Wanitaku

Bismillaah

Wanitaku

A FM by Sakura Sizuoka

Aku semakin kokoh dan tegak. Seperti seonggok karang di tengah lautan. Tak peduli lagi, apa yang dikatakan Mama, Papa dan Mas Feri. Dalam hal ini, siapa mereka? Apa hak mereka melarangku untuk menikahi Aura? Apa? Mereka hanya orang luar yang tidak akan merasakan apa yang aku rasakan. Mereka juga tidak akan mengalami apa yang aku alami. Mereka, hanya bisa melihat dari luar. Iya kan? Mereka tidak mungkin bisa menelisik ke dalam kehidupan rumah tangga kami nantinya. Jadi, mengapa mereka ribut sekali sih? Ribet sekali? Bukannya ini hidupku. HIDUPKU!

"Mama dan Papa hanya ingin yang terbaik untukmu, Al. Ya, keputusan tetap ada di tanganmu. Ayo, Ma. Kita masuk ke kamar. Biarkan Al memikirkan ini dengan akal sehatnya. Feri, masuk ke kamarmu. Ajak istri dan anakmu. Biarkan adikmu yang sudah gelap mata dan hati itu memikirkan ini sendiri! Orang dia nggak butuhkjita kok!" Ucap Papa menghunjam jantungku. Jujur, aku terhunjam begitu dalam. Selama ini, aku dan Papa selalu baik-baik saja. Tidak pernah ada konflik. Begitu juga dengan Mama dan Mas Feri. Tapi, setelah Aura masuk ke dalam kehidupan kami, semua menjadi berubah. Ada apa sebenarnya? Mengapa Mama, Papa dan Mas Feri sama sekali tidak bisa menerima Aura? Ada apa?

Aku diam. Meresapi angin malam yang semakin dingin. Bayangan Aura menari-nari indah di mataku. Itu, menjadikanku mabuk!

***

Kubanting pintu dengan keras. Tidak peduli bagaimana Aura berlari mengejarku. Pun jerit tangisnya. Aku tidak peduli. TIDAK PEDULI.

Mama menyusulku ke kamar. Mengusap kepalaku, lembut. Kini, air mataku tumpah. Pedih, meratai hatiku. Aku benar-benar terluka. Tidak menyangka, Aura bisa melukaiku seperti ini. Kudengar, Aura masuk dengan isak tangisnya. Tapi, sekali lagi, aku tidak peduli. Mama masih duduk di sisi tempat tidur dan aku masih menangis tersedu sambil tengkurap. Aku tidak malu! Aku hanya ingin menangis. Aku ingat, Mas Feri pernah mengatakan, "Tangis itu hujan, bairkan ia turun membawa kebaikan," dan aku, akan melakukannya sekarang.

"Ada apa, Aura? Kenapa Al begini? Kalian bertengkar?" Suara Mama terdengar bijak. Sangat bijak. Aura masih terisak, di depan pintu. Kenapa dia tidak masuk? Kenapa? Apa dia sudah menyadari semuanya? Semua kesalahannya? Dosanya? Aaah! Pendustaaa!

Hatiku kalap. Kubalikkan badan dan kuacungkan jariku telunjukku padanya. Mama terlihat sangat kaget dan bingung. Belum pernah aku semarah ini.

"Pergi! Pergi dari rumah ini! Aku tidak sudi kau dustai. Katakan padaku, pada mama, bayi yang kamu kandung itu bukan anakku, kan? Jangan kau pikir aku tidak tahu ...,"

---#---

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Wanitaku"

Posting Komentar