidup. Dalam perjuangan. Yang ada hanyalah ikhtiar, doa dan itu namanya tawakkal 'alallaahi.

Apartemen ini cukup sepi. Sayup sampai kudengar suara akhwat sedang tilawah. Surah Maryam. Masya Allaah. Indah sekali. Sepertinya, aku sering mendengar suara itu? Emmmm, apakah yang biasa tami' di kajian-kajian itu? Oh, apa yang akan kutemui ini akhwat itu? Tunggu, aku cek namanya di surat-surat yang harus ditandatanganinya. Pasti namanya tertulis di sana. Inilah kalau kerja bareng-bareng. Yang mengetik siapa, yang minta tanda tangan siapa, sampai-sampai nama ketuanya saja aku tidak tahu.

Jelas lucu! Bagaimana aku mencarinya nanti kalau namanya saja tidak tahu? Oalah, Bal, Jibal! Bodo kok yo ra enetek-entak!

Ketua Panitia Gloria

Oalah. Gloria, namanya. Ya, berarti benar, dia yang bisasa tasmi' itu. Hemmm. Duh. Jadi grogi mendadak. Kaku. Berdiri saja rasanya nancap di bumi. Soalnya, kalau benar yang akan kutemui ini Gloria ... Melayang ke langit sembilan!

"'Alaykumussalam," jawabnya lebih santun dariku. Deg! Jadi, ini Ketua Panitianya? Eh. Jadi, ini Gloria yang suaranya indah setiap tasmi' itu? Sempurna! Suaranya indah, wajahnya indah. Emmm, secantik ini? Eh. Astaghfirullaah. Sorry, aku terlalu normal jika melihat yang cantik-cantik, meski tidak kusengaja sekali pun.

"Hemmm. Dik Gloria?" Aku kenapa sih? Tiba-tiba salah tingkah begini? Bukannya tadi baik-baik saja? Duh. Ini pasti efek karena detak jantungku yang jungkir balik tadi. Itu, waktu detik pertama melihat wajah Gloria yang cantik, anggun, mempesona. Eh. Astaghfirullaahaladhiim. Kalau begini, lebih baik aku masuk ke bumi deh!

Aku, biar pun di luar negeri begini, kalau sama anak indo tetap menyapanya dengan Dik atau Kak. Mbak atau Mas. Ya, bagaimanapun aku anak Indonesia, Jawa yang diajari unggah-ungguh sejak kecil. Wajib dilestarikan. Meskipun, terkadang terdengar aneh! Hehe.
"Iya, benar. Ada yang bisa Hafidzah bantu?" Lho, namanya siapa sih? Yang benar siapa? Gloria atau Hafidzah? Jangan-jangan salah orang. Tapi kok tadi bilang iya. Apa aku yang sudah terkena serangan somplak mendadak ya? Eh. Na'udzubillaah. Masa sih harus somplak gara-gara ketatap gadis secantik Gloria atau Hafidzah itu? Cemen!

"Hemmm. Afwan, nama Adik?" Ha? Adik? Sejak kapan aku jadi kakaknya? Sesopan-sopannya aku, biasanya menyertakan nama dibelakan kata Dik. Dik Hasna, misalnya. Dik Gloria, gitu harusnya. Lha ini, main manggil Adik saja. Semoga bukan pertanda buruk. Aamiin. Ya, habis, tadi sempat bingung, mau pakai kata Adik atau Anti. Eh, yang keluar Adik. Pokoknya, intinya, terserang mercon bernama grogi. Salting.

"Gloria Hafidzah. Kakak bisa panggil apa saja," oooh, jadi namanya Gloria Hafidzah. Setahuku Gloria saja. Tapi, benar kan di surat-surat tadi juga ditulisnya Gloria saja, tanpa hafidzah? Apa pun itu, yeees! Senangnya jadi Seksi Humas. Jadi tahu nama indah yang dimiliki akhwat sempurna seperti dirinya. Eh. Aku, manggilnya siapa ya? Gloria, Hafidzah? Adik? Lha, malah jadi tambah bingung!

"Oke, Dik Hafidzah. Saya ke sini, mau mengantarkan ini. Biodata peserta dan pemateri juga bintang tamu. Sekalian mau minta tanda tangan untuk semua dokumen ini," fiiiuuuh. Lega. Akhirnya, bisa lancar juga aku berbicara. Tadi itu aku kenapa ya? Tiba-tiba gagu begitu? Virus.

Angin senja berdesir, seiring berdesirnya darah dalam jantungku. Hafidzah mengecek semua dokumen yang kuangsurkan padanya tadi dan mulai menangatanganinya. Ya Allah. Aku mau pulang. Hafidzah ini manusia atau bidadari? Begitu sempurna! Masya Allaah. Maha Sempurna Allaah atas penciptaan-Nya.
Dengan cekatan, dirapikannya kembali semua surat-surat dan dokuen itu, memasukkannya ke dalam map plastik yang tadi kugunakan untuk membawanya. Duh, senyum manisnya waktu mengangsurkan semua itu padaku, membuatku ingin koprol tujuh belas kali. Ini nih, gunanya menundukkan pandangan. Agar mataku, tidak liar seperti ini! Eh. Jangan salah sangka, sebisa mungkin aku menundukkaan pandnagan kok. Cuma melirik sedikit-sedikit saja. Apalagi Gloria, sedari tadi hanya bisa menunduk. Tapi, namanya melirik ya, apalagi mataku normal dan sehat sekali, bisa menangkap dengan jelas auraa kecantikannya yang luar biasa!

"Ini, Kak. Semua sudah Hafidzah tanda tangani. Biodatanya sudah Hafidzah cek. Tolong, nanti dikonfirmasi ulang sama Kak Rein. Beliau Sekretaris. Sekalian, biar didokumentasikan. Oh, ya Kak, recheck ya? Jangan sampai ada yang kurang untuk besok itu. Nant, Hafidzah hubungi Kak Rein untuk penjadwalan briving dan gladi resik," mati. Aku mati kaku! Caranya berbicara dan memberikan penjelasan, menghipnotisku. Kalau dipikir-pikir, aku jauh lebih dewasa darinya, sudah sekolah doktoral, tapi kenapa bisa terhipnotis begini? Tentu ini bukan asal terhipnotis dan Gloria tidak menghipnotis. Tak ada hipnotis. Ini, karena Gloria full power! Yakin.

"Iya, Dik Gloria. Eh. Adik. Insya Allaah. Kakak pamit dulu ya? Assalamu'alaykum," aman. Nyaman! Mengambil sepeda dan melesaaat. Pulang!

*** br /> Itulah, kenangan indah saat kami bertemu untuk pertama kalinya. Gloria Hafidzah. Satu-satunya Mahasiswi berjilbab lebar sekaligus Aktifis Dakwah Kampus di Univeritas Amsterdam. Sangat bahagia dan bersyukur rasanya, dipertemukan dengannya. Jika tidak, maka sungguh, aku termasuk hamba yang tak pandai mensyukuri nikmat. Nikmat? Ya, nikmat, karunia, rahmat.

Bagaimana tidak?
Sejak pertemuan itu, sepertinya semua mengalir begitu saja. Kami jadi lebih sering bertemu dalam kegiatan-kegiatan di kampus. Entahlah, yakin saja, semua sudah diatur dan ditetapkan oleh Allaah Ta'ala. Bukankah tak ada satu hal pun yang bersifat kebetulan di dunia ini? Semua dalam kuasa Allaah, bukan? Dan, aku menikmati semua itu. Berbahagia bersamanya. Bersama Allaah.

Kehadiran Gloria Hafidzah yang aku memanggilnya Adik--ini keputusan besarku setelah mempertimbangkannya selama berhari-hari dan Adik juga menyepakatinya--duaniaku menjadi terang benderang. Seolah, Allaah telah mendatangkan matahari di saat fajar. Menyingkap kegelapan langit malam. Masya Allaah.

Bagaimana dengan Adik?
Sepertinya sama dan semoga senada dengan yang kurasa. Adik, akhwat shalihah yang jiwa kepemimpinannya istimewa dan juga cerdas secara akademis. Banyak mengetuai organisasi kemahasiswaan dan kau perlu tahu, Adik itu seorang Hafidzah. Hafal tiga puluh Juz Al-Qur'an. Allaahu Akbar. Aku tahu ini justru dari teman-temannya, bukan dari Adik sendiri.

Gemetaran waktu pertama kali mendengar kabar ini.
Perasaan minder dan ingin memiliki, bergulat jadi satu!
Yang jelas, sejak tahu kalau Adik itu Hafidz Qur'an, semangatku untuk memperbaiki diri dan menjadikan diri pantas di hadapan Allaah meluap-luap. Bismillaah, semoga tetap karena Allaah. Aamiin.

"Masya Allaah, benarkah? Hafidzah ...?" Aku benar-benar bertambah kagum. Berarti, masih normal banget kan?

"Iya, Kak. Emang, Gloria nggak pernah cerita? Kakak tahu kan, dia selalu membaca Al-Qur'an pada setiap event di kampus. Dan itu, selalu tanpa mushaf," ungkap Azalea. Oh, iya ya? Aku kok begitu sih? Kan, sudah sering mendengarnya tasmi' tapi kok tidak memperhatikan? Hemmm. Terpesona pada ngajinya, jadi tidak memperdulikan apakah baca Mushaf atau tidak. Tapi, setelah tahu ini, Masya Allaah. Kalau tidak malu, ingin sujud syukur rasanya.

Pantas saja, cara menutup auratnya syar'I
Pantas saja, sikap dan tutur katanya berbeda
Pantas saja, pemikirannya istimewa
Pantas saja, cara bergaulnya juga istimewa
Pantas saja, pantas saja, pantas saja ...

"Alhamdulillaah," kataku mantap. Hanya itu yang bisa kuucapkan saat menanggapi kejujuran Azalea. Dia teman sekelas Adik.

"Kakak beruntung loh!" Celotehnya, membuatku deg-degan. Beruntung? Eh. Apakah Adik ...? Ah! Terlalu cepat menyimpulkan juga tidak baik. Biarkan saja mengalir seperti air Kali Progo menuju Pantai Parang Tritis. Mencapai muaranya. Semoga dan semoga banget!

"Ah, kamu ini!" Tukasku ringan, untuk menetralisir degupan jantungku yang sudah mirip genderang berang ditabuh puluhan prajurit. Eh. Banyak sekali? Nanti jebol genderangnya!

Tapi, jujur saja nih, kata Kakak beruntungnya Azalea mengiang-ngiang di hatiku. Sungguh! Itu, memompa semangatku setinggi-tingginya menggapai angkasa. Bismillaah. Semoga, Adik adalah jodoh yang sudah Allaah tuliskan pada kitab-Nya. Aamiin.

*
Kami, tidak berpacaran!
Tidak juga punya hubungan spesial. Kami paham, itu tidak diperbolehkan dalam Islam. Jadi, apa arti kedekatan kami? Dekat? Sebenarnya tidak juga. Kami sibuk sendiri-sendiri. Adik, apalagi. Kesibukannya luar biasa. Menyamai Dosen yang jam mengajarnya tinggi. Jadi, itu satu hal yang wajib untuk kami syukuri. Setidaknya, jikalau harus bertemu atau bersama, itu karena berada dalam satu wadah kegiatan dan tidak berduaan. Itu prinsip yang kami pegang teguh.


"Adik ada nomor HP?" Aku berpikir, menjalin komunikasi yang lebih baik dan dekat, jauh lebih baik dan menguntungkan. Tapi, mau tahu apa yang dikatakannya? Waktu itu, kami masih di Mushalla Fakultas, Miftahul Jannah. Baru saja selesai kajian umum yang kami adakan sebulan sekali.

"Ummm, afwan, Kak. Hafidzah tidak dibolehkan Mama," ungkapan yang membuatku bergetar. Masya Allaah. Gadis seusia Adik, begitu taatnya pada orang tua. Amanah sekali. Alhamdulillaah. Sekarang aku tanya, laki-laki mana yang tidak semakin kagum padanya? Silakan tunjuk jari.

"Oh, afwan," kataku gugup. Malu sekali rasanya! Kenapa sih tadi tidak berpikir seribu kali dulu sebelum melakukan perbuatan bo**: itu? Memalukan!

"Tidak apa-apa, Kak. Ini, HP Hafidzah, Kakak bisa cek semua kontak di sana. Akhwat semua dan bukan sekedar nama-nama saja. Melainkan memang benar-benar akhwat," senyumnya yang melengkung santun berhias tegas di wajah ayunya itu membuat dengkulku gemetar. Masya Allaah. Alhamdulillaah, di zaman edan seperti ini, masih Engkau tanamkan Bunga Surga nan indah. Dan itu Adik. Dan itu, hamba yang aku ingin menjadi imam baginya atas ridha-Mu.

"Oh, tidak perlu, Adik. Tidak usah. Kakak percaya kok. Sangat percaaya. Kakak pamit dulu ya? Assalamu'alaykum," itu jurus andalan. Segera kabur dari hadapannya, jalan terbaik yang harus ditempuh. Duh. Lagi-lagi aku korslet. Harus segera mandi besar dan shalat taubat. Jangan sampai ada endapan-endapan zina hati.

Bersambung

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pusara Hafidzah"

Posting Komentar